Rabu, 23 Maret 2011

Menyelesaikan Skandal BLBI


[BULETIN AL-ISLAM EDISI 392]
Tidak diragukan, skandal BLBI ini telah menyebabkan kerugian negara dalam jumlah yang sangat sangat besar, yakni: Rp 138,4 triliun (95,8%) dari penyimpangan penyaluran BLBI sebesar Rp 144,5 triliun, Rp 84,842 (58,7%) dari penyimpangan penggunaan BLBI serta Rp 17,76 triliun (33%) dari penyimpangan penggunaan Rekening 502 (untuk tambahan BLBI danblanket guarantee), yaitu rekening Pemerintah atas nama Menteri Keuangan di Bank Indonesia (Marwan Batubara, Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Uang Negara, hlm. 26 dan 37). Bukan hanya itu, kerugian juga ditimbulkan akibat terkucurnya Rp 431,6 triliun untuk penyuntikan obligasi rekap kepada pihak perbankan, ditambah sedikitnya Rp 600 triliun sebagai pembayaran bunganya (Kwik Kian Gie, Interpelasi Bantuan Likuidasi Bank Indonesia, hlm. 34).
Beban utang yang harus ditanggung oleh negara akibat skandal BLBI itu tentu saja juga sangat besar. Lebih dari Rp 1000 triliun harus disediakan untuk pembayaran pokok dan bunga obligasi rekap, dengan beban pembayaran utang dalam APBN setiap tahunnya mencapai Rp 40 triliun – Rp 50 triliun yang harus dilakukan hingga tahun 2021. Keadaan ini menyebabkan menurunnya kemampuan keuangan negara, khususnya dalam membiayai pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan serta peningkatan kesejahteraan rakyat.
Ironisnya, sebagian dari pengemplang dana BLBI itu kini justru masuk dalam daftar orang terkaya Indonesia dimana kekayaan 150 orang terkaya (versi Globe Asia 2007) mencapai US$ 46,6 miliar atau Rp 438 triliun. (Marwan Batubara, Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Uang Negara,hlm. 262).

Semua Turut Andil
BI, sebagai bank sentral yang menjalankan fungsi lending of the last resort, bertindak ceroboh. Hasil Audit BPK dan BPKP menunjukkan sebagian besar penyaluran BLBI oleh BI sekitar 95,8% dari total BLBI sebesar Rp 144,5 triliun tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Pada tahap penyelesaian BLBI, korupsi terjadi lagi dan menimbulkan skandal baru. Obligor sengaja menyerahkan kepada BPPN aset-aset yang tak layak, di bawah nilai pinjaman, dan bahkan fiktif sebagai jaminan pelunasan kewajiban mereka. Menurut audit BPK, dari Rp 132,7 triliun aset yang diserahkan, nilai komersial aset hanya Rp 12,29 triliun. Kurang dari 10%! Sudah begitu, melalui kolusi dengan pejabat BPPN, SKL (Surat Keterangan Lunas) dengan mudah diberikan kepada obligor meskipun mereka hanya membayar sebagian kecil kewajibannya (rata-rata hanya sekitar 28%). Salim Group hanya mengembalikan dana sekitar 36,77% dari dana BLBI lebih dari Rp 25 triliun. Dengan kelihaiannya, tentu melalui kolusi dengan pejabat terkait, pemilik lama bisa membeli kembali asetnya yang sudah diserahkan kepada Pemerintah. Bahkan dengan harga sangat murah. BCA, misalnya, direstrukturisasi dengan obligasi sebesar Rp 60,9 triliun, namun 51% sahamnya dijual hanya Rp 5,3 triliun. Ironinya, menurut Kwik, keputusan jahat seperti ini dibuat dalam rapat kabinet. Semua peserta rapat—Presiden Mega, Wapres Hamzah Haz, termasuk SBY dan Yusuf Kalla serta Boediono—menyetujui keputusan aneh ini. Hanya Menteri Kwik saja yang menolak. Bukan hanya BCA, TPN (milik Humpuss) yang merupakan pembayar atas utang Humpuss senilai Rp 4,576 triliun dijual kepada Vista Bella (ditengarai juga terafiliasi Humpuss) senilai Rp 521 miliar saja.
Kekacauan penyelesaian skandal BLBI makin menjadi-jadi dengan dihapusnya aspek pidana obligor yang telah memperoleh SKL melalui pemberian fasilitas R&D atau Release and Discharge (pelepasan dan pengapusan) berdasarkan Inpres No 8/2002 yang ditandatangani oleh Presiden Megawati. Sebelumnya, Presiden BJ Habibie memulai penyelesaian kasus BLBI secara out of court settlement. Sekarang, Presiden SBY tidak tegas terhadap 8 obligor, bersedia menegosiasikan JKPS dan bahkan sempat menyambut obligor di Istana.

Intervensi Asing
Semua kekacauan dan kebodohan luar biasa ini, di samping akibat kesalahan Pemerintah, juga amat dipengaruhi oleh tindakan IMF. Dengan kewenangan yang dimiliki pasca ditandatanganinya LOI, IMF bebas melakukan intervensi, mencampuri dan memaksakan kehendaknya pada hampir seluruh kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah melalui LOI danMemorandum on Economic and Financial Policies. Tercatat, terdapat sekitar 1.300 butir kesepakatan LOI yang harus diimplementasikan Pemerintah. IMF telah memberikan rekomendasi ekonomi, bukan hanya salah tetapi menjerumuskan, yang akibatnya justru memperparah krisis. IMF, misalnya, menekan Pemerintah untuk mengucurkan obligasi rekap dalam jumlah besar kepada pihak perbankan (melalui desakan target penguatan CAR minimal 8%). Lalu, IMF menekan Pemerintah untuk segera menjual bank-bank rekap (antara lain BCA dan BDNI) dalam waktu singkat sehingga harga jualnya sangat rendah seperti yang dijelaskan di muka.

Mengurai Masalah
Jika ditelaah lebih dalam maka akar masalah skandal BLBI disebabkan oleh:
Pertama, adanya intervensi asing dan lemahnya pemerintahan. Asing, dalam hal ini IMF, melalui LoI diberi kesempatan oleh Pemerintah untuk mengatur perekonomian Indonesia. Alih-alih mengatur, yang terjadi justru membuat hancur dan menjerumuskan Indonesia ke jurang kemiskinan dan kesengsaraan. Ditambah lagi sikap tunduk dan patuh terhadap pihak asing, yang nota bene adalah kaum kafir penjajah, yang semakin memperparah kondisi. Padahal Islam telah melarang kaum Muslim untuk tunduk dan dikuasi oleh kaum kafir penjajah:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاًً
Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (TQS. An-Nisa’ [04]: 141)
Allah SWT juga melarang kita untuk menaati dan mengikuti orang-orang kafir karena sesungguhnya mereka akan menjerumuskan kita dalam kesesatan:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kalian ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kalian orang-orang yang rugi. (TQS. Ali Imran[03]: 149)
Kedua, skandal BLBI memang sarat dengan praktik kolusi, korupsi dan pelanggaran aturan yang sudah ada. Melalui Inpres No 8/2002 Pemerintah memilih penyelesaian skandal BLBI dengan lebih mengutamakan pengembalian aset dibandingkan dengan penegakan hukum. Dengan Inpres ini, Pemerintah memberi penjahat BLBI bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum, serta memberi kesempatan terus-menerus kepada mereka dengan tenggat waktu yang selalu molor dalam pengembalian hutang, melalui mekanisme MSAA, MRNIA dan APU.
Menurut Marwan Batubara (Anggota DPD RI), skandal BLBI sangat sulit diselesaikan karena melibatkan dana besar, yang juga berarti para pengusaha besar; di samping melibatkan para penguasa dan lembaga internasional (IMF), yang memang berkepentingan dan mendapat keuntungan langsung dari kasus ini. Selain itu, juga ada upaya dari para penjahat BLBI yang ingin aman, supaya skandal tersebut tidak diungkit-ungkit. Mereka semuanya berkolusi dan menguasai lembaga-lemabaga peradilan dan lembaga-lembaga negara, termasuk orang-orang di parlemen.
Ketiga, Pro Kapitalis. Kebijakan Pemerintah memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank yang bangkrut sebesar Rp 143 triliun tersebut, sementara faktor utama penyebab kebangkrutan mereka justru terjadi karena kejahatan yang mereka lakukan sendiri, dimana uang-uang rakyat yang dikumpulkan oleh para pemilik bank itu kemudian mereka pakai sendiri untuk membiayai proyek-proyek mereka. Nyata sekali ini merupakan bentuk pemihakan Pemerintah kepada para kapitalis, dan sadar atau tidak, telah memiskinkan rakyatnya sendiri. Sebabnya, dana-dana yang sebenarnya bisa dipakai untuk kepentingan rakyat, justru disedot habis-habisan untuk membantu para penjahat hitam. Padahal Rasulullah saw. telah mengingatkan mereka:
الَلَّهُمَّ مَنْ وُلِّيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِيْ شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ
“Ya Allah, siapa saja yang telah diangkat untuk mengurus urusan umatku, kemudian dia mempersulitnya, maka persulitlah dia. ” (HR. Muslim)
Keempat, terjebak pada sistem ribawi. Hutang sebesar Rp 1000 triliun yang harus disediakan untuk pembayaran pokok dan bunga obligasi rekap, dengan beban pembayaran utang dalam APBN setiap tahunnya mencapai Rp 40 triliun – Rp 50 triliun yang harus dilakukan hingga tahun 2021, jelas menunjukkan bahwa Pemerintah konsisten memegang sistem ribawi; sistem bunga-berbunga. Inilah salah satu sumber mengapa hutang BLBI dan rekap obligasi ini tidak kunjung selesai dan bahkan cenderung membesar.
Padahal Allah SWT dengan tegas Allah telah memerintahkan setiap kaum Muslim untuk meninggalkan segala bentuk riba:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman.” (TQS. Al-Baqarah [02]: 278)

Wahai Kaum Muslim:
Sungguh harta negara telah dan sedang dirampok secara ramai-ramai oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Bahkan mereka berkoalisi dengan pihak asing, yang diperparah dengan bobroknya sistem yang ada saat ini untuk melanggengkan skandal ini, dan terbukti telah menghancurkan negeri ini. Karena itu, akankah kondisi ini kita biarkan begitu saja?
Belum saatnyakah kita kembali pada aturan Allah SWT yang telah terbukti secara nalar dan meyakinkan mampu menyelesaikan segala persoalan, termasuk skandal BLBI ini. Bukankah Allah telah berfirman:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhanmu dan pada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (TQS. Ali Imran [3]: 133). []
KOMENTAR:
Kebijakan BBM: Lebih Rasional Menaikkan Harga (Kompas, 12/02/08)
Itulah logika kapitalistik. Menaikkan harga BBM yang pasti membebani rakyat dianggap rasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar