Rabu, 23 Maret 2011

Islam: “Jalan Baru” Bagi Indonesia yang Lebih Baik


[BULETIN AL-ISLAM EDISI 378]
Rakyat sudah tidak mempercayai pemimpinnya. Mungkin itulah kalimat yang pantas untuk menggambarkan kondisi kepemimpinan di Indonesiasaat ini, baik di tingkat pusat maupun daerah; baik terkait dengan pemimpin di jajaran eksekutif (Pemerintah), legislatif (wakil rakyat/Parlemen) maupun yudikatif (lembaga peradilan).
Terkait dengan kepercayaan terhadap Pemerintah, baru-baru ini Lembaga Survei Indonesia (LSI) melansir hasil penelitiannya yang menyebutkan, bahwa kepuasan publik terhadap Pemerintah dalam 3 tahun terakhir terus-menerus menurun. Pada bulan November 2004, kepuasan publik mencapai 80%, namun pada bulan Oktober 2007 turun tajam hingga 54%. Sentimen elektoral terhadap SBY sebanyak 47% pada bulan Oktober 2004, namun pada bulan Oktober 2007 turun menjadi hanya 33%. (Media Indonesia, 31/10/07).
Lalu terkait dengan kepercayaan terhadap lembaga peradilan, hasil survey Litbang Media Group menyebutkan bahwa kinerja hakim agung di Mahkamah Agung (MA) tidak memuaskan (75%), korupsi makin meningkat (54%) dan peradilan di Indonesia dikuasai mafia peradilan (73%). (MediaIndonesia, 3/10/07).
Adapun terkait dengan kepercayaan terhadap para wakil rakyat, hal ini sudah sering diungkapkan. Itu antara lain karena banyaknya para anggota dewan yang bermental korup, yang sering lebih mementingkan diri sendiri dan kelompok/partainya ketimbang rakyat yang diwakilinya. Ketidakpuasan rakyat terhadap para wakilnya sangat beralasan. Contoh kecil: di tengah himpitan dan beban hidup rakyat yang berkepanjangan, DPR justru berencana merenovasi rumah dinas bagi anggotanya. Dana yang diusulkan pun tidak tanggung-tanggung: 350 miliar rupiah. Padahal pada saat yang sama, berdasarkan catatan Kementerian Perumahan Rakyat, pada awal Oktober 2007 terdapat sekitar 9,5 juta keluarga di Indonesia yang belum mempunyai rumah. (Jawa Pos, 30/10/07).
Para pemimpin negeri ini (baik di pusat maupun di daerah; baik di jajaran pemerintahan maupun wakil rakyat) juga sering ‘menggadaikan’ kepentingan rakyat. Buktinya adalah disahkannya sejumlah UU—seperti UU SDA (Sumber Daya Air), UU Listrik (yang kemudian dibatalkan MK), UU Migas, dan terakhir UU Penanaman Modal—yang dikatakan oleh sejumlah kalangan lebih berpihak kepada para pemilik modal, termasuk asing, ketimbang kepada rakyat. Wajar jika pembangunan ekonomi di Indonesiatelah berhasil menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Inilah buah sistem Kapitalisme. Kesejahteraan akhirnya hanya milik para pemilik modal. Ekonomi saat ini memunculkan jurang pemisah yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui bahwa kesenjangan sosial yang terlalu besar pada bangsa ini bisa memicu siklus kekerasan yang selalu terjadi setiap 5 tahun terakhir. (AntaraNews, 23/10/07).
Begitulah kondisi umum kepemimpinan di negeri ini, khususnya di jajaran eksekutif (pemerintahan) dan legislatif (parlemen), yang dihasilkan dari sebuah proses Pemilu 2004 yang konon paling demokratis dalam sejarah—apalagi Pemilihan Presiden dan Wapresnya pun dilaksanakan secara langsung—dan menelan biaya triliunan rupiah.
Ironisnya, setelah Pemilu yang konon paling demokratis itu terbukti tidak menghasilkan pemimpin dan para wakil rakyat yang baik dan memihak rakyat, sebagaimana dipaparkan di atas, kini KPU yang baru mengajukan anggaran dana untuk Pemilu 2009 sebesar Rp 47,9 trilun; kira-kira 10 kali lipat dari anggaran Pemilu 2004 (Fajar.co.id, 1/11/2007). Andai anggaran sebesar itu digunakan untuk membangun rumah sederhana bagi rakyat dengan biaya Rp 20 juta/rumah, tentu akan dapat dibangun sekitar 2,345,000 buah rumah.
Tentu anggaran sebesar Rp 47,9 triliun itu belum termasuk biaya Pilkada di setiap daerah yang menghabiskan dana miliaran/puluhan miliar (tingkat kota/kabupaten) hingga puluhan/ratusan miliar rupiah (tingkat provinsi). Pemprov Sumsel, misalnya, mengajukan dana sekitar Rp 237 miliar untuk pelaksanaan Pilkada Gubernur Sumsel yang dijadwalkan digelar sekitarNovember 2008. Adapun dalam Pilkada DKI beberapa bulan lalu, total anggaran yang disetujui oleh Departemen Dalam Negeri adalah sebesar Rp 148 miliar. (Kompas, 3/4/2007). Padahal, dengan biaya Pilkada yang mahal itu, pemimpin dan wakil rakyat daerah yang dihasilkan pun sering tidak mencerminkan aspirasi rakyat. Sudah cukup bukti betapa banyak kepala daerah dan para wakil rakyatnya di daerah didemo oleh rakyatnya sendiri di daerah masing-masing.
Barangkali, itulah alasan mengapa sejumlah kalangan muda mengangkat wacana “saatnya kaum muda memimpin” Pasalnya, menurut mereka, para pemimpin dari golongan tua telah gagal membangun negeri ini. Pada bulan Oktober lalu, misalnya, Peringatan Sumpah Pemuda diwarnai dengan desakan agar saat ini pemerintahan dan kekuasaan dipimpin oleh orang-orang muda. (Seputar-indonesia.com, 30/10/01).
Di sisi lain, krisis multidimensi yang sekian lama mendera negeri ini dan sampai hari ini gagal diatasi, telah memunculkan keinginan kuat sejumlah kalangan untuk mengangkat isu tentang perlunya Indonesia mencari “jalan baru”. “Pemimpin baru yang berkarakter dan bervisi kuat jelas sangat dibutuhkan. Namun, jika pemimpin baru itu tetap menempuh jalan lama, yaitu jalan yang telah terbukti gagal membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat selama 40 tahun terakhir ini, rakyat hanya akan kembali dikhianati,” demikian kata ekonom Rizal Ramli saat deklarasi pembentukan Komite Bangkit Indonesia yang dipimpinnya di Jakarta, Rabu (31/10) (Kompas, 1/11/07).
Persoalannya sekarang: Apakah dengan dipimpin oleh kaum muda negeri ini akan menjadi baik? Lalu, jika memang diperlukan adanya “jalan baru”, “jalan baru” macam apa yang sesungguhnya dibutuhkan untuk keluar dari krisis demi krisis yang selama ini mendera negeri ini?

Dua Faktor Penting: Sosok Pemimpin dan Sistem yang Baik
Setidaknya ada dua faktor penting yang bisa menjamin penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik: (1) Sosok pemimpin yang baik, kredibel dan amanah; (2) Sistem pemerintahan/negara yang juga baik dan tidak membawa cacat bawaan.
Pertama: Menyangkut sosok pemimpin yang baik, kredibel dan amanah, jelas hal itu tidak ada kaitannya secara langsung maupun tidak dengan faktor usia; apakah muda atau tua. Namun, ketiganya lebih terkait dengan ketakwaan dan profesionalitas (skill/kemampuan). Karena itulah, dalam Islam, seorang pemimpin, misalnya, antara lain harus: Muslim (QS an-Nisa’ [4]: 59 dan 141) dan adil (QS ath-Thalaq [62]: 2), yaitu istiqamah dalam menjalankan ketaatan, yang merupakan salah satu ciri ketakwaan; di samping harus berakal sehat (HR Abu Dawud dari penuturan Ali bin Abi Thalib ra.), memiliki qudrah (kapabel) dan merdeka, yaitu tidak berada dalam kekuasan/tekanan pihak lain (Lihat: Kitab Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah, hlm. 40. Dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir).
Kedua: Menyangkut sistem yang baik. Nabi Muhammad saw. jauh sebelum diangkat sebagai nabi sudah dikenal sebagai orang yang mulia, jujur, dan amanah. Semua karakter baik manusia ada pada diri Beliau. Beliau bahkan digelari al-Amin oleh masyarakatnya. Namun, untuk membangun masyarakat, Allah SWT ternyata tidak mencukupkan pada karakter pemimpinnya semata. Allah SWT menurunkan wahyu kepada Muhammad saw. berupa al-Quran dan as-Sunnah sebagai aturan hidup manusia. Dengan aturan dari Allah itulah Nabi Muhammad saw. mengatur, mengurusi dan memimpin masyarakat. Realitas ini saja memberikan ketegasan, bahwa negeri yang baik tidak akan mewujud hanya dengan pemimpin yang baik. Lebih dari itu, diperlukan sistem dan aturan yang baik. Apakah sistem dan aturan yang baik itu? Tentu, sistem dan aturan yang lahir dari Zat yang Mahabaik. Itulah syariah Islam yang dijalankan dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah), dan bukan sistem hukum korup yang diterapkan dalam sistem pemerintahan sekular yang notabene juga korup. Mahabenar Allah SWT yang berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

Islam: “Jalan Baru” untuk Indonesia
Walhasil, jika untuk keluar dari krisis multidimensi ada wacana bahwa negeri ini membutuhkan “jalan baru”, maka sejatinya “jalan baru” itu adalah Islam. Islam bisa dipandang sebagai “jalan baru” bagi Indonesiakarena memang negeri ini belum pernah menempuh “jalan Islam”. Pasalnya, sistem pemerintahan/negara yang digunakan di negeri ini selama lebih dari setengah abad—jika dihitung sejak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945—adalah jalan selain Islam, yakni sekularisme yang menggandeng Sosialisme (masa Orde Lama), Kapitalisme (masa Orde Baru) dan Liberalisme (masa Orde Reformasi). Adapun “jalan Islam”, yakni sistem pemerintahan/negara yang menerapkan syariah, bukan saja belum pernah diterapkan, tetapi bahkan selalu berusaha dijauhkan dari sistem kehidupan. Alasannya mengada-ada: syariah memecah-belah, mengancam pluralitas (keragaman) dan keutuhan NKRI, dll. Na‘ûdzu billâh. Padahal bukankah carut-marutnya negeri ini adalah akibat langsung dari diterapkannya sekularisme di negeri ini selama puluhan tahun sekaligus dicampakkannya hukum-hukum Allah? Mahabenar Allah SWT yang berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta. (QS Thaha [20]: 124).
Semoga Allah SWT menyelamatkan umat Islam dan negeri Islam terbesar ini dari kehancuran. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
KOMENTAR AL-ISLAM:
Din: Konsep Indonesia Harus Jelas Sebagai Negara Agama atau Sekuler (Republika.co.id, 6/11/07).
TentuIndonesia harus menjadi negara yang menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar