Rabu, 23 Maret 2011

Ramadhan: Momentum Untuk Mengubur Sekularisme


[AL-ISLAM Edisi 422] - Ramadhan sering disebut sebagai bulan suci. Namun sayang, di masyarakat kita, kesucian Ramadhan sering dimaknai hanya dalam konteks ritual, spiritual dan religius semata.
Untuk memelihara kesucian bulan Ramadhan bermunculanlah berbagai imbauan, seruan dan kebijakan. Selama bulan Ramadhan warung makan dan restoran dihimbau untuk tidak buka pada siang hari. Diskotek, pub dan tempat sejenis diminta tutup selama Ramadhan. Untuk menjamin terpeliharanya kesucian Ramadhan, di beberapa daerah bahkan dibuat Perda Ramadhan.
Selama Ramadhan, televisi pun berubah menjadi “religius”. Berbagai acara siraman ruhani, renungan Ramadhan dan sinetron religi ditampilkan. Pembawa dan pengisi acaranya mengenakan busana islami.
Selain itu, berbagai kegiatan keislaman, pengajian dan sebagainya dilakukan dimana-mana sepanjang Ramadhan. Semua kemeriahan syiar Ramadhan ini tentu bagus dan perlu didukung.
Namun demikian, tampaknya semua itu hanya pengulangan belaka dari tahun-tahun sebelumnya. Yang agak berbeda, Ramadhan kali ini berada di tengah masa kampanye Pemilu 2009. Di beberapa daerah Ramadhan bertepatan dengan masa kampanye Pilkada atau dekat dengan pelaksanaan Pilkada. Tidak aneh jika kemeriahan Ramadhan kali ini ditambah dengan semaraknya kegiatan yang bernuansa kampanye atau kegiatan bernuansa politik lainnya, seperti safari Ramadhan, misalnya. Padahal di sebagian masyarakat kita, politik masih dianggap sebagai sesuatu yang murni bersifat duniawi dan cenderung kotor. Jadilah kegiatan politik itu dianggap bisa mencemari kesucian Ramadhan. Karena itulah, imbauan dan peringatan seperti “Jangan sampai bulan suci Ramadhan yang penuh keberkahan ini diperkeruh oleh urusan-urusan dan kepentingan politik pragmatis” atau seruan yang serupa bermunculan.
Tampaknya yang terjadi selama Ramadhan ini, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, tidak lain merupakan perubahan dan kemeriahan instan dan bersifat sesaat. Instan karena begitu Ramadhan tiba, para wanita Muslimah, misalnya, ramai-ramai bersegera mengenakan kerudung dan busana islami; yang laki-laki mengenakan gamis dan berpeci. Fenomena ini sangat nyata terlihat terutama di kalangan para selebritis. Jika sebelum Ramadhan pengajian amat jarang, begitu Ramadhan pengajian diadakan bukan hanya setiap hari, bahkan setiap waktu. Begitu masuk Ramadhan, safari, santunan kepada fakir miskin dan anak yatim, dan berbagai kegiatan keislaman lainnya langsung menjamur dimana-mana.
Selain instan, fenomena keagamaan di atas juga bersifat sesaat karena, seperti yang lalu-lalu, semua itu sering hanya berlangsung selama Ramadhan saja. Begitu Ramadhan pergi, semua kegiatan dan fenomena keagamaan itu pun berhenti. Fenomena seperti itu sudah berlangsung bertahun-tahun dan berulang.
Mengapa Terjadi?
Jika kita renungkan, tampak bahwa Ramadhan, sebagai bulan suci, telah dianggap sebagai waktu yang khusus untuk urusan ritual, spiritual dan keakhiratan. Karenanya, semua kegiatan di bulan Ramadhan bernuansa spiritual, ritual dan religius. Pada bulan suci ini, aktivitas yang dianggap duniawi harus ditinggalkan atau minimal dikurangi. Agaknya latar belakang pemikiran inilah yang mendorong munculnya imbauan untuk menjauhkan aktivitas politik dari aktivitas Ramadhan. Tidak lain karena politik dinggap sebagai aktivitas duniawi dan cenderung kotor; kalau disatukan atau dimasukkan ke dalam aktivitas Ramadhan dianggap akan mengotori kesucian bulan Ramadhan. Kesucian Ramadhan juga tidak boleh dikotori oleh kemaksiatan. Karenanya, dikeluarkanlah imbauan bahkan perda agar tempat-tempat yang berbau maksiat seperti pub, diskotek, panti pijat dan sebagainya diminta tutup selama Ramadhan. Setelah Ramadhan, semua itu dipersilakan untuk buka kembali.
Cara pandang seperti itu merupakan cara pandang sekular. Sekularisme adalah paham yang memisahkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Urusan dunia terserah manusia, sementara urusan akhirat diserahkan kepada agama. Agama tidak boleh dibawa-bawa dalam urusan dunia. Sebaliknya, urusan dunia tidak boleh dikaitkan dengan urusan akhirat atau agama. Dalam konteks waktu, dengan cara pandang sekular, seakan-akan ada waktu-waktu yang khusus untuk akhirat; yang harian adalah waktu-waktu shalat lima waktu, yang mingguan adalah hari Jumat, dan yang tahunan adalah Ramadhan.
Disadari atau tidak, paham sekularisme atau cara pandang sekular ini sudah merasuk jauh ke dalam diri kaum Muslim. Saat melaksanakan shalat, seorang wanita Muslimah akan dengan ringan menutup auratnya. Namun, di luar shalat, ia merasa berat melakukannya. Ketika di masjid seseorang merasa begitu dekat dengan Allah dan merasa ada dalam pengawasan-Nya. Namun, di luar masjid—ketika menangani proyek, berjual beli, berbisnis, dan berpolitik, mengurus pemerintahan, dll—seakan Allah begitu jauh dan tidak mengawasinya. Ketika beribadah ritual (shalat, misalnya) seorang Muslim begitu memperhatikan hukum-hukum syariah tentangnya; memperhatikan syarat dan rukunnya, juga sah dan batalnya. Namun, di luar itu—ketika memerintah, berpolitik, berdagang, memutuskan perkara dan sebagainya—hukum-hukum syariah bukan saja diabaikan, bahkan dicampakkan.
Paham sekularisme semacam ini tentu bertentangan dengan akidah Islam. Islam tidak membedakan urusan dunia dengan urusan akhirat. Islam diturunkan oleh Allah bukan hanya untuk mengurus urusan ukhrawi saja, melainkan juga untuk urusan duniawi. Hal ini bisa dipahami dengan sangat mudah oleh siapapun. Siapapun bisa memahami itu dengan mudah ketika membaca ayat-ayat al-Quran tentang hukum potong tangan bagi pencuri, cambuk/rajam bagi orang yang berzina; hukum seputar jual-beli, riba, timbangan; hukum tentang pergaulan laki-laki dan perempuan; hukum seputar perang, perjanjian, damai dsb. Tentu saja semua petunjuk dan hukum-hukum itu diturunkan oleh Allah SWT bukan sekadar untuk dibaca dan dipelajari, tetapi untuk dilaksanakan dan diterapkan. Bahkan Allah mengancam siapa saja yang mengambil sebagian isi al-Quran seraya meninggalkan sebagiannya yang lain:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lainnya? Tidak ada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dilemparkan ke dalam azab yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat. (QS al-Baqarah [2]: 85).
Introspeksi Ramadhan
Tentu kita semua tidak ingin Ramadhan ini meraih kegagalan, yaitu gagal meraih takwa sebagai hikmah atas diwajibkannya puasa. Takwa, seperti yang dijelaskan oleh Imam Nawawi, adalah mematuhi perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Perintah dan larangan Allah itu terwujud dalam totalitas hukum syariah. Karena itu, takwa hakikatnya adalah menjalankan seluruh hukum syariah dalam segala bentuk dan aspeknya.
Puasa telah mengajari kita untuk menjadi manusia yang bertakwa. Jika pada bulan Ramadhan, ketika kita diperintahkan meninggalkan makanan dan minuman yang halal pada siang hari, ternyata kita bisa; tentu lebih mudah bagi kita untuk meninggalkan makanan dan minuman haram di luar Ramadhan. Ketika puasa di bulan Ramadhan kita ringan menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, tentu seharusnya di luar Ramadhan semua itu juga pasti bisa kita lakukan.
Namun, karena pemaknaan terhadap Ramadhan didasarkan pada cara pandang sekular, lahirlah anggapan bahwa semua bentuk ketaatan itu seolah hanya berlaku selama Ramadhan saja; menjadi insan bertakwa itu seakan hanya dianggap khusus pada bulan Ramadhan saja.
Karena itu, pada pertengahan Ramadhan ini, hendaknya kita instrospeksi diri. Apakah pemaknaan Ramadhan dan aktivitas di dalamnya masih menggunakan cara pandang sekular? Jika ya, artinya kita terancam gagal mewujudkan hikmah puasa, yaitu takwa. Oleh karena itu, cara pandang sekular harus segera kita buang.
Takwa jelas bukan hanya diperintahkan selama Ramadhan saja. Takwa diperintahkan sepanjang waktu, kapan saja, juga dimana saja dan dalam hal apa saja. Rasulullah saw. bersabda:
«اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ»
Bertakwalah kamu kepada Allah kapan saja dan dimana saja kamu berada, ikutilah keburukan dengan kebaikan dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik (HR Ahmad, at-Tirmidzi, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Karena itulah, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, sepanjang hidup kita, juga di manapun kita berada, takwa harus senantiasa terwujud dalam diri kita.
Seiring waktu, mungkin aktivitas keseharian dan kesibukan duniawi telah menjadikan energi untuk bertakwa itu melemah. Supaya penurunan itu tidak sampai kebablasan, energi takwa itu perlu selalu di-charge. Ramadhan bisa dijadikan sebagai salah satu momentum untuk men-charge kembali energi itu. Dengan itu, selepas Ramadhan kita tetap bisa mewujudkan ketakwaan sepenuhnya, bukan malah sebaliknya; ketakwaan kita makin melemah, bahkan nyaris hilang selepas Ramadhan. Na’ûdzu billâh min dzâlik.
Wahai kaum Muslim:
Hendaknya Ramadhan sekarang kita jadikan sebagai momentum perubahan. Marilah kita tinggalkan paham sekularisme dan cara pandang sekular, khususnya dalam memaknai Ramadhan ini, dan umumnya di dalam segala aspek kehidupan kita. Marilah kita wujudkan ketakwaan dalam diri kita bukan hanya pada bulan Ramadhan ini saja, tetapi pada sebelas bulan berikutnya selepas Ramadhan.
Untuk memantapkan semua itu tidak ada lain adalah dengan kembali menerapkan Islam dan syariahnya secara kaffah. Puasa Ramadhan sungguh telah mengajari kita bahwa semua itu adalah mudah dan bisa kita terapkan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
Anwar Ibrahim: Demokrasi Sering Munculkan Ketidaksabaran (Kompas, 9/9/2008).
Wajar, karena demokrasi hanya menjanjikan kesejahteraan, bukan mewujudkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar