Rabu, 23 Maret 2011

Mengatasi Kemiskinan


[BULETIN AL-ISLAM EDISI 385]
Baru-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, tingkat kemiskinan pada 2007 telah berkurang menjadi 16,5 persen; turun drastis dibandingkan dengan awal tahun 1998 ketika terjadi krisis ekonomi, yang mencapai 24,2 persen. Presiden Yudhoyono mengungkapkan hal itu saat memberikan sambutan pada Peringatan Hari Ibu (PHI) ke-79. Pidato Kepala Negara seperti membantah iklan layanan di media elektronik dari salah satu partai politik calon peserta Pemilu 2009 yang menyebutkan tingkat kemiskinan masih tinggi atau sekitar 49,5 persen. Iklan tersebut menjelaskan, angka penduduk miskin sebesar 49,5 persen itu merujuk pada Bank Dunia sehingga berbeda dengan yang digunakan Pemerintah, yaitu Badan Pusat Statistik (Antara News, 18/12/2007).
Bagi Pemerintah, bantahan terhadap turunnya angka kemiskinan tentu tidak nyaman untuk didengar karena dianggap memperburuk citra pemerintahan yang sedang berjalan. Sejauh ini keberhasilan penurunan angka kemiskinan versi BPS memang bisa dikatakan hanya dalam angka, bukan dalam fakta. Sebab, belum satu pun alasan yang bisa memuaskan, mengapa angka kemiskinan bisa turun drastis.
Lebih dari itu, kemiskinan tetaplah merupakan fakta dan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari negeri ini. Keadaan semakin mengenaskan ketika minyak tanah sempat langka di pasaran, bahkan di beberapa tempat rakyat harus antri sampai beberapa jam hanya untuk mendapatkan dua liter minyak tanah. Harga beras juga terus meroket tajam mencapai lebih dari Rp 5000 perkilogram. Tentu ironis. Indonesia sebagai negeri yang subur, setelah lebih 60 tahun merdeka, terpaksa menjadi pengimpor beras dan tidak sedikit rakyatnya kembali harus makan nasi aking atau gaplek karena harga beras tak terjangkau.
Rasa kemanusiaan kita pun terasa semakin tersayat. Di tengah angka kemiskinan yang tetap tinggi, kita dikagetkan oleh berita peningkatan kekayaan yang dramatis dari Aburizal Bakri dan keluarganya hingga senilai 5,4 miliar dolar AS (hampir Rp 50 triliun) tahun ini atau naik dari 1,2 miliar dolar AS pada tahun 2006 (Pikiran Rakyat, 14/12/2007). Pada saat yang sama, PT Lapindo yang pemegang saham terbesarnya adalah Aburizal Bakri dimenangkan atas para korbannya yang menangis menanti ganti rugi tanah dan rumah mereka yang terendam lumpur.
Kondisi paradoks juga terjadi. Di tengah rakyat yang semakin sulit untuk mempertahankan hidup, Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR berencana untuk merenovasi 495 rumah dinas anggota DPR dengan biaya sekitar Rp 200 juta setiap rumahnya. Tidak hanya itu. Santunan sebesar Rp 13 juta perbulan juga akan diberikan kepada setiap wakil rakyat untuk mengontrak rumah selama proses renovasi.

Kemiskinan Rakyat: Akibat Kebijakan Ekonomi yang Keliru
Saat ini Negara sepertinya semakin tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat. Banyak kebijakan Pemerintah malah semakin membebani rakyat dan secara langsung terus melestarikan kemiskinan. Beberapa indikatornya adalah sebagai berikut:
Pertama, sektor riil tidak bergerak. Dana masyarakat yang berjumlah lebih dari Rp 210 triliun ternyata oleh bank-bank yang ada hanya diletakkan di BI melalui instrumen SBI. Akibatnya, Bank Sentral harus mengeluarkan dana lebih dari Rp 20 triliun setahun hanya untuk membayar bunganya saja; satu jumlah yang sangat besar. Meski Pemerintah mengatakan pertumbuhan ekonomi mencapi lebih 5%, ternyata tiap pertumbuhan 1% tahun ini, menurut laporan Bappenas (2006), hanya membuka 48.000 lapangan kerja. Artinya, pertumbuhan ekonomi tersebut tidak selaras dengan pembukaan lapangan kerja. Jika bekerja adalah jalan untuk mendistribusikan kekayaan dan mengurangi kemiskinan, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia telah gagal bekerja sesuai harapan. Inilah yang oleh Paul Grugman (1999) disebut sebagai ekonomi balon (buble economy)akibat praktik bunga dan judi (Maurice Alaise, 1998). Pasalnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi sesungguhnya terjadi di sektor moneter, bukan di sektor riil yang bisa dirasakan langsung oleh rakyat kebanyakan.
Kedua, Pemerintah berencana meningkatkan kembali utang negara. Terakhir terdengar ada usulan utang yang secara keseluruhan bernilai Rp 35 miliar dolar AS. Jika benar, dipastikan utang itu akan makin menambah beban rakyat. Untuk tahun 2007 ini saja, cicilan dan bunga utang sudah lebih dari 30% besaran APBN. Jumlah ini lebih besar daripada anggaran untuk pendidikan, kesehatan dan pertahanan secara bersama-sama.
Ketiga, berbagai upaya Pemerintah mulai program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Askeskin dan Bantuan Tunai Langsung (BLT) tampak tidak mampu menyelesaikan problem kemiskinan dan kesejahteraan rakyat selama Pemerintah masih belum mampu menggerakkan sektor riil.
Keempat, dari sisi penerimaan, Pemerintah menjadikan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara. Akibatnya, rakyat akan semakin dibebani pajak. Sejak tahun 2002, Pemerintah meningkatkan sumber penerimaan pajak di atas 70 %, bahkan tahun 2006 sebesar 75,2%, sedangkan sisanya dari sumberdaya alam. Menurunnya penerimaan negara dari sumber bukan pajak merupakan dampak dari kebijakan Pemerintah yang menyerahkan pengelolaan sumberdaya alam kepada swasta, khususnya asing. Dengan payung liberalisasi dalam investasi dan privatisasi sektor publik, perusahaan multinasional asing seperti Exxon Mobil Oil, Caltex, Newmount, Freeport, dan lainnya dengan mudah mengekploitasi kekayaan alam Indonesia dan semua potensi ekonomi yang ada. Akibatnya, pemasukan APBN dari sektor SDA Migas dan non-Migas makin lama makin kecil. Pada saat yang sama, privatisasi sektor publik mengakibatkan kenaikan perkwartal TDL, telepon, dan BBM.
Kelima, dari sisi pengeluaran, terdapat alokasi belanja yang sangat bertolak belakang. Dana pajak yang dipungut dari masyarakat dengan susah-payah ternyata sebagian besar adalah untuk membayar utang yang rata-rata tiap tahun sebesar 25-30% dari total anggaran. Dalam APBN-P 2007, anggaran belanja subsidi BBM dan lainnya sebesar Rp 105 triliun, sedangkan pembayaran utang bunga Rp 83,5 triliun dan cicilan pokok Rp 54,7 triliun atau total sebesar Rp 138,2 triliun. Jelaslah, penyebab defisit APBN bukanlah besarnya subsidi, melainkan utang yang sebagian besar hanya dinikmati oleh sekelompok kecil, yaitu konglomerat, untuk kepentingan restrukturisasi perbankan.

Syariah Islam: Solusi Tuntas Mengatasi Kemiskinan
Dalam pandangan Islam, sangat mendesak untuk menghilangkan segera faktor-faktor yang membuat membengkaknya ekonomi balon dan tidak bergeraknya sektor riil, yakni praktik judi dan ekonomi ribawi. Dalam konteks ekonomi, pelarangan bunga bank (riba) dan judi (dalam bursa saham; yang disebut oleh Maurice Alaise sebagai a big casino) dipastikan akan meningkatkan velocity of money, yang pada gilirannya akan melancarkan distribusi kekayaan. Di samping itu, Islam juga memandang problem ekonomi sesungguhnya memang bukan kelangkaan barang (scarcity), melainkan buruknya distribusi. Fakta menunjukkan, kemiskinan terjadi bukan karena tidak ada uang, tetapi karena uang yang ada tidak sampai kepada orang-orang miskin. Kemiskinan juga bukan karena kelangkaan SDA, tetapi karena distribusinya yang tidak merata. Sistem ekonomi kapitalis telah membuat 80% kekayaan alam, misalnya, dikuasai oleh 20% orang, sedangkan 20% sisanya harus diperebutkan oleh 80% rakyat.
Salah satu mekanisime untuk menjamin distribusi secara merata adalah mengatur masalah kepemilikan. Dalam Islam, barang-barang yang menjadi kebutuhan umum seperti BBM, listrik, air, dan lainnya sesungguhnya adalah milik rakyat yang harus dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat. Penetapan harga barang tersebut, karena semua itu milik rakyat, mestinya didasarkan pada biaya produksi, bukan didasarkan pada harga pasar. Kebijakan seperti ini dipercaya akan menjauhkan monopoli oleh swasta dan gejolak harga yang disebabkan oleh perubahan harga pasar, seperti yang sekarang terjadi pada minyak bumi, yang pada akhirnya membuat harga barang-barang publik akan sangat murah dan senantiasa stabil.
Karena itu, sudah saatnya Pemerintah menghentikan privatisasi barang-barang milik umum itu dan mencabut semua undang-undang yang melegalkan penjarahan SDA oleh pihak asing.
Dalam konteks kebutuhan rakyat akan layanan pendidikan dan kesehatan, Islam telah mewajibkan Pemerintah menjamin kebutuhan tersebut. Karena itu, melakukan perubahan paradigma dalam penyusunan APBN untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat agar kebutuhan layanan publik bisa diwujudkan menjadi mutlak karenanya.
Lebih dari itu, sudah saatnya negeri ini diatur oleh syariah Islam. Hanya dengan syariah Islam—yang notabene berasal dari Zat Yang Maha Pengatur, Allah SWT—yang diterapkan oleh negara melalui tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah, khususnya dalam konteks pengaturan sistem ekonomi, problem kemiskinan rakyat akan dapat diatasi secara tuntas.
Di samping solusi, penerapan syariah Islam oleh negara juga merupakan wujud ketakwaan umat kepada Allah SWT. Ketakwaan umat inilah yang akan menghasilkan keberkahan hidup, sebagaimana yang telah Allah janjikan.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu sehingga Kami menyiksa mereka disebabkan perbuatan mereka. (QS al-A‘raf [7]: 96).
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-islam:
Pemerintah SBY Harus Fokus Pada Pengentasan Kemiskinan (Republika.co.id, 24/12/2007).
Ingat! Indonesia miskin karena kekayaannya banyak dikuasai oleh swasta/asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar