Rabu, 23 Maret 2011

Menaikkan Harga BBM di Tengah Penderitaan Rakyat


[Edisi 404] Akhirnya harga BBM dipastikan naik lagi. Kepastian naiknya harga BBM diumumkan Pemerintah melalui Menko Ekonomi Boediono setelah rapat terbatas di Kantor Presiden Senin (5/5) lalu. Menurut Presiden SBY sendiri, tahapan sekarang bukan lagi membahas harga BBM naik atau tidak, tetapi bagaimana imbas kenaikan BBM 20-30 persen terhadap berbagai komoditas, termasuk instrumen untuk melindungi rakyat miskin dan berpenghasilan rendah (Republika, 6/5/). Padahal sehari sebelumnya Presiden SBY sepakat untuk tidak terlalu cepat menaikkan harga BBM. Kebijakan menaikkan BBM adalah langkah terakhir (Kompas, 5/5).
Faktanya, “langkah terakhir” inilah yang justru dengan cepat ditempuh oleh Pemerintah. Alasan utamanya, sebagaimana berkali-kali diungkap Pemerintah, adalah tekanan yang semakin berat terhadap APBN 2008 akibat terus membengkaknya anggaran subsidi BBM sebagai dampak langsung dari terus meroketnya harga BBM di pasaran internasional hingga nyaris menembus US$ 120 perbarel.
Yang amat disesalkan, kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM akan diberlakukan justru di tengah-tengah jeritan masyarakat dari berbagai lapisan yang tengah menderita akibat himpitan ekonomi dan beban hidup yang semakin berat. Tidak jarang, bagi yang tipis iman, frustasi hingga bahkan diakhiri dengan aksi bunuh diri menjadi pilihan. Ini sudah banyak terjadi dan diekspos oleh banyak media akhir-akhir ini.
Karena itu, apapun alasannya, kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM rata-rata 30% adalah kebijakan yang zalim karena akan semakin menyengsarakan rakyat.
Betulkah Tidak Ada Langkah Lain?
Sebagaimana yang sudah-sudah, ketika krisis ekonomi terjadi, kebijakan menaikkan tarif kebutuhan pokok seperti BBM pada akhirnya selalu menjadi “langkah terakhir” yang menjadi favorit Pemerintah. Dengan menyebut kebijakan menaikkan BBM sebagai “langkah terakhir” Pemerintah seperti berupaya meyakinkan masyarakat, bahwa Pemerintah telah sungguh-sungguh menempuh cara-cara lain di luar “langkah terakhir” tersebut. Padahal jelas masih ada cara atau langkah lain yang bisa ditempuh untuk mengatasi krisis ekonomi ini.
Jika kita memperhatikan struktur pengeluaran APBN, ada tiga kelompok besar yang secara seksama peranannya masing-masing dalam menjaga kesinambungan fiskal, yaitu: (1) pengeluaran Pemerintah pusat (investasi sektoral dan belanja rutin); (2) transfer ke pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi fiskal; (3) pembayaran bunga dan cicilan pokok utang (luar negeri dan dalam negeri).
Karena itu, secara teknis pun, setidaknya ada tiga cara/langkah lain sebelum Pemerintah menempuh langkah menaikkan harga BBM:
Penghematan belanja rutin. Ini sudah dilakukan Pemerintah, yangmemotong anggaran untuk kementerian dan lembaga sebagai kompensasi kenaikan subsidi yang berkaitan dengan BBM, termasuk subsidi listrik. Hendaknya penghematan ini juga dilakukan di seluruh daerah.
Memanfaatkan dana APBD yang mengendap di BI dalam bentuk SBI yang bunganya jelas menambah beban Pemerintah. Sepanjang tahun 2007 saja, menurut catatan Pemerintah, dana APBD yang mengendap di BI dalam bentuk SBI mencapai sedikitnya Rp 146 triliun (Waspada Online, 27/8/07). Lebih dari itu, sepanjang tahun 2007, ternyata APBD kita rata-rata surplus cukup besar (Okezone.com, 6/5/08). Ini jelas bisa dimanfaatkan secara optimal untuk mengurangi beban Pemerintah dan masyarakat.
Penangguhan pembayaran utang luar negeri. Tahun 2008 ini cicilan pembayaran utang plus bunganya mencapai Rp 151,2 triliun (Beritasore.com, 25/11/2007). Penangguhan ini jelas akan membantu mengurangi beban berat APBN.
Selain itu, menurut Ekonom Dr. Hendri Saparini, Pemerintah bisa mengurangi anggaran subsidi bank rekap yang mencapai puluhan triliun rupiah. Langkah lainnya adalah memotong rantai broker (baik dalam ekspor maupun impor minyak oleh Pertamina) yang sangat merugikan. (al-Wa’ie, No. 92/April/2008).
Akar Persoalan
Jika kita cermati, kebijakan untuk menaikkan harga BBM sesungguhnya terkait dengan rencana lama Pemerintah untuk mengurangi secara bertahap—bahkan menghapus sama sekali—subsidi di bidang energi. Artinya, bisa dikatakan, kenaikan harga BBM di pasar internasional hanyalah “faktor kebetulan” saja, yang kemudian dijadikan momentum oleh Pemerintah. Pasalnya, penghapusan subsidi adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem Kapitalisme. Dalam Kapitalisme, negara sama sekali tidak berkewajiban untuk menjamin kebutuhan publik seperti BBM, listrik, pendidikan atau kesehatan masyarakat. Seluruhnya diserahkan pada mekanisme hukum pasar. Hal ini diperparah sejak krisis yang menimpa Indonesia tahun 1997. Pemerintah Indonesia secara resmi meminta bantuan dan campur tangan IMF dan Bank Dunia dalam mengatasi krisis ekonomi dan moneter. Salah satu tuntutan IMF adalah agar Pemerintah menghapuskan subsidi yang sebelumnya digunakan untuk membantu masyarakat membeli BBM dan mengurangi tarif dasar listrik. IMF berdalih bahwa untuk mengurangi defisit anggaran belanja negara, salah satu cara yang harus dilakukan adalah mengurangi dan menghapuskan subsidi Pemerintah terhadap BBM dan TDL.
Selain itu, yang tak kalah besar dampak buruknya bagi masyarakat, adalah kebijakan Pemerintah untuk melakukan liberalisasi ekonomi, khususnya di sektor energi. Liberalisasi sektor energi tidak hanya di sektor hulu (eksplorasi), tetapi juga di sektor hilir (distribusi dan pemasaran).Pemerintah lewat UU Migas berjanji untuk mengikis habis monopoli di Pertamina. Yang ditawarkan kemudian adalah membuka kesempatan bagi perusahaan swasta lain untuk ikut berkompetisi dalam distribusi dan pemasaran migas. Dengan alasan supaya kompetisi dalam distribusi dan pemasaran bisa ’adil’, lagi-lagi subsidi minyak harus dicabut. Sebab, jika masih ada minyak bersubsidi di pasaran, pemain asing enggan masuk. Ini setidaknya pernah ditegaskan oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, ”Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi Pemerintah. Sebab, kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.” (Kompas, 14/5/03).
Sepintas ide ini cukup menarik. Namun, ancaman di balik itu sungguh sangat mengerikan. Saat ini yang paling siap untuk berkompetisi adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Karena mereka yang paling siap, maka merekalah yang akan merebut pangsa pasar distribusi dan pemasaran migas di Indonesia.
Menurut Dirjen Migas Dept. ESDM, Iin Arifin Takhyan, saat ini terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU) (Trust, edisi 11/2004). Di antaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika).
Dikeluarkannya Undang-Undang Minyak dan Gas Nomor 22 Tahun 2001 bisa mengancam keamanan pasokan BBM di dalam negeri karena memperbolehkan perusahaan minyak yang menjadi kontraktor bagi hasil (KPS) di Indonesia untuk menjual sendiri minyaknya. Pasalnya, jika terjadi penurunan produksi di dalam negeri, bisa saja mereka tetap menjual minyak mereka ke luar negeri. Kilang-kilang Indonesia juga terancam tidak mendapatkan minyak mentah saat liberalisasi Migas dimulai tahun 2005. Alasannya, biaya produksi minyak di dalam negeri yang rata-rata 3 dolar AS dinilai terlalu mahal, sementara di luar negeri lebih rendah.
Adapun di sektor hulu, di Indonesia saat ini ada 60 perusahaan kontraktor; 5 (lima) di antaranya masuk kategori super majors yaitu, Exxon Mobil, Chevron, Shell, Total Fina Elf, Bp Amoco Arco, dan Texaco; selebihnya masuk kategori majors yaitu, Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex, dan perusahaan kontraktor independen. Dari 160 area kerja (working area) yang ada, super majors menguasai cadangan masing-masing minyak 70% dan gas 80%. Adapun yang termasuk kategori majors menguasai cadangan masing-masing, minyak sebesar 18% dan gas sebesar 15%. Perusahaan-perusahaan yang masuk kategori independen, menguasai minyak sebesar 12% dan gas 5%.
Solusi Mendasar
Bagaimanapun, krisis BBM dan krisis ekonomi secara keseluruhan tidak bisa dilepaskan dari Kapitalisme global yang semakin mencengkeramkan kakinya di Indonesia. Cengkeraman tersebut antara lain melalui lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia yang terus memaksakan kehendaknya terhadap Indonesia, khususnya melalui beragam UU dan berbagai macam kebijakan ekonomi Pemerintah maupun melalui perusahaan-perusahaan asing yang terus menghisap habis kekayaan alam Indonesia.
Karena itu, jelas diperlukan keberanian Pemerintah dan rakyat Indonesiauntuk keluar dari jeratan Kapitalisme global ini, untuk kemudian segera memberlakukan sistem yang baik, yang tidak lain bersumber dari sang Pencipta, Allah Yang Mahatahu. Allah SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah sistem hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik (sistem hukumnya) daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?(QS al-Maidah [5]: 50).
Sistem yang baik tentu harus dijalankan oleh pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik tidak lain adalah pemimpin yang amanah, yang mau tunduk pada sistem yang baik tersebut. Pemimpin yang baik antara lain yang tidak akan pernah tega membebani rakyatnya dengan berbagai kebijakan yang menyengsarakan mereka, karena ia takut dengan doa Rasulullah saw.:
«اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ»
Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia membebani mereka, maka bebanilah dia! (HR Muslim dan Ahmad). []
KOMENTAR:
Kenaikan BBM Beri Kepastian Kepada Investor (Mediaindonesia.com, 6/5/2008).
Memang, kenaikan BBM lebih berpihak kepada pemilik modal, ketimbang kepada rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar