Senin, 21 Maret 2011

Pelajaran Dari Kasus “DKP”


BULETIN AL-ISLAM EDISI 356
Kucuran dana non-bujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mulai terkuak dalam persidangan kasus dana non-bujeter DKP. Saksi Didik Sadeli, Sekretaris Umum Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau Terpencil DKP, mengungkap adanya aliran dana kepada sejumlah partai politik saat berlangsungnya Pemilihan Presiden 2004. Sadeli menyatakan, pasangan Capres-Cawapres Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla menerima lebih dari Rp 400 juta. Dana tersebut disalurkan kepada Tim Sukses SBY-JK dan Blora Center. Capres Megawati Sukarnoputri juga tidak luput dari aliran dana DKP. Menurut Sadeli, Mega Center telah menerima sekitar Rp 280 juta. Capres Wiranto yang diusung Golongan Karya dan Partai Kebangkitan Bangsa juga disebut Sadeli menerima bantuan dari dana non-bujeter DKP. Tim Sukses Wiranto disebut-sebut menerima Rp 20 juta. Dalam persidangan sebelumnya terungkap, bahwa dana tersebut banyak mengalir ke nelayan, pemberdayaan masyarakat pesisir, pembangunan rumah ibadah (masjid, gereja, pura), dll. Menurut Mantan Menteri DKP, Rokhmin Dahuri, kira-kira sepuluh persen dari dana itu mengalir ke tokoh, tim sukses dan partai politik pada saat kampanye Pemilu 2004 sesuai proposal.
Hal ini senada dengan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW). Menurut informasi dari ICW, dana non-bujeter DKP mengalir ke Amien Rais untuk biaya politik dalam Pemilu Presiden 2004 sebesar Rp 225 juta. Mega Centre selaku bagian tim sukses Megawati memperoleh aliran dana sebesar Rp 300 juta. Bahkan tim sukses pasangan calon terpilih SBY-JK juga mendapatkan aliran dana sebesar Rp225 juta. ICW juga mencatat bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pun mendapatkan dana sejumlah Rp 300 juta. Aliran itu dinilai oleh Koordinator ICW Ibrahim Fahmi Badoh sebagai pelanggaran aturan yang serius. Sebab, menurut pasal 28 UU 31 Tahun 2002, bantuan Rp 300 juta untuk parpol itu sudah melampaui batas aturan yang ditentukan dalam ketentuan pendanaan partai politik.
Sayang, para pihak bersikap defensif (membela diri), berkelit atau menyangkal. Berbeda dengan yang lain, Amien Rais mengakui secara jujur bahwa dirinya dan PAN menerima dana non-bujeter DKP sebesar Rp 200 juta. Amien mengatakan, PAN menerima cek sebanyak delapan lembar dengan total dana sebesar Rp 200 juta. Cek itu diterima dari mantan Menteri DKP Rokhmin Dahuri menjelang masa kampanye Pemilu 2004.
Amien berharap, pengakuannya ini bisa membuka jalan bagi para penegak hukum yang sedang mengusut kucuran dana non-bujeter DKP. Amien pun meminta agar kasus ini diusut tuntas. Selain itu, Amien mengungkap bahwa ada pasangan capres-wapres yang langsung mendapatkan dana dari Washington. Sejatinya hal ini pun diungkap karena sudah menjurus pada skandal dengan asing. Sayang, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru menutup penyelidikan kasus tersebut.
Kasus penerimaan dana non-bujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk dana kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004 lalu, menurut pakar hukum pidana Universitas Indonesia Rudy Satrio, SH (19/5/07), merupakan bentuk gratifikasi dan tindak pidana korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) harus berani memanggil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk dimintai keterangan di muka persidangan. Karena itu, kasus ini demikian dahsyat, karena melibatkan/menyeret parpol besar dan calon-calon presiden kala itu.
Beberapa Pelajaran
Ada beberapa pelajaran yang dapat diambil. Pertama: mahalnya kejujuran. Berbagai pihak yang disebut-sebut menerima dana dari DKP banyak yang mengelak. Namun, suara lantang Amien Rais yang mengaku secara terbuka melahirkan sebuah pertanyaan, tidak mungkinkah capres dan tim sukses lain pun menerimanya? Benarkah bantahan tersebut? Hal ini perlu dibuktikan.
Terlepas dari itu, semua ini semakin menunjukkan bahwa perilaku para elit politik menunjukkan sikap mendua. Hal ini tidak aneh dalam dunia politik kapitalis sekular. Sebab, sebagaimana sudah menjadi rahasia umum, kebohongan dalam politik sekular merupakan suatu hal yang biasa.
Perpolitikan seperti ini berbeda dengan politik islami. Dalam Islam, kedustaan dan ketidakjujuran amat dibenci Allah SWT. Bahkan kedustaan dan ketidakjujuran akan menghantarkan pada kejahatan. Nabi saw. menyatakan:
وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
Sesungguhnya dusta itu akan mengantarkan pada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan ke neraka. Jika seseorang membiasakan diri dalam kedustaan maka akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta. (Muttafaq ’alaih).
Jelas, kedustaan dan ketidakjujuran hanya akan membawa kejahatan. Berbagai kezaliman, ketidakadilan, tebang pilih, dan pengabaian hak-hak rakyat yang kini dirasakan rakyat tidak dapat dilepaskan dari budaya politik tidak jujur.
Kedua: kecurangan yang dibiarkan. Penggunaan uang rakyat untuk kepentingan partai politik tertentu dan kampanye capres-wapres merupakan kecurangan. Dalam Islam, menggunakan harta negara atau harta rakyat merupakan suatu tindak kecurangan. Di akhirat, kecurangan ini akan berbalik kepada dirinya. Para pejabat semestinya khawatir akan hisab dari Allah SWT tersebut. Di dunia boleh saja mereka lolos. Namun, di akhirat pasti terjerat.
Muadz bin Jabal menceritakan saat beliau diangkat sebagai penguasa daerah sekaligus qâdhî (hakim):
Rasulullah saw. mengutusku ke Yaman sebagai penguasa daerah. Setelah aku berangkat, Beliau mengutus orang lain menyusulku. Aku pun pulang kembali. Sesampainya kepada Nabi saw., Beliau bertanya kepadaku, ”Tahukah engkau, mengapa aku mengutus orang menyusulmu? Janganlah engkau mengambil sesuatu untuk kepentingan sendiri tanpa seizinku. Itu merupakan kecurangan. Siapa saja yang berbuat curang, kelak pada Hari Kiamat akan dibangkitkan dalam keadaan memikul beban kecurangannya. Untuk itulah engkau kupanggil. Sekarang, berangkatlah untuk melaksanakan tugas pekerjaanmu.” (HR at-Tirmidzi).
Hadis ini menegaskan keharaman mengambil harta rakyat untuk kepentingan sendiri, yakni bukan kepentingan rakyat. Harta untuk memperkaya diri, partai politik tertentu, atau kampanye agar terpilih menjadi kepala negara merupakan pengambilan harta untuk kepentingan sendiri. Karenanya, itu merupakan kecurangan.
Ketiga: sulitnya pemberantasan korupsi. Sikap defensif (membela diri) dengan melakukan berbagai bantahan tidak menerima dana DKP hanya menunjukan, betapa pemberantasan di era pemerintahan sekarang sangat sulit. Tebang pilih pemberantasan korupsi pun tak lagi hanya dugaan, tetapi semakin nyata. Intelektual yang tidak ditopang langsung oleh kekuatan politik seperti Nazaruddin Syamsuddin dijebloskan ke penjara. Rokhmin Dahuri yang dikenal jujur, bersih dan sangat perhatian pada pengembangan nelayan kecil dengan gampang dijebloskan ke tahanan. Namun, mereka yang dekat dengan kekuasaan tetap tidak diusik. Sikap ini akan dimanfaatkan banyak pihak yang terlibat korupsi untuk lebih dekat dengan kekuasaan supaya luput dari jeratan hukum. Para pejabat yang sedang berkuasa seakan kebal hukum. Apalagi DPR menghentikan proses penyelidikan dana DKP yang mengalir ke sebagian anggotanya. Semuanya ini telah membentuk sistem yang melanggengkan korupsi.
Kalau negara ingin bebas korupsi, tegakkanlah segera syariah Islam. Tengoklah betapa Islam memberikan solusi. Sebagai teladan, Khalifah Umar bin al-Khaththab telah menyita kekayaan beberapa orang kepala daerah dan pejabat. Pasalnya, ada indikasi kuat bahwa mereka memperoleh kekayaan tersebut secara tidak sah dan melawan hak. Bahkan beliau menyita seekor unta milik anak lelakinya sendiri ketika dilihat unta itu menjadi gemuk karena digembalakan bersama-sama dengan unta kaum Muslim yang diurus Baitul Mal (Perbendaharaan Negara). Hal ini beliau pandang sebagai perbuatan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan negara. Beliau pun memerintahkan anaknya menjual unta itu dan keuntungannya diberikan kepada Baitul Mal.
Keempat: pembuatan undang-undang harus dengan uang. Dalam kasus DKP terungkap ada dana miliaran masuk ke DPR untuk mengegolkan undang-undang terkait kelautan, perikanan dan pesisir. Ini adalah fenomena gunung es yang menggambarkan bahwa jika UU ingin disahkan harus ada uang suap. Dari sini dapat dipahami, mengapa UU tidak berpihak kepada rakyat melainkan kepada para pemilik modal. Sebut saja, UU Migas, Sumberdaya Air, Penanaman Modal, dll. Sebaliknya, RUU Anti Pornografi-Pornoaksi tidak jelas rimbanya. Berbeda dengan Islam. UU tinggal digali dari al-Quran dan as-Sunnah yang berasal dari Allah SWT, Zat Yang berpihak baik pada orang miskin maupun kaya.
Kelima: kini kedudukan menteri merupakan sumber ’setoran’ bagi pejabat/partai. Sudah menjadi rahasia umum bahwa semua departemen memberikan ’setoran’, terutama menjelang Pemilu atau Pemilihan Presiden.
Dalam sistem demokrasi jabatan kepala departemen atau menteri lebih merupakan hasil politik dagang sapi. Muaranya, kedudukan tersebut dijadikan sebagai alat untuk memperkokoh partai masing-masing. Berbeda dengan itu, kepala departemen dalam Khilafah didedikasikan bagi kepentingan rakyat. Mereka akan bekerja demi rakyat dengan keahliannya.
Wahai kaum Muslim:
Kasus dana nonbujeter DKP telah membuka mata kita, bahwa sistem yang sedang berlangsung saat ini jelas-jelas rusak, dan diakui atau tidak telah menjerumuskan pada kehancuran Indonesia. Maka, hanya ada satu pilihan, yaitu syariah Islam. Syariah Islam dengan sistem Khilafahlah yang akan menyelamatkan rakyat dan negeri ini dari kehancuran.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu,(QS. Al-Anfâl [8]: 24) []
Komentar AL-Islam:
Israel Intruksikan, “Bunuh Khalid Mishal dan Ismail Haniyah!”(Eramuslim.com, 22/5/07).
Satu lagi bukti, damai dengan Israel hanyalah omong-kosong. Hanya jihad (perang) yang dapat menghentikan Israel!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar