Senin, 21 Maret 2011

Menyoal Raperda ‘Kota Injil’


Buletin al-Islam Edisi 351
Akhir bulan lalu, kita dikejutkan oleh upaya Pemerintah Kabupaten dan DPRD Manokwari Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar) menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) ‘Kota Injil’. Pasalnya, di samping berbau Kristen, dalam beberapa pasal, Raperda ini sangat merugikan umat Islam. Contohnya pasal 30, yang mengatur pembangunan rumah ibadah. Kalau di suatu daerah sudah ada gereja maka dilarang mendirikan masjid. Pasal 37 melarang pemakaian simbol agama dalam berpakaian. Artinya, Muslimah nanti akan dilarang berjilbab. Sebaliknya, di gedung-gedung pemerintahan wajib dipasang salib. Sangat jelas aroma ‘Kristenisasi’.
Banyak kalangan menilai upaya itu sebagai mengada-ada. Guru Besar FISIP UI, Prof. Eko Prasojo, misalnya, menilai, ”Perda seperti itu berpotensi menciptakan daerah yang tersekat-sekat berdasarkan agama, budaya atau suku.” (Republika, 25/3/2007). Raperda itu juga mendapat reaksi negatif dari PGI dan KWI, masing-masing sebagai badan pimpinan nasional Gereja Katolik dan Gereja Protestan. Pendeta Weinata Sairin, wakil sekretaris umum PGI, mengatakan, “PGI tetap menolak Perda atau Raperda yang berbasis agama, karena hal itu menimbulkan diskriminasi.” Sebelumnya, Pastor Antonius Benny Susetyo, sekretaris eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan KWI, mengungkapkan pendapat serupa. “Pada dasarnya KWI menolak setiap perda yang berbasis agama, termasuk Raperda Kota Injil di Manokwari,” katanya kepada UCA News. (Mirifica.net, 3/4/2007).
Berbeda dengan itu, Ustad Aliyuddin Abdul Aziz, tokoh Islam dan pengasuh Pondok Pesantren Darut Taqwa Manokwari, menyatakan, “Raperda Kota Injil ini bukan murni dirancang oleh pemerintah daerah, namun merupakan tekanan dari pihak gereja seluruh Papua.”
Saat ditegaskan bahwa PGI dan KWI telah menolak disahkan Raperda itu, Ustad Aliyuddin menampiknya, “Saya khawatir, ini hanya kamuflase (pengaburan). Sebab, saat awal-awal beredarnya Raperda ini, pihak gereja seakan acuh. Malah mereka bilang bahwa Raperda ini dimunculkan pihak ketiga (provokator) untuk mengadudomba kehidupan beragama di Manokwari. Namun, setelah kami desak, akhirnya mereka mengaku bahwa mereka merancang Raperda ini. (Hidayatullah.com, 15/4/2007).
Ada kabar, Raperda itu memang merupakan hasil simposium tokoh-tokoh gereja pada Februari 2006. Keberadaannya ditutup rapat-rapat kalangan Kristen. Namun, awal Maret lalu ada anak seorang pendeta Kristen yang masuk Islam, yang kemudian membocorkan rancangan tersebut.
Sebelum Raperda ini diusulkan sudah ada surat edaran dari Badan Pekerja Klasis Ransiki Gereja Kristen Injil di Tanah Papua untuk melarang pembangunan masjid baru di Kabupaten Manokwari. Malah sebelum Raperda ini diterapkan pun telah terjadi intimidasi terhadap para pelajar yang memakai busana Muslim. Tak aneh jika masyarakat di tingkat bawah resah. Bahkan sudah ada anggapan bahwa Raperda ini secara tidak langsung mengarah pada upaya pengusiran umat Islam dari Manokwari. Benih-benih konflik horisontal telah muncul.
Karena itu, Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia M. Ismail Yusanto mengatakan, ”Ini Perda yang harus dikutuk, termasuk oleh para pengusung demokrasi dan HAM.” Menurutnya, Pemerintah harus tegas menolaknya karena Raperda itu intoleran, diskriminatif, dan mengganggu keutuhan masyarakat. (Suara Islam Online, 13/4/2007).
Kekhawatiran Ismail Yusanto tampaknya beralasan. Pasalnya, beberapa waktu lalu pun, di Bali, masyarakat adat memaksa warga Muslim yang minoritas untuk mengikuti tatacara hari besar mereka seperti yang ditunjukkan pada Hari Raya Nyepi bulan lalu. Warga Muslim di Gianyar dan Denpasar dilarang menyalakan lampu pada hari itu. Kalau melanggar, rumah mereka dilempari. Siangnya, di kota Denpasar, seorang anggota TNI berkabung. Keluarganya ada yang meninggal. Berhubung hari itu Hari Raya Nyepiia tak dapat memakamkan jenazah keluarganya karena masyarakat tak boleh ke luar rumah, termasuk untuk menguburkan jenazah. Dengan berat hati ia pun menunda pemakaman keluarganya. Padahal syariah Islam menganjurkan untuk mempercepat pemakaman.
Bahkan pernah terjadi ketika Nyepi jatuh pada hari Jumat, umat Islam yang hendak melaksanakan ibadah Jumat tak diperkenankan mengumandangkan azan. Untuk mencapai masjid pun mereka harus jalan memutar agar tidak melewati permukiman masyarakat Hindu. Kaum Muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum Hindu bahkan tidak bisa shalat Jumat. (Suara Islam Online, 13/4/2007).
Membandingkan Raperda “Kota Injil” dengan Perda-perda ‘Syariah’
Sangat mungkin, Raperda itu bernuansa politik, yakni sebagai reaksi dari apa yang disebut sebagai ‘Perda-perda Syariah’. Jika itu alasan yang dipakai, jelas ada logika yang keliru. Pertama: Selama ini, yang disebut dengan ‘Perda-perda Syariah’ tidaklah secara tegas menamakan diri sebagai ‘Perda Syariah’. Beberapa Perda tersebut hanya menyebut diri sebagai Perda Anti Maksiat, seperti di Depok, Prop. Sumbar dan Kab. Padang Pariaman; Perda Anti Pelacuran dan Perda Anti Miras, seperti di Tangerang; Raperda Anti Judi, seperti yang sedang dirancang di Bekasi; dll. Karena itu, Wakil Presiden, Jusuf Kalla, pernah meminta agar adanya peraturan daerah (Perda) yang mengatur pemberantasan kemaksiatan tidak dipersoalkan. Perda-perda itu, kata Kalla, tidak melanggar undang-undang maupun hukum di Indonesia. (www.mui-or.id, 17/6/2006).
Lagipula, Perda-perda itu sangat berkaitan dengan kehidupan publik dan kepentingan masyarakat secara umum.
Kedua: Memang, ada Perda tentang kewajiban mengenakan busana Muslimah, Perda tentang baca-tulis al-Quran, Perda tentang penambahan pelajaran agama Islam di sekolah, dll di beberapa daerah seperti Sumatra Barat (Kab. Solok, Padang, Pasaman Barat) dan Sulawesi Selatan (Kab. Enrekang, Gowa, Maros, Sinjai, Bulukumba, dan Takalar). (Republika.co.id, 17/6/2006). Namun, semua Perda itu khusus ditujukan bagi umat Islam, tidak bagi umat non-Muslim. Artinya, Perda-perda itu tidak terkait dengan kehidupan publik secara umum dan tidak mengganggu kehidupan beragama pemeluk agama non-Muslim.
Sebaliknya, Raperda ‘Kota Injil’ yang dirancang Pemda Kab dan DPRD Manokwari maupun pelaksanaan ‘aturan agama Hindu’ di Bali sebagaimana dipaparkan di atas ditujukan bagi seluruh masyarakat, termasuk umat Islam. Akibatnya, umat Islam mengalami diskriminasi serta dilanggar hak dan kebebasannya untuk menjalankan agamanya; seperti dilarang membangun masjid di tengah-tengah komunitas Muslim, Muslimah dilarang berjilbab, dilarang menyuarakan azan atau melaksanakan shalat Jumat, dll.
Demokrasi dan Diskriminasi
Secara teoretis, demokrasi mengajarkan kebebasan, persamaan dan keadilan. Namun, dalam tataran praktiknya demokrasi sering tidak adil, membelenggu dan diskriminatif; khususnya terhadap umat Islam. Saat menjadi mayoritas saja, sebagaimana di negeri ini, umat Islam sering diperlakukan tidak adil. Bukti paling tegas adalah pemberlakuan hukum sekular di negeri ini yang nyata-nyata mengabaikan fakta bahwa negeri ini mayoritas Muslim. Padahal kalau logika demokrasi dipakai, seharusnya di negeri ini diterapkan syariah Islam, karena mayoritas penduduknya Muslim. Apalagi menurut hasil penelitian UIN Syarif Hidayatullah tahun 2003, lebih dari 71% (10% lebih banyak dari tahun sebelumnya) penduduk Indonesia menghendaki syariah Islam. Dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) IV tahun 2005 juga tampak bahwa arus utama dalam kongres tersebut adalah: tuntutan penerapan syariah di Indonesia. Namun, begitulah bobroknya demokrasi. Meski suara mayoritas, jika itu bersumber dari kalangan Muslim, dianggap tidak mencerminkan aspirasi demokrasi.
Lalu ketika umat Islam minoritas, kondisinya lebih menyedihkan lagi. Berbagai diskriminasi sampai intimidasi dipraktikkan dengan sempurna di berbagai daerah minoritas Muslim di Tanah Air. Di Papua, semua Muslim diberi label sebagai pendatang, tak peduli apakah ia suku asli Papua atau bukan. Muslim dianggap bukan orang Papua. Mereka diperlakukan diskriminatif, dalam pelayanan pemerintahan maupun pelayanan sosial. Di tubuh pemerintahan posisi-posisi penting dalam pemerintahan, umat Islam tak dilibatkan. Perlakuan di depan hukum pun sering tidak berimbang. Ketika terjadi pertikaian antara Muslim dan warga asli maka dapat dipastikan yang disalahkan warga Muslim.
Perlakuan diskriminasi juga terjadi di Maluku. Ketika terjadi konflik Ambonbeberapa waktu lalu, warga Muslim terusir, harta bendanya dijarah, kehormatannya dirampas.
Nasib warga Muslim di Kalimantan juga tak jauh berbeda. Ketika terjadi konflik di Kalimantan, terjadi pengusiran besar-besaran warga Muslim dari suku Madura. Harta-benda mereka dijarah; sawah dan kebun mereka tak bisa lagi mereka garap.
Nasib serupa terjadi di Poso. Tragedi pembantaian di Pesantren Walisongo Poso menambah catatan hitam, betapa perlakuan terhadap kaum Muslim sangat diskriminatif. Setelah warga Pesantren dibantai, kini saudara-saudara mereka pun difitnah sebagai teroris dan dijadikan target operasi Densus (Detasemen Khusus 88) Kepolisian.
Di luar negeri, di negara-negara yang notabene menerapkan demokrasi, kondisi kaum Muslim minoritas juga sama: memprihatinkan. Kebebasan, hak asasi manusia, dan sebagainya tak berlaku bagi umat Islam. Di Belanda, masjid dan rumah kaum Muslim dilempari, bahkan ada yang dibakar. Di Prancis, pemerintah melarang wanita Muslim mengenakan jilbab. Di Jerman, Dubes Jerman untuk Sudan dipecat gara-gara masuk Islam. Di Amerika Serikat, masuk Islamnya Walikota Macon, Georgia, Jack Ellis, direaksi secara negatif oleh kalangan media dan kelompok Kristen fundamentalis AS. Di Australia, kaum Muslim dimata-matai dan tak jarang dituding sebagai teroris. Maha benar Allah yang berfirman:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela terhadap kamu (Muhammad) hingga kamu mengikuti agama mereka. (QS al-Baqarah [2]: 120).
Syariah Islam: Rahmat Bagi Semua
Dalam catatan sejarah yang panjang, ketika syariah Islam diberlakukan dan sistem Islam diterapkan di muka bumi, semua umat lain diperlakukan dan dilindungi sama seperti kaum Muslim. Darah dan kehormatan mereka sama dengan darah dan kehormatan kaum Muslim; sama-sama dilindungi dan dijaga oleh pemerintahan Khilafah Islam. Gambaran yang tidak akan pernah hilang dari sejarah umat Islam adalah kasus Andalusia di Spanyol. Ketika umat Islam berkuasa di sana, Khilafah membiarkan agama lain hidup. Di sana hidup damai tiga agama: Islam, Kristen, dan Yahudi.
Kehidupan seperti itu sebetulnya merupakan pemandangan biasa pada masa Nabi saw. Saat di Madinah, Nabi saw. pun biasa bergaul dengan kaum Yahudi, Nasrani dari Najran, serta sebagian kaum musyrik dari suku Aus dan Khajraj. Memang, syariah Islam juga diterapkan atas mereka. Namun, itu hanya terkait dalam kehidupan publik. Adapun dalam kehidupan pribadi dan menyangkut peribadatan mereka, mereka tidak dipaksa. Mereka boleh ke gereja atau tempat-tempat ibadah lainnya. Mereka boleh makan dan minum sesuai dengan ajaran agama mereka. Mereka juga boleh menerapkan tatacara menikah, warisan, cerai, dan masalah pribadi lainnya. Singkatnya, keadilan dirasakan oleh semua pihak. Mahabenar Allah Yang berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِين
Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
Pemerintah Akan Kaji Ulang Penerapan Hukum Cambuk (Eramuslim.com,17/4/07).
Seharusnya Pemerintah mengkaji penerapan hukum-hukum sekular dan mendorong penerapan hukum Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar