Rabu, 23 Maret 2011

Problem Kenaikan Harga Minyak dan Solusinya


[BULETIN AL-ISLAM EDISI 381]
Harga minyak di pasar internasional pada minggu terakhir ini telah menembus US$ 99 perbarel. Masalah kenaikan harga minyak itu selama bulan terakhir ini menjadi pembicaraan hangat karena akan berdampak terhadap APBN dan perekonomian Indonesia.
Kenaikan harga minyak tidak hanya dipengaruhi faktor penawaran dan permintaan. Jim Burkhard, Direktur Pelaksana dari Cambridge Energy Research Associates, mengatakan, “Harga minyak tak lagi ditentukan faktor permintaan dan penawaran, tetapi lebih kompleks dari itu.”
Permintaan minyak dunia sebenarnya datar-datar saja, yaitu sekitar 85 juta barel/hari. Dari sisi penawaran, menurut Sekjen OPEC Abdalla Salem El-Badri, pasokan minyak mentah juga berjalan dengan baik. Bahkan OPEC telah memutuskan pada September lalu untuk menambah produksi sebanyak 500 ribu barel perhari dan mulai efektif 1 November lalu.
Faktor geopolitik, yaitu ketidakstabilan di kawasan penghasil minyak, khususnya Timur Tengah, dinilai turut menjadi penyebab naiknya harga minyak. Situasi di Irak sampai saat ini tidak kunjung stabil. Belum lagi ketegangan di wilayah perbatasan Irak dengan Turki. Namun, hal itu tidak terlalu berpengaruh karena, menurut Sekjen OPEC, pasokan minyak dunia aman-aman saja.
Perlu diingat bahwa AS memiliki pengaruh besar terhadap situasi kawasan Timur Tengah. AS masih mengontrol keamanan di Irak. AS juga memiliki pengaruh besar terhadap Turki maupun kelompok suku Kurdi yang sedang bersitegang. Bukan mustahil ketidakstabilan politik kawasan itu memang diinginkan oleh AS. Pasalnya, hal itu akan bisa menaikkan harga minyak yang harus dibayar dengan dolar. Akibatnya, permintaan dolar jelas akan naik. Alasan ini bisa masuk akal mengingat AS selama beberapa bulan ini menghadapi masalah dengan turunnya nilai dolar.
Faktor lain yang lebih berpengaruh menaikkan harga minyak dunia adalah ulah spekulan. Ini adalah dampak krisis kredit subprime mortgage(perumahan berkualitas rendah) di AS. Investor di bursa mengalihkan investasinya dan memilih minyak sehingga menaikkan harga minyak. Ulah spekulanlah yang lebih banyak menyebabkan kisruh harga minyak saat ini. Fadel Gheit, analis energi yang disegani dari Oppenheimer & Co di New York, mengatakan, “Harga minyak seharusnya tidak melampaui 55 dolar AS perbarel.” Gheit juga menuding ulah spekulan, termasuk lembaga keuangan terbesar di dunia milik AS, Inggris, dan lainnya.
Kenaikan harga minyak akan mempengaruhi pertumbuhan. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan mencapai 6,1%, masih kurang dari target Pemerintah sebesar 6,5%. Adapun laju pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan turun dari proyeksi 5,2% menjadi 4,8%. BPS sendiri telah merilis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III 2007 adalah 6,5 %.
Kenaikan harga minyak dinilai akan menaikkan jumlah subsidi. Namun, Pemerintah mengambil kebijakan berbeda dengan tahun 2005 lalu. Tahun 2005 lalu, dengan alasan kenaikan subsidi akibat naiknya harga minyak, Pemerintah menaikkan harga BBM hingga rata-rata lebih dari 126%. Saat ini Pemerintah menyatakan tidak akan menaikkan harga BBM bersubsidi, setidaknya hingga 2009. Wapres Jusuf Kalla meminta masyarakat untuk tetap bersikap tenang atas kenaikan harga minyak dunia karena kenaikan harga minyak sebenarnya juga meningkatkan pendapatan negara. Ini terlihat ”aneh”. Tahun 2005 lalu Pemerintah sangat menonjolkan kenaikan subsidi akibat naiknya harga minyak, dan sebaliknya, ”menutup-nutupi” adanya kenaikan pendapatan negara sebagai berkah kenaikan itu. Sekarang justru sebaliknya. Kenaikan harga minyak di pasar internasional justru menguntungkan Pemerintah. Direktur Ekonomi Makro Bappenas Bambang Priambodo mengatakan, meskipun belanja subsidi bahan bakar minyak ikut terkerek, total pendapatan negara dari PNBP Migas, PPh Migas, dan penerimaan lainnya masih lebih besar dari beban subsidi. Setiap US$ 1 dolar kenaikan harga minyak akan meningkatkan pendapatan negara Rp 3,24 triliun sampai Rp 3,45 triliun; subsidinya juga naik Rp 3,19 triliun sampai Rp 3,4 triliun. Artinya setiap kenaikan US$ 1 dolar negara untung Rp 48-50 miliar (Tempointeraktif, 22/10/07).
Menteri ESDM juga menyatakan, “Setiap kenaikan US$ 1 harga minyak, kita memperoleh `windfall` (keuntungan tambahan) sebesar Rp 3,34 triliun, dengan asumsi kursnya mencapai Rp 9.050 perdolar.” (Antaranews, 23/10/07).
Kenaikan harga minyak itu juga akan menaikkan cadangan devisa negara.Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom menyatakan pada akhir Oktober lalu bahwa cadangan devisa negara sebesar US$ 54,3 miliar. Menurutnya, dalam simulasi yang dibuat BI, untuk setiap kenaikan 1 dolar AS perbarel, pada triwulan IV 2007, akan meningkatkan surplus transaksi berjalan 23,3 juta dolar AS dan meningkatkan cadangan devisa 35,6 juta dolar AS setiap triwulannya; dan pada 2008 akan meningkatkan surplus transaksi berjalan 27,1 juta dolar AS dan cadangan devisa 36,3 juta dolar AS setiap triwulannya.
Namun, kenaikan harga minyak itu akan mempengaruhi industri. Hal itu karena BBM industri ditentukan harganya mengikuti harga minyak internasional menurut harga rata-rata di bursa Singapura (Mid Oil Plats Singapore/MOPS). Kenaikan harga minyak akan menaikkan biaya produksi sehingga industri terpaksa menaikkan harga jual produknya. Tentu saja pada ujungnya rakyat banyak yang memikul beban dari kenaikan itu.
Meski Pemerintah menjamin tidak menaikkan harga BBM, bukan berarti tidak akan terjadi apa-apa khususnya pada tahun depan (2008). Chatib Basri, Staf Ahli Menkeu, mengatakan bahwa pengaruh kenaikan harga terhadap APBN 2008 sangat bergantung pada produksi minyak dan pengendalian konsumsi BBM. Mengenai pengendalian konsumsi, memang harga BBM perlu dinaikkan. Namun, Pemerintah berkomitmen untuk tidak menaikkan BBM. Karena itu, perlu dilakukan pembatasan kuota BBM bersubsidi. Menurut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, Pemerintah akan berupaya mengurangi kenaikan subsidi akibat naiknya harga minyak dengan mengurangi konsumsi premium dan minyak tanah bersubsidi. Usulan pembatasan premium hanya untuk kendaraan umum saja mungkin adalah perealisasiannya.
Kisruh migas di dalam negeri bukan hanya dipengaruhi faktor luar, yakni harga minyak dunia. Pengelolaan migas di dalam negeri juga menjadi biangnya. Pasalnya, migas di negeri ini sebagian besarnya (sekitar 90%) dikuasai oleh (baca: diberikan kepada) asing. Dampak positif kenaikan harga minyak justru banyak mengalir ke pihak asing. Padahal migas adalah milik seluruh rakyat negeri ini. Bayangkan, Pertamina hanya menguasai sekitar 10% saja. Masalahnya lebih runyam lagi. Hasil migas banyak diekspor. Pemenuhan minyak dalam negeri akhirnya banyak diimpor. Itu pun dengan harga lebih tinggi karena keberadaan broker. Salah satu biangnya adalah UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Pasal 22 menyatakan, “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.” Kelangkaan gas dan tersendatnya pasokan BBM adalah “korban” dari pasal ini.

Solusi Islam
Jelas akar masalah kisruh akibat kenaikan harga minyak tidak lain adalah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi kapitalis menjadikan migas dikuasai oleh swasta, khususnya asing, melalui mekanisme kebebasan kepemilikan. Sistem ini juga membenarnya adanya bursa yang menjadi sarang spekulan. Sistem ini pun menetapkan mata uang yang tidak lagi bersandar pada emas dan perak yang menjadikan nilainya rentan mengalami guncangan.
Karena itu, terus mempertahankan sistem kapitalis sama saja dengan melanggengkan masalah serta memperpanjang penderitaan dan kesusahan. Mahabenar Allah Yang berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (QS Thaha [20]: 124).
Karena itu pula, sistem kapitalis yang menjadi akar masalah itu harus dicabut dan dibuang. Dan selanjutnya diganti dengan sistem Islam. Sistem Islam menetapkan migas termasuk kepemilikan umum yang dimiliki seluruh rakyat secara bersama dan haram dikuasai oleh swasta. Negara pun tidak berhak memilikinya. Rasul saw. bersabda:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Negara hanya boleh mengelolanya—mewakili rakyat—dan hasilnya dikembalikan seluruhnya kepada rakyat. Dengan begitu seluruh dampak positif kenaikan harga akan kembali kepada rakyat. Di samping itu pemenuhan kebutuhan minyak juga dapat dijamin.
Islam juga meniadakan bursa future, transaksi derivatif dan sektor non-real secara umum. Dengan itu, ulah spekulan bisa diblok sehingga tidak bisa menyebabkan kisruh. Di samping itu, Islam menetapkan sistem mata uang berbasis emas dan perak sehingga nilainya akan stabil dan tidak mudah terguncang. Dengan itu tidak akan terjadi kisruh harga akibat gejolak nilai mata uang.
Walhasil, untuk mengakhiri masalah-masalah di atas tidak lain hanya dengan menerapkan sistem ekonomi Islam yang berbasis syariah, yang disertai dengan penerapan syariah Islam secara total dalam seluruh bidang kehidupan. Itu semua hanya mungkin melalui institusi Negara Islam, yakni Daulah Khilafah Islamiyah yang mengikuti metode Kenabian. Pendirian Khilafah Islamiyah ini merupakan masalah yang sangat urgen dan mendesak. []
Komentar:
Korupsi Kian Subur di Tengah Kepentingan Ekonomi-Politik (Kompas, 27/11/07).
Ingat, korupsi hanya bisa diatasi dengan penegakan syariah Islam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar