Rabu, 23 Maret 2011

Pemerintah Harus Segera Menuntaskan Masalah Ahmadiyah!


[BULETIN AL-ISLAM EDISI 402]
Akhirnya Jemaat Ahmadiyah Indonesia/JAI (Ahmadiyah) resmi dinyatakan sebagai kelompok sesat. Kesimpulan ini disampaikan oleh Bakorpakem 16 April lalu setelah melakukan pemantauan selama tiga bulan. Ahmadiyah dinilai tidak melaksanakan 12 butir penjelasan yang disampaikan oleh PB JAI pada 14 Januari 2008 secara konsisten dan bertanggung jawab. Bakorpakem berpendapat, Ahmadiyah telah melakukan kegiatan dan penafsiran keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam yang dianut Indonesia serta menimbulkan keresahan dan pertentangan di masyarakat sehingga mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum.
Bakorpakem merekomendasikan agar warga Ahmadiyah diperintahkan dan diberi peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan UU No 1/PNPS/1965. Apabila perintah dan peringatan keras sebagaimana tersebut pada butir tiga di atas tidak diindahkan, Bakorpakem merekomendasikan pembubaran organisasi Ahmadiyah dengan segala kegiatan dan ajarannya.
Ketua Bakorpakem, Whisnu Subroto, yang juga Jaksa Agung Muda Intelijen, memastikan rekomendasi Bakorpakem bersifat final. Artinya, Ahmadiyah tidak diberi kesempatan lagi bernegosiasi dan Bakorpakem tidak akan melakukan evaluasi tambahan atas pelaksanaan 12 butir PB JAI.
Menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Depag, Atho Mudzhar, yang juga Ketua Tim Pemantau, selama tiga bulan Bakorpakem memantau 55 komunitas Ahmadiyah di 33 kabupaten. Sebanyak 35 anggota tim pemantau bertemu 277 warga JAI. Ternyata, ajaran Ahmadiyah masih menyimpang. Di seluruh cabang, Mirza Ghulam Ahmad (MGA) diakui sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw. Selain itu, penganut Ahmadiyah meyakini bahwa Tadzkirah adalah penafsiran MGA terhadap al-Quran yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Pokok Masalah
Sejak awal Ahmadiyah memang meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan menerima wahyu dari Allah. Dalam buku Syarif Ahmad Saitama Lubis, Dari Ahmadiyah untuk Bangsa (2007) dijelaskan tentang kepercayaan kaum Ahmadi, yaitu, “Imam Mahdi dan Isa yang dijanjikan adalah seorang nabi, yang merupakan seorang nabi pengikut atau nabi ikutan, dengan ketaatannya kepada YM Rasulullah saw. yang akan datang dan mengubah masa kegelapan ini menjadi masa yang terang benderang. Apabila Imam Mahdi itu sudah datang maka diperintahkanlah umat Islam untuk menjumpainya, walaupun harus merangkak di atas gunung salju.” (hlm. 69).
Ditulis dalam buku tokoh Ahmadiyah tersebut, ”Dalam perkembangan sejarah, pada tahun 1879 Mirza Ghulam Ahmad as. menulis buku Braheen Ahmadiyya. Pada saat itu Mirza Ghulam Ahmad as. belum menyampaikan pendakwaan. Namun, ketika menulis kitab itu, ia sebenarnya sudah menerima wahyu. ‘Kamu itu nabi, kamu itu nabi!’ dan diperintahkan mengambil baiat, tetapi masih belum bersedia.” (hlm. 70).
Ahmadiyah memandang orang yang tidak mengimani kenabian Ghulam Ahmad sebagai orang sesat. Berkata Mirza Ghulam Ahmad, “Barangsiapa yang tidak percaya pada wahyu yang diterima Imam yang Dijanjikan (Ghulam Ahmad), maka sungguh ia telah sesat, sesesat-sesatnya, dan ia akan mati dalam kematian Jahiliah, dan ia mengutamakan keraguan atas keyakinan.” (Mawahib al-Rahman).
Oleh sebab itulah, dalam shalat orang Ahmadiyah tidak boleh bermakmum kepada orang Islam lain, karena mereka dipandang ”belum beriman” kepada Mirza Ghulam Ahmad. Tentang masalah shalat ini dijelaskan dalam buku Syarif Ahmad Saitama Lubis, Dari Ahmadiyah untuk Bangsa tersebut, ”Dasar pemikiran mengapa kalangan mereka harus yang menjadi imam, yaitu bagaimana mungkin bermakmum pada orang yang belum percaya kepada Imam Zaman, utusan Allah.” (hlm. 79-80).
Dengan keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, maka Ahmadiyah kemudian menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah saw. sesuai dengan keyakinan mereka. Bagi umat Islam sudah jelas kedudukan kenabian Muhammad saw. sebagai nabi terakhir. Tidak ada lagi nabi setelah itu. Meskipun banyak sekali yang mengaku sebagai nabi, tetap saja, mereka tidak diakui oleh umat Islam, bahkan mereka jelas-jelas sebagai pendusta. Di Tanah Air, NU, misalnya, sebagaimana dinyatakan KH Makruf Amin, sudah mengeluarkan fatwa sesat untuk Ahmadiyah pada tahun 1995, yang mana ia ikut memutuskan waktu itu. Mantan Rais Aam PBNU (Alm.) KH Ahmad Siddiq juga pernah menulis risalah tentang kesesatan Ahmadiyah (www. nu.or.id, 4/1/2008). Dalam keputusan tahun 1937, Majelis Tarjih Muhammadiyah juga mengutip hadis Rasulullah saw., ‘‘Di antara umatku akan ada pendusta-pendusta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian nabi.” (HR Ibn Mardawaih, dari Tsauban).
Ahmadiyah juga meyakini Tadzkirah sebagai kitab suci. Dalam 12 poin penjelasannya pada rapat Bakorpakem tiga bulan lalu, Amir Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI), Abdul Basit, membantah Tadzkirahsebagai kitab suci, melainkan catatan pengalaman ruhani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi namaTadzkirah.
Nyatanya, dari hasil pemantauan di lapangan selama 3 bulan itu,Tadzkirah tetap diakui sebagai kitab suci. Pada lembar pertama Tadzkirahmemang tertulis, Tadzkirah Wahyun Muqaddas, yakni wahyu yang suci. Dari hasil pantauan didapati juga bahwa mereka mengatakan tidak akan mengubah atau memperbaiki hal-hal mendasar itu.
Dalam Tadzkirah ada ayat berbunyi, ”Katakanlah (wahai Mirza Ghulam Ahmad) jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu. Mudah-mudahan Tuhanmu melimpahkan rahmatnya kepadamu dan sekiranya kamu kembali pada kedurhakaan niscaya Kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan neraka Jahanam bagi orang-orang kafir. Kami tidak mengutusmu (wahai Mirza Ghulam Ahmad) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Katakanlah beramallah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku juga beramal. Kelak kamu akan mengetahui.”
Umat Islam tentu tak asing dengan redaksi ayat di atas. Ayat tersebut memang ada dalam QS Ali Imran ayat 31, QS al-Anbiya ayat 107, dan QS al-An’am ayat 135. Oleh Mirza Ghulam Ahmad (MGA), ketiga ayat tersebut digabungkan, dipotong sedikit, diotak-atik—seperti memasukkan namanya dalam tanda kurung—kemudian diklaim sebagai wahyu. Ayat gabungan itu ditulisnya dalam kitab Haqieqatul Wahyi halaman 82. Banyak ayat-ayat al-Quran yang diperlakukan seperti ini.
“Wahyu-wahyu” palsu itu lalu dikumpulkan dalam TadzkirahTadzkirahyang lebih tebal daripada al-Quran itu dipenuhi ayat-ayat al-Quran yang dijiplak, diklaim, dan diputarbalikkan. Lihat pula klaimnya, “Al-Quran itu kitab Allah dan kalimah-kalimah yang keluar dari mulutku.” (Istisfa, hlm. 81).

Solusi Tepat
Oleh karena itu, tepat sekali keputusan Bakorpakem yang menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Apalagi keputusan itu dibuat dengan dasar yang lebih kokoh. Ahmadiyah sudah diberi waktu 3 bulan untuk memperbaiki diri. Namun nyatanya, itu tidak dilakukan. Kepala Litbang Depag Prof. Atho Mudzar menilai pemantauan itu sendiri cukup serius. Satu pemantau rata-rata melakukan pengamatan tujuh hari di satu titik. Ada yang sampai menginap di komunitas itu. ”Teknisnya silaturahmi, wawancara dan mengamati kegiatan keseharian mereka. Kita ikut shalat dengan mereka, shalat Jumat bersama, mendengar azan mereka, dan sebagainya. Ditambah dengan pengumpulan data-data,” katanya.
Oleh sebab itu, para tokoh umat harus mendukung keputusan Bakorpakem ini. Jika tidak, diduga ada pihak-pihak yang justru mengadu-domba mereka dalam kasus ini; termasuk asing. Ingat, Nasarudin Umar (Dirjen Bimas Islam Depag) mengakui bahwa ada 4 negara—di antaranya AS, Inggris, dan Kanada—yang menghimbau agar Ahmadiyah tidak dibubarkan. Mereka mengirim surat kepada Menteri Agama yang ditembuskan kepadanya (Republika, 26/2/2008).
Keputusan ini selaras dengan Fatwa MUI tentang Ahmadiyah tahun 2005, dan keputusan Majma’ al-Fiqih al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1985. Jadi, jika Ahmadiyah tetap menolak kembali ke jalan yang benar (rujû’ ilâ al-haq) dan meninggalkan semua keyakinan, paham dan ajaran Ahmadiyah, maka keputusan yang tepat untuk Ahmadiyah tidak lain: Harus dilarang dan dibubarkan!
Pelarangan dan pembubaran Ahmadiyah tidak ada hubungannya sama sekali dengan kebebasan beragama dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Islam memberikan kebebasan kepada siapa pun untuk memeluk agama apapun. Kebebasan beragama adalah hak asasi setiap manusia. AllaH SWT berfirman:
لاََ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
Tidak ada paksaan dalam urusan agama.(QS. Al-Baqarah [2]: 256)
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. (QS. Al-kâfirûn [109]: 6)
Semua itu termaktub dengan sangat jelas dalam al-Quran. Inilah makna kebebasan beragama yang benar.
Namun, kebebasan beragama tidak boleh diartikan sebagai kebebasan merusak, menodai dan mengacak-acak agama orang lain. Ahmadiyah telah melakukan itu sehingga harus dihentikan. Jadi, ini bukan masalah kebebasan beragama, tetapi masalah penodaan dan pengacak-acakan agama Islam.

Khatimah
Pemerintah harus cepat mengambil keputusan untuk melarang dan membubarkan Ahmadiyah sesuai dengan rekomendasi Bakorpakem. Jika tidak, masalahnya akan makin panjang, dan dikhawatirkan akan muncul masalah baru, di antaranya munculnya aksi kekerasan yang dipicu oleh emosi umat yang tidak tahan melihat Ahmadiyah bebas bergerak. Kekerasan terhadap Ahmadiyah—yang semestinya tidak perlu terjadi karena akan menyimpangkan pokok permasalahan dan justru akan memicu masalah baru—sesungguhnya dipicu oleh lambatnya Pemerintah dalam mengambil kesimpulan. Pemerintah jangan mengikuti tekanan negara besar yang meminta agar Pemerintah tidak membubarkan Ahmadiyah.
Karena itu, pilihan terbaik buat Ahmadiyah adalah: Pemerintah melarang dan membubarkan organisasi Ahmadiyah, lalu para penganutnya diminta kembali pada Islam (rujû‘ ilâ al-haq). []

KOMENTAR:
Waspadai Labelisasi JI di Indonesia (Republika, 22/4/2008).
Ingat, labelisasi tersebut adalah bagian dari skenario AS dalam isu terorisme di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar