Rabu, 23 Maret 2011

Mewujudkan Kembali Kekuatan Dunia Islam


[Al-Islam Edisi 417]
. Pada tanggal 29 Juli - 1 Agustus 2008 yang lalu, tokoh Muslim dunia berkumpul dalam kegiatan Internasional Conference of Islamic Scholars (ICIS) III yang mengangkat tema Penegakan Islam sebagai Rahmatan lil-alamin untuk Pembangunan Perdamaian dan Pencegahan Konflik Di dunia Muslim. Konferensi ini melahirkan Jakarta Message yang salah satu isinya adalah keprihatinan atas perbedaan Islam sebagai agama perdamain dan kesatuan, dengan kenyataan bahwa dunia Islam masih tercoreng oleh konflik, kekerasan, dan kemiskinan (Republika.co.id, 1/8).
Poin lain yang menonjol dari Jakarta Message adalah pembentukan ulama sans frontieres atau ulama lintas batas yang akan dilaksanakan oleh masing-masing perwakilan ICIS di lima kawasan, yaitu Asia Timur dan Pasifik, Asia Selatan dan Tengah, Timur Tengah, Afrika, serta kawasan Amerika dan Eropa. Ulama lintas batas adalah suatu upaya kerja sama antara ulama dan cendekiawan serta kelompok profesi lainnya di bidang pencegahan konflik di dunia Islam. Ulama lintas batas akan dilaksanakan dengan semangat komprehensif dan sensitivitas, dialog, keterbukaan dan kesabaran, solidaritas kemanusiaan, keadilan, dan kepemimpinan yang visioner.
Penjajahan di Dunia Islam
Salah satu hal yang cukup menarik untuk dibahas lebih lanjut dari hasil ICIS III tersebut adalah adanya kesepahaman tentang akar konflik yang saat ini terjadi di dunia Islam. Sebagaimana diberitakan oleh Kompas(31/7), rangkuman berbagai diskusi pada konferensi tersebut menyimpulkan bahwa berbagai konflik yang terjadi di sejumlah negara berpenduduk mayoritas Islam lebih banyak dipicu oleh faktor eksternal ketimbang internal di antara umat Muslim di negara-negara tersebut.
Terkait dengan faktor eksternal tersebut, ulama terkemuka Suriah sekaligus pemikir Islam yang buku-bukunya menjadi bacaan wajib di berbagai negara, Prof Dr Wahbah Az-Zuhaili, menegaskan, selama 14 abad negara-negara Arab dan Islam hidup dalam damai. ”Sejak Amerika Serikat datang dan menanamkan pengaruhnya, justru terjadi perpecahan di negara-negara Arab,” ujarnya.
Ketua Majelis Dakwah Islam Sudan Syekh Umar Idris Hadrah menuturkan hal yang sama. Sudan sempat goyang akibat konflik Darfur, tetapi saat ini kondisi keamanan dan politik mulai stabil. Meski demikian, Barat selalu berusaha mengganggu stabilitas karena ingin meraup kekayaan alam Sudan, terutama di Darfur. ”Konflik antar etnis Darfur itu tidak benar. Hal itu hanya dibesar- besarkan media asing. Ada upaya memecah belah rakyat Sudan,” ujarnya.
Sementara kepala kantor pemimpin Syiah Irak Moqtada al-Sadr, Majid Kadhim Shanyoor menyatakan, ”Jika AS masih ada di Irak, kondisi Irak tidak akan pernah aman karena konflik antara kelompok Al-Sadr dengan Sunni dan Kurdi merupakan cara AS memecah belah bangsa Irak. Kami menolak segala macam keinginan pembagian wilayah dan kekayaan sumber alam. Kami menginginkan Irak yang bersatu dan penarikan pasukan AS. Kami tidak terlibat dalam pertikaian kelompok di Irak.”
Itulah pernyataan resmi perwakilan negeri-negeri Muslim yang saat ini dilanda konflik. Artinya bahwa penyebab utama kegoncangan dan kerusakan di negeri-negeri tersebut adalah faktor eksternal, yakni penjajahan AS dan sekutunya. Sebagaimana diketahui, saat ini AS sedang melancarkan imperialismenya di negeri-negeri Muslim melalui dua cara.Pertama, melalui intervensi militer, seperti yang sedang dipertontonkan AS saat ini di Irak dan Afghanistan. Baru-baru ini Presiden AS, George W. Bush menandatangani tambahan anggaran perang di Irak dan Afganistan sebesar 162 miliar USD.
Tambahan anggaran tersebut memungkinkan Pentagon menggelar operasi militer di Irak dan Afganistan hingga pertengahan 2009. The House of Representatif AS juga tidak menetapkan batas waktu penarikan tentara Amerika Serikat dari Irak. Alasan yang paling memungkinkan kenapa AS masih ingin bertahan di Irak adalah faktor minyak. Dengan cadangan minyak Irak yang sangat besar tentu akan menjadi darah segar bagi ekonomi AS yang sedang collaps. Di Irak diperkirakan terdapat cadangan minyak sekitar 115 miliar barel, yang merupakan cadangan terbesar ketiga di dunia.
Kedua, intervensi non militer yang berupa politik dan ekonomi. Imperialisme seperti inilah yang diterapkan AS dan sekutunya di negeri-negeri Muslim lainnya termasuk Indonesia. Alat utama yang digunakan AS untuk memuluskan imperialismenya tersebut adalah globalisasi. Sehingga bagi negara-negara Dunia Ketiga yang notabene adalah negeri-negeri Muslim, globalisasi tidak lain adalah imperialisme baru yang menjadi mesin raksasa produsen kemiskinan yang bengis dan tak kenal ampun. Jerry Mander, Debi Barker, dan David Korten tanpa ragu menegaskan, ”Kebijakan globalisasi ekonomi, sebagaimana dijalankan oleh Bank Dunia, IMF, dan WTO, sesungguhnya jauh lebih banyak menciptakan kemiskinan ketimbang memberikan jalan keluar.” (The International Forum on Globalization, 2004: 8).
Pada dasarnya, globalisasi yang dimotori AS merupakan proses menjadikan sistem ekonomi kapitalis ala Amerika Serikat sebagai sistem dominan di dunia, dengan mengintegrasikan perekonomian lokal ke dalam tatanan perekonomian global melalui privatisasi, pasar bebas, dan mekanisme pasar pada semua perekomian negara-negara di dunia. Ini berarti penghapusan semua batasan dan hambatan terhadap arus perpindahan barang, modal, dan jasa yang bersandar pada kekuatan pengaruh Amerika Serikat. WTO, Bank Dunia, dan IMF tiada lain hanyalah alat untuk memaksakan kekuatan Amerika Serikat itu.
Atas nama pasar bebas (WTO, AFTA, APEC, Bank Dunia, IMF), negeri-negeri Muslim dipaksa membuka keran privatisasi yang luar biasa, termasuk dengan menjual asset-asset publik mereka kepada swasta asing, baik dengan alasan untuk membayar utang, maupun agar kompatibel dengan aturan-aturan internasional. Di Indonesia, lembaga-lembaga kreditor internasional tersebut melalui berbagai skema pinjaman luar negeri memainkan peran penting mendorong agenda privatisasi, melalui keluarnya berbagai produk regulasi seperti UU Sumber Daya Air, UU Migas, UU Penanaman Modal hingga privatisasi BUMN. Hasilnya, saat ini investasi sektor minyak dan gas bumi misalnya, sebanyak 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia dimiliki oleh perusahaan asing.
Ini merupakan fakta bahwa penjajahan atau imperialisme merupakan metode baku (thariqah) negara kapitalis untuk menguasai negara lain, yang berbeda hanya terbatas pada bentuk dan pola penjajahannya.
Khilafah: Kunci Kekuatan Dunia Islam
Peran politik internasional sebuah negara sangat dipengaruhi oleh kekuataan negara tersebut. Negara yang lemah pasti tidak memiliki peran yang penting dalam konstelasi internasional. Negara itu hanya menjadi pengekor atau bahkan ditindas oleh negara yang kuat. Faktor utama yang membuat sebuah negara kuat adalah ideologi (mabda’)-nya. Tanpa ideologi atau menjadi pengikut ideologi asing, sebuah negara akan menjadi lemah. Faktanya, semua negara adidaya atau yang pernah menjadi negara adidaya pasti merupakan negara yang dibangun di atas satu ideologi tertentu. Misalnya, Uni Sovyet—sebelum runtuh—dengan ideologi sosialisme-komunisnya, AS dengan ideologi kapitalisme-sekularnya, dan Khilafah Islamiyah pada masa lalu dengan ideologi Islamnya.
Ideologi adalah faktor utama yang membuat sebuah negara menjadi kuat sehingga mampu berperan secara dominan dalam percaturan politik internasional. Sementara negara-negara Muslim saat ini justru meninggalkan Islam sebagai ideologi, sehingga secara ekonomi dan politik mereka di bawah hegemoni (baca : jajahan) AS dan sekutunya. Karena itu, untuk kembali berperan dalam konstelasi internasional serta membebaskan diri dari penjajahan militer, politik, dan ekonomi, maka umat Islam harus kembali menegakkan Khilafah Islamiyah yang menjadikan Islam sebagai ideologi sekaligus dasar negaranya. Negara semacam inilah yang akan menerapkan hukum Islam, mengemban ideologi Islam ke seluruh dunia, dan bahkan menjadi satu-satunya negara adidaya di dunia.
Tidak hanya ideologi Islam, umat Islam juga memiliki sumber-sumber kekuataan yang bisa mendukung terwujudnya Khilafah Islamiyah sebagai negara adidaya dunia.
Pertama, jika seluruh wilayah kaum Muslim di dunia bersatu di bawah naungan Khilafah Islamiyah, mereka akan memiliki posisi geografis yang sangat menguntungkan sebagai negara adidaya. Kaum Muslim secara geografis menempati posisi yang strategis pada jalur laut dunia.
Mereka mengendalikan Selat Gibraltar di Mediterania Barat, Terusan Suez di Mediterania Timur, Selat Balb al-Mandab yang memiliki teluk-teluk kecil di Laut Merah, Selat Dardanelles dan Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, serta Selat Hormus di Teluk. Selat Malaka merupakan lokasi strategis di Timur Jauh. Dengan menempati posisi yang strategis ini, kebutuhan masyarakat internasional akan wilayah kaum Muslim pastilah tinggi mengingat mereka harus melewati jalur laut strategis tersebut. Di samping itu, mereka akan sulit menaklukkan negeri-negeri Islam, karena pintu-pintu strategis laut dikuasai oleh kaum Muslim.
Kedua, faktor sumberdaya alam. Negeri-negeri Islam dianugerahi oleh Allah Swt sebagai negeri-negeri yang kaya-raya dengan sumberdaya alamnya. Contohnya adalah kekayaan sumber pangan. Negara yang memiliki sumber pangan yang besar jelas akan memperkuat posisi negara tersebut, karena akan terhindar dari ketergantungan pada negara lain. Negeri-negeri Islam dikenal sebagai wilayah yang subur untuk bercocok tanam pangan. Sumberdaya alam lainnya yang penting adalah bahan mentah. Saat ini, dunia Islam mengendalikan cadangan minyak dunia (60%), boron (40%), fosfat (50%), perlite (60%), strontium (27%), dan tin ( 22%).
Dengan potensi ideologis dan faktor-faktor penunjang tersebut, Khilafah Islam jelas akan menjadi sebuah negara adidaya yang sangat kuat. Di sinilah letak pentingnya kaum Muslim menegakkan Khilafah Islam tersebut di tengah-tengah mereka. Ketidakadaan Khilafah Islam yang berdasarkan ideologi Islam membuat kaum Muslim mundur dalam peran internasionalnya, bahkan tidak mampu menghadapi penjajahan Barat. Bagaimanapun, Barat dengan kekuatan negaranya yang dibangun atas dasar ideologi kapitalisme yang mengglobal, juga harus dilawan dengan kekuatan negara yang dibangun di atas ideologi yang juga mengglobal. Negara tersebut adalah Khilafah Islam yang akan menghimpun potensi kaum Muslim dan menyatukan dunia Islam secara ril.
Karenanya, hanya melalui Khilafah Islam inilah umat Islam akan mampu memayungi dunia dengan segala kebaikannya melalui penerapan syari’ah-Nya yang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia. Sekaligus mengakhiri imperialisme AS dan sekutunya yang membawa bencana dan kesengsaraan umat manusia melalui penerapan kapitalisme sekulernya. Maha Benar Allah yang telah berfirman :
Tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam“ (QS. al Anbiya [21] : 107) .
Namun sayang, tidak pernah masalah Khilafah ini menjadi pembahasan bahkan agenda yang secara serius diperjuangkan oleh para ulama’ yang berkumpul dalam ICIS III tersebut. Karena itu, mungkinkah tanpa Khilafah mereka bisa mewujudkan cita-cita luhur membangun Islam rahmatan li al-’alamin, menghapus semua bentuk penjajahan, dan konflik dari dunia Islam? []
Komentar al-Islam:
Demokrasi Belum Dapat Memberikan Kesejahteraan Rakyat (Kompas, 4/8/2008)
Yang pasti sejahtera dalam demokrasi adalah para pemilik modal, bukan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar