Senin, 21 Maret 2011

Kapitalisme: Biang Krisis Berulang


BULETIN AL-ISLAM EDISI-355
Halaman utama Republika (11/5/2007) memuat judul berita, “Situasi Saat Ini Mirip Krisis”. Judul berita tersebut merupakan kutipan langsung pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah konferensi pers. Sebenarnya pernyataan yang disampaikan hanyalah oleh-oleh Ibu Menteri setelah mengikuti pertemuan internasional dengan para pejabat Bank Pembangunan Asia (ADB) dan konsultan asing di Kyoto-Jepang. Dalam pertemuan tersebut para pejabat ADB menjelaskan hasil analisisnya, bahwa kondisi negara-negara Asia saat ini sudah mirip kondisi tahun 1997.
Hari berikutnya, Menko Perekonomian dan Gubernur Bank Indonesia (BI) membantah pernyataan Menteri Keuangan. Konon bantahan tersebut disampaikan setelah Tim Ekonomi dipanggil Presiden SBY dan Wapres JK yang tidak sepakat dengan pernyataan Menteri Keuangan.
Banyak hal yang penting dicermati dari berita tersebut. Pertama: kabar bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan karena situasinya sudah mendekati krisis jelas membuat rakyat resah. Tahun ini, sepuluh tahun setelah Indonesia dilanda krisis yang amat dalam tahun 1997/1998, masyarakat masih merasakan dampak buruk yang ditimbulkan oleh krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi tersebut. Kesempatan untuk mencari pekerjaan jauh lebih sulit dibandingkan dengan sebelum krisis. Kesejahteraan masyarakat bawah juga lebih buruk daripada sebelum krisis akibat laju kenaikan harga-harga barang yang lebih cepat dibandingkan dengan laju pendapatan masyarakat. Rezim berubah, tetapi kondisi rakyat tidak beranjak.
Kedua: sesungguhnya apa yang disampaikan Menteri Keuangan tentang kondisi ekonomi yang cukup mengkhawatirkan bukanlah isu baru. Para ekonom domestik yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit telah menyampaikan kekhawatiran akan terjadinya kembali krisis ekonomi. Sejak Januari peringatan tersebut telah diberikan. Bahkan Tim Ekonomi sudah diminta untuk segera mengubah haluan kebijakan ekonominya untuk menghindarkan Indonesia dari krisis moneter dan krisis ekonomi. Sayang, peringatan para analis dalam negeri masih tetap dianggap angin lalu oleh Tim Ekonomi SBY-JK. Mereka bahkan dengan segera memberikan sanggahan-sanggahan. Baru setelah hasil analisis yang sama disampaikan oleh para pejabat ADB dan konsultan asing dalam forum yang dihadiri Menteri Keuangan se-Asia, para menteri ekonomi pun bisa menerima.Benar-benar mental inlander (terjajah) masih sangat kental. Sungguh, asing dianggap segala-galanya. Jika untuk menganalisis kondisi ekonomi negara sendiri pun harus menunggu pendapat apa kata pejabat asing, apalagi untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi.
Ketiga: ketidakkonsistenan pernyataan para pejabat tinggi tentang kondisi ekonomi yang sesungguhnya telah menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang lemah. Pernyataan pejabat negara, apalagi setingkat menteri, jelas bukan hal biasa karena akan berdampak besar di masyarakat. Jika menurut para menteri ekonomi kita tidak perlu mengkhawatirkan kondisi ekonomi, mengapa analis dan ekonom dalam dan luar negeri justru menyimpulkan yang sebaliknya? Bukankah ini tidak lebih dari sekadar menutupi kebobrokan yang makin hebat? Rakyat boleh jadi diam, tetapi di akhirat Allah Swt. pasti memintai pertanggungjawaban. Tidakkah para pejabat takut akan hisab Allah, Zat Yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa?
Potensi Krisis
Apa yang sebenarnya terjadi dengan ekonomi Indonesia? Benarkah krisis bisa kembali terjadi? Apa indikator-indikator yang menunjukkan hal bahwa koreksi ekonomi akan terjadi?
Pertama: hampir semua negara yang pernah terkena krisis berpotensi untuk kembali dilanda krisis. Apalagi jika sembuhnya ekonomi dari krisis bersifat semu karena hanya ditopang oleh utang luar negeri, bukan oleh kinerja ekspor atau investasi. Seperti diketahui, ”dokter” krisis moneter dunia adalah adalah Lembaga Moneter Internasional (IMF). Siapapun negara yang menjadi pasiennya, apapun karateristik sosial-ekonominya, resep yang diberikan sama: mengguyur dengan utang dan mendorong perombakan struktur ekonomi di berbagai sektor agar lebih terintegrasi dengan ekonomi global yang sarat dengan kepentingan negara besar.
Fakta membuktikan, bahwa banyak pasien IMF yang hanya sembuh sementara, kemudian kambuh kembali sehingga akhirnya menjadi pasien kambuhan. Banyak contoh kasus di Amerika Latin dan Afrika. Sebagai contoh, Argentina yang telah menjadi pasien kambuhan IMF sejak 1970-an kembali menghadapi krisis yang dahsyat pada tahun 1999. Dampak dari krisis semakin dalam karena kondisi keuangan negara sudah semakin terperangkap utang dan aset-aset negara telah habis akibat diprivatisasi. Hal yang sama terjadi pada Brazil, Paraguay, Turki, Rusia, dan sebagainya.
Bagaimana dengan Indonesia? Sejak pemerintah Orde Baru mengundang IMF, resep beracun mereka kita telan. Berbagai konsep konservatif alaWashington Consensus telah diadopsi seperti: anggaran ketat dengan menambah utang dan memangkas berbagai subsidi; liberalisasi yang luar biasa di sektor keuangan, industri dan perdagangan; serta privatisasi brutal kepada asing yang mengakibatkan kerugian besar baik secara finansial maupun ekonomi.
Sayang, meskipun kerjasama dengan IMF telah berakhir dan utang IMF telah terbayar, tim ekonomi andalan Presiden SBY-JK masih tetap melaksanakan tiga konsep utama IMF, yakni menambah utang luar negeri dari Bank Dunia dan ADB serta utang dalam negeri lewat penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) untuk membiayai anggaran. Privatisasi pun masih terus dilakukan. Bahkan Sofyan Djalil, menteri BUMN yang baru, telah menegaskan untuk memprivatisasi seluruh BUMN dalam waktu cepat. Belum lagi liberalisasi yang semakin gencar dilakukan oleh Menteri Perdagangan baik dalam investasi seperti pengesahan UU Penanaman Modal maupun dengan membuka lebar impor barang-barang strategis seperti beras dan gula, dll. Padahal semua itu terbukti menimbulkan krisis selama ini.
Kedua: krisis mungkin terjadi karena saat ini Indonesia mengalami stabilitas makroekonomi semu, yang bukan didukung oleh meningkatnya daya saing maupun produktifitas di sektor riil. Tingginya cadangan devisa, salah satu indikator makroekonomi yang melonjak tajam, bukanlah prestasi besar karena itu terjadi akibat masuknya hot money. Dana-dana jangka pendek dengan deras masuk ke Indonesia karena adanya kelebihan likuiditas di pasar global. Besarnya hot money yang masuk ke pasar uang Indonesia inilah yang membahayakan ekonomi. Sektor finansial telah mengalami pertumbuhan yang berlebihan. Kue ekonomi membesar tetapi hanya menghasilkan ekonomi gelembung (bubble economy), bukan ekonomi riil, sehingga dapat meledak sewaktu-waktu. Ternyata, kekhawatiran akan kembalinya krisis memang cukup beralasan.
Mengapa Terjadi?
Secara faktual dan syar‘i, kondisi ini terjadi akibat kebijakan-kebijakan Pemerintah yang didasarkan pada ekonomi kapitalis. Dasarnya adalah:Pertama, menjadikan riba sebagai tulang punggung perekonomian. Tidak aneh jika 30% anggaran negara digunakan untuk membayar bunga utang. Jumlah ini jauh di atas anggaran pendidikan. Semakin banyak utang luar negeri, kehidupan kita makin terpuruk dan terjerat rentenir dunia. Ribalah di antara penyebab krisis dan ketidakstabilan. Allah Swt. berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka itu adalah karena mereka berpendapat, sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah [2]: 275).
Kedua, bursa saham. Saat ini di Indonesia, sektor finansial/non-riil yang ribawi lebih dominan dibandingkan dengan sektor riil yang justru semestinya digarap. Di sektor finansial ini hanya ada sekitar 20.000 pemain yang sebagian besarnya adalah asing. Padahal yang dapat menjadikan rakyat sejahtera adalah sektor riil. Modal dari luar negeri yang masuk atas nama investasi pun justru tidak bergerak di sektor riil. Jadi, mudah dipahami mengapa kebijakan ekonomi selama ini tidak memberikan perbaikan kesejahteraan bagi rakyat banyak meskipun Pemerintah mengklaim ekonomi telah membaik. Pada sisi lain, bursa saham tidak lebih dari ”judi besar” yang dilegalkan. Ingatlah firman Allah Swt.:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Karena itu, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan (QS al-Maidah [5]: 90).
Ketiga, mata uang yang tidak berdasarkan pada emas dan perak melainkan pada dolar. Jenis uang seperti ini tidak memiliki nilai intrinsik sehingga akan mudah terguncang karena perubahannya terhadap dolar. Padahal perubahan tersebut tidak semata akibat faktor ekonomi, melainkan politik. Krisis di Indonesia tahun 1997/1998 adalah karena adanya gerakan boyong dolar ke luar negeri.
Islam memerintahkan agar mata uang yang beredar berbasis emas dan perak. Hal ini ditunjukkan dengan adanya larangan menimbun emas dan perak (QS at-Taubah [9]: 34), dikaitkannya berbagai hukum dan sanksi dengan emas dan perak (HR Ashabus sunan), serta fakta bahwa Rasulullah saw. menetapkan hukum transaksi dengan menggunakan emas dan perak (HR al-Bukhari dan Muslim).
Wahai Kaum Muslim:
Jelaslah, krisis dapat terulang. Selama sistem ekonomi Kapitalisme yang diterapkan, selama itu pula krisis tak akan hilang. Karenanya, sudah saatnya kita meninggalkan sistem ekonomi kapitalis seraya menegakkan sistem ekonomi Islam. Sudah waktunya kita melawan Kapitalisme global, lalu mewujudkan sistem Khilafah sebagai alternatif tunggal yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam. []
KOMENTAR AL-ISLAM:
Sejumlah BUMN Siap di-Go Public-Kan (baca: dijual) (Eramuslim.com, 14/5/07).
Ingat! Mayoritas BUMN Plus saat ini—yang sejatinya milik rakyat—sahamnya sudah dikuasai asing (Eramuslim.com, 23/2/06).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar