Jumat, 08 April 2011

Demokrasi Bukan Jalan Perubahan Hakiki


[Al-Islam 447] 
Kondisi negeri ini meski sudah merdeka dari penjajahan fisik selama lebih dari 63 tahun hingga kini belum juga sampai pada kemakmuran dan kesejahteraan untuk rakyat seutuhnya. Sekalipun reformasi sudah berjalan sepuluh tahun kondisi kehidupan rakyat belum juga membaik. Angka kemiskinan masih juga tinggi. Menurut data BPS, angka kemiskinan pada Maret 2008 sebesar 34,97 juta jiwa. Menurut Menkoinfo, jumlah penduduk miskin pada Maret 2009 sebesar 33,714 juta jiwa, dengan tingkat inflasi 9% (Beritaglobal.com).
Reformasi yang digadang-gadang bisa membawa perubahan mendasar dan luas pada kehidupan negeri ini ternyata juga tidak bisa membuahkan hasil yang diharapkan. Hal itu karena reformasi tidak dimaksudkan bagi terjadinya perubahan fundamental, maka keadaan pasca reformasi juga tidak banyak mengalami perubahan. Bila sebelum reformasi tatanan negeri ini bersifat sekularistik, setelah reformasi juga masih tetap sekular. Bahkan keadaan sekarang lebih buruk daripada sebelumnya. Korupsi meningkat tajam, kerusakan lingkungan makin menjadi-jadi, pornografi makin tak terkendali, dan jumlah orang miskin masih tetap tinggi dan sebagainya. Lebih menyedihkan lagi, sumber-sumber kekayaan negeri ini yang semestinya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat justru berpindah ke dalam cengkeraman asing. Aroma pengaruh kekuatan asing pun masih terasa sangat kental di negeri ini. Alhasil, upaya memerdekakan negeri ini secara hakiki belum juga berhasil meski sudah lepas dari penjajahan fisik lebih dari 63 tahun.
Reformasi yang sudah berjalan sepuluh tahun telah berhasil menjadikan negeri ini makin demokratis. Bahkan sekarang negeri ini dianggap sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia –setelah AS dan India-. Meski demikian, nyatanya proses demokrasi yang makin demokratis itu tidak korelatif dengan peningkatan kesejahteraan dan kehidupan rakyat yang baik. Padahal demokrasi dan proses demokratisasi dianggap menawarkan perubahan kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Fakta menunjukkan tawaran itu seperti pepesan kosong alias bohong.
Sekarang di tengah euforia proses demokrasi (Pemilu ), perubahan kembali digantungkan pada proses demokrasi. Hampir semua partai politik peserta Pemilu 2009 menjanjikan perubahan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Janji itu tergambar saat deklarasi kampanye damai yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di arena Pekan Raya Jakarta (PRJ), Senin (16/3), yang dihadiri para pemimpin partai dan pendukungnya. Sejak tanggal tersebut hingga jelang masa tenang sebelum Pemilu (9 April 2009), rakyat akan disuguhi berbagai celotehan janji dan mimpi tentang perubahan dengan berbagai macam redaksi dan visualisasi. Apakah benar Pemilu yang kesepuluh kalinya ini akan benar-benar bisa mewujudkan perubahan? Benarkah demokrasi (dengan Pemilunya) bisa menjadi jalan perubahan?
Jika yang dimaksudkan adalah perubahan sekadar perubahan, jelas demokrasi menjanjikan itu. Bahkan dalam demokrasi bisa dikatakan tidak ada sesuatu yang tetap. Hal itu karena sistem dan aturan penentuannya diserahkan pada selera akal manusia, sementara selera akal selalu berubah dari waktu ke waktu. Sesuatu yang dianggap baik hari ini bisa saja besok berubah menjadi sesuatu yang dinilai buruk. Sesuatu yang dinilai manfaat hari ini ke depan bisa dinilai sebagai madarat (bahaya). Hal itu karena akal senantiasa dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kepentingan (ego). Artinya, perubahan yang ditawarkan oleh demokrasi itu akan dipengaruhi bahkan ditentukan oleh kepentingan. Dalam konteks ini kepentingan pihak-pihak yang mendominasi proses demokrasilah yang akan menentukan perubahan yang terjadi. Di sinilah masalahnya. Melalui demokrasi perwakilan, suara ratusan ribu rakyat diasumsikan terwakili oleh satu orang wakil. Tentu saja ini adalah satu hal yang sangat sulit kalau tidak bisa dikatakan mustahil. Pada faktanya suara wakil itu lebih mencerminkan suara dan kepentingannya sendiri. Bahkan fakta menunjukkan lebih sering justru kepentingan pihak lainlah yang lebih menonjol, selain suara dan kepentingan wakil rakyat itu sendiri dan kelompoknya. Hal itu karena demokrasi itu dalam prosesnya membutuhkan biaya mahal. Di sinilah peran para pemodal yang berinvestasi melalui proses demokrasi menjadi sangat menonjol dan menentukan. Ironisnya semua itu selalu diatasnamakan suara dan kepentingan rakyat karena rakyatlah yang memilih orang-orang yang mewakili mereka. Dengan demikian kepentingan para pemodal demokrasi itulah yang menjadi penentu arah perubahan yang terjadi. Jadi demokrasi memang menjadikan perubahan tetapi bukan perubahan yang memihak kepentingan rakyat, tetapi memihak kepentingan aktor-aktor demokrasi dan para pemodal mereka.
Lebih dari itu, seandainya dengan demokrasi itu tercipta kondisi yang baik yang sepenuhnya memihak kepentingan rakyat –meski ini selalu saja masih menggantung jadi mimpi- demokrasi tidak bisa menjamin kondisi baik itu bisa terus berlangsung. Justru demokrasi menjamin kondisi yang baik itu pasti berubah yang belum tentu menjadi lebih baik. Hal itu karena wakil rakyat dan pemimpin yang baik yang terpilih melalui proses demokrasi itu harus dipilih ulang. Pemimpin yang baik itu dibatasi jangka waktunya dan harus diganti ketika sudah habis. Bahkan setelah jangka waktu tertentu ia tidak boleh dipilih kembali. Tidak ada jaminan tabiat pilihan masyarakat dalam tatanan sekularistik-Kapitalis akan bisa menjadi pemimpin yang penuhi hak-hak asasi rakyatnya. Karakter sistemnya eksploitatif dan hanya memihak kelompok korporasi pemegang modal besar yang selalu menjadi pilar tegaknya sistem ini. Hal itu menunjukkan bahwa demokrasi hakikatnya memang bukan sistem yang baik, dan bukan sistem yang menawarkan perubahan lebih baik secara hakiki.
Hal itu wajar karena demokrasi adalah sistem buatan manusia yang tentu saja sarat dengan kelemahan dan kekurangan serta tidak bisa melepaskan diri dari kepentingan. Lebih dari itu, demokrasi sebagai sebuah sistem bertentangan dengan Islam, karena inti dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Makna praktis dari kedaulatan ada hak membuat hukum. Itu artinya demokrasi menjadikan rakyat –riilnya adalah wakil-wakil rakyat- sebagai pembuat hukum. Sebaliknya, dalam Islam membuat dan menentukan hukum itu adalah hak Allah SWT. Artinya dalam Islam hanya syara’ yang berhak membuat hukum.
Allah telah menjelaskan bahwa hanya Islamlah sistem yang bisa menawarkan kehidupan kepada umat manusia. Hanya Islamlah yang bisa membawa manusia menuju cahaya, sementara sistem selain Islam justru mengeluarkan manusia dari cahaya menuju kegelapan. Allah SWT menegaskan hal itu di dalam firman-Nya:
اللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) menuju cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan (kekafiran). (QS. al-Baqarah [2]: 257)
Itu artinya hanya sistem Islamlah yang bisa menjamin terwujudnya perubahan dan kehidupan yang baik yang diridhai oleh Alllah SWT. Sistem Islam datang dari Pencipta manusia yang paling mengetahui hakikat manusia, apa yang baik dan yang tidak, yang bermanfaat dan yang madarat bagi manusia.
Dengan demikian, jalan perubahan itu adalah dengan menerapkan Islam sebagai sebuah sistem secara menyeluruh. Perjuangan mewujudkan perubahan hakiki itu tentu saja adalah perjuangan mewujudkan penerapan Islam secara menyeluruh. Dalam konteks ini, sebagian pihak meyakini hal itu bisa dilakukan melalui demokrasi. Jika yang dituju adalah penerapan Islam secara parsial, maka hal itu bisa diwujudkan melalui demokrasi, seperti penerapan hukum waris Islam, pernikahan Islam, ibadah dan hukum-hukum yang bersifat personal lainnya. Hanya saja jika yang dituju adalah perubahan secara menyeluruh dan penerapan Islam secara menyeluruh rasanya mustahil bisa diwujudkan melalui demokrasi. Hal itu karena sebagai sebuah sistem, demokrasi yang dibangun di atas akidah sekularisme tentu tidak akan mentoleransi masuknya agama (Islam) dalam pengaturan hidup bermasyarakat. Secara faktual, kasus FIS yang memenangi Pemilu demokratis di Aljazair dan meraih suara mayoritas toh dianulir oleh militer yang sekular atas dukungan Perancis dan didiamkan (diamini) oleh semua negara dan para pejuang demokrasi. Begitu juga kasus partai Refah di Turki dan Hamas di Palestina mempertegas bahwa perjuangan penerapan Islam tidak mungkin dilakukan melalui demokrasi. Perubahan hakiki itu hanya bisa diwujudkan dengan penerapan Islam secara menyeluruh.

Wahai Kaum Muslim

Sekali lagi demokrasi bukan jalan mewujudkan perubahan yang hakiki. Menggantungkan harapan terjadinya perubahan hakiki kepada demokrasi hanya akan mendatangkan kekecewaan. Fakta yang terjadi di negeri-negeri Islam selama ini sudah menegaskan hal itu. Karena itu, tidak sepantasnya kita masih menaruh harapan pada demokrasi.
Jalan untuk mewujudkan perubahan hakiki, yaitu untuk mewujudkan penerapan Islam secara menyeluruh, hanya bisa dilakukan melalui thariqah (metode) dakwah Rasulullah saw. Keberhasilan Rasul bersama para sahabat mewujudkan perubahan hakiki dengan menerapkan Islam secara menyeluruh yang berawal dari Madinah lalu menyebarkan perubahan ke negeri-negeri lainnya cukuplah menjadi bukti. Allah SWT menegaskan hal itu dalam firman-Nya:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Sesungguhnya (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa. (QS. al-An’âm [6]: 153)
Dengan demikian, jalan perubahan hakiki itu tidak lain adalah dengan dakwah sesuai thariqah Rasul saw untuk menerapkan sistem Islam secara menyeluruh dalam bingkai Khilafah Rasyidah. Wallah a’lam bi ash-shawab.[]
KOMENTAR:
PHK Marak, Buruh Gelar Aksi Solidaritas (Kompas, 16/03/2009)
Ironisnya, para pejabat dan elit politik sibuk berkampanye.

Meneladani Kepemimpinan Nabi SAW


[Al-Islam 446] 
Kembali umat Islam berada dalam bulan Rabiul Awwal. Bagi sebagian Muslim, bulan Rabiul Awwal adalah bulan istimewa. Alasannya, karena pada bulan inilah Baginda Rasulullah Muhammad saw. lahir, tepatnya tanggal 12 Rabiul Awwal, lebih dari empat belas abad yang lalu. Karena itulah, sebagian Muslim memandang penting untuk memperingati hari kelahiran (maulid) beliau, tentu bukan semata-mata karena kelahiran beliau sebagai seorang manusia. Sebab, meski Muhammad saw. memiliki keistimewaan nasab dan akhlak terpuji, dari sisi kemanusiaan, beliau sama dengan manusia lainnya. Allah SWT sendiri menyatakan demikian:
]قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ[
Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian...” (QS Fushshilat [41]: 6).
Dalam posisinya sebagai manusia, kelahiran Muhammad saw. pun sama dengan lahirnya kebanyakan manusia lainnya saat itu. Jadi, kalaupun hingga hari ini umat Islam memperingati hari kelahiran beliau setiap tahun, tentu karena posisinya yang sangat istimewa sebagai rasul (pembawa risalah/syariah) Allah SWT. Itulah yang ditegaskan oleh Allah SWT:
]قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ[
Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya saja) aku telah diberi wahyu…” (QS Fushshilat [41]: 6).
Itulah alasan utama sebagian kaum Muslim memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. Sikap ini muncul dari rasa cinta (mahabbah) yang mendalam terhadap beliau dalam posisinya sebagai pengemban wahyu/risalah, yang tidak lain merupakan syariah-Nya untuk diberlakuan atas umat beliau.

Mengagungkan atau Mengerdilkan?

Allah SWT berfirman:
]وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ[
Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berada di atas khuluq yang agung (QS al-Qalam [68]: 4).
Imam Jalalain dalam kitab tafsirnya menafsirkan kata khuluq dalam ayat di atas dengan dîn (agama). Imam Ibn Katsir—seraya mengutip Ibn Abbas, Mujahid, Abu Malik, As-Sadi dan Rabi bin Anas, Adh-Dhahak dan Ibn Zaid—juga menyatakan bahwa ayat di atas bermakna, “Wa innaka la’alâ dîn[in] ‘azhîm (Sesungguhnya engkau [Muhammad] benar-benar berada di atas agama yang agung),” yakni Islam (Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, IV/403).
Terkait ayat ini, Ibn Kasir juga menukil sebuah hadis yang dituturkan oleh Muammar dari Qatadah, bahwa Aisyah Ummul Mukminin ra. pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw. Beliau menjawab, “
Kâna khuluquhû al-Qur’ân (Akhlaknya adalah al-Quran).” (HR Muslim).
Dari penjelasan Ibn Katsir di atas bisa disimpulkan, bahwa keagungan Baginda Nabi Muhammad saw. terletak pada ‘akhlak’-nya, sementara ‘akhlak’ beliau adalah al-Quran itu sendiri. Dengan kata lain, keagungan akhlak Baginda Nabi saw. adalah cerminan dari keagungan al-Quran, karena memang seluruh budi-pekerti/perilaku Rasulullah saw. mencerminkan seluruh isi al-Quran. Dengan demikian, maksud dari takrîm[an] wa ta’zhîm[an] (memuliakan dan mengagungkan) Rasulullah saw. sebagai motif sebagian kaum Muslim dalam memperingati Maulid Nabi saw. sejatinya tidak lain adalah memuliakan dan mengagungkan al-Quran.
Baginda Nabi saw. memiliki akhlak al-Quran karena beliau mengamalkan seluruh isi al-Quran dan menerapkan hukum-hukumnya, baik terkait dengan perkara akidah (keimanan), ibadah (shalat, shaum, zakat, haji, dll), muamalah (sosial, pendidikan, politik, pemerintahan, keamanan, dll) maupun ‘uqûbât (hukum dan peradilan).
Hanya menjadikan al-Quran sekadar sebagai kitab bacaan bukanlah sikap mengagungkan al-Quran. Hanya mengamalkan sebagian kecil isi al-Quran (misalnya hanya dalam perkara akidah, ibadah dan akhlak saja), bukan pula sikap mengagungkan al-Quran. Sikap demikian justru mengkerdilkan keagungan al-Quran, yang berarti mengkerdilan keagungan Nabi Muhammad saw. sebagai representasi al-Quran.
Anehnya, disadari atau tidak, sikap itulah yang selama ini ditunjukkan oleh sebagian besar umat Islam saat ini. Hal itu terjadi seiring dengan Peringatan Maulid Nabi saw. yang setiap tahun dilaksanakan oleh sebagian kaum Muslim. Berbagai ceramah dan tablig yang disampaikan dalam Peringatan Maulid Nabi saw. dari mulai di mushala-mushala kecil di pinggir kampung hingga di istana negara di ibukota hanya berisi pesan-pesan yang justru mengkerdilkan keagungan Baginda Nabi Muhammad saw. dan kebesaran al-Quran yang dibawanya, bukan mengagungkan keduanya. Bagaimana tidak! Yang sering diserukan oleh mereka hanyalah seruan untuk meneladani akhlak Rasulullah saw. secara pribadi, atau paling banter dalam kapasitasnya sebagai pemimpin rumah tangga. Di luar itu—misalnya dalam posisi Baginda Rasulullah saw. sebagai pemimpin negara/kepala pemerintahan yang menerapkan syariah Islam secara total dalam kehidupan masyarakat—jarang sekali diungkap; seolah-olah hal demikian tidak layak untuk diteladani oleh umat Islam.
Dalam setiap Peringatan Maulid Nabi saw. para penguasa Muslim pun hampir pasti selalu menyerukan tentang pentingnya meneladani akhlak Baginda Nabi Muhammad saw. sebagai pribadi. Namun, tak sekalipun mereka menyerukan pentingnya umat Islam, termasuk penguasanya, untuk menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan masyarakat (di bidang pendidikan, ekonomi, politik, pemerintahan, peradilan, keamanan dll). Padahal semua itu telah dipraktikkan dan dicontohkan secara jelas oleh Baginda Rasulullah saw. dalam hampir separuh episode kerasulannya di Madinah al-Munawwarah pasca hijrah. Yang terjadi, para penguasa tetap menjalankan hukum-hukum kufur yang bersumber dari ideologi Kapitalisme, dan sebaliknya tetap enggan menerapkan hukum-hukum Islam. Di sejumlah negeri Islam, para penguasanya bahkan berusaha keras memerangi siapa saja yang berjuang untuk menerapkan syariah Islam secara total dalam negara.
Sikap mereka ini persis seperti sikap Abu Lahab. Dalam riwayat penuturan Urwah bin az-Zubair dari Tsuwaibah, mantan budak Abu Lahab yang kemudian pernah menyusui Muhammad saw. saat bayi, disebutkan bahwa Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah karena gembira atas kelahiran Muhammad saw. (karena Muhammad saw. memang keponakannya, peny.) (Lihat: HR al-Bukhari dan Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bâri). Namun pada akhirnya, dia menjadi orang yang paling membenci, memusuhi dan selalu menghalang-halangi dakwah Nabi saw. yang berupaya menyebarluaskan risalah Allah sekaligus menegakkan syariah-Nya.
Jika demikian, dimana letak sikap mengagungkan Baginda Nabi saw., sementara yang terjadi adalah pengkerdilan atas keagungan beliau? Dimana pula letak upaya mengagungkan al-Quran, sementara yang sedang dipraktikkan pada dasarnya adalah pengkerdilan atas keagungan al-Quran?

Meneladani Kepemimpinan Nabi saw.

Sebentar lagi, bangsa Indonesia bakal mengikuti Pemilu 2009, yang tidak lain ditujukan untuk memilih para calon pemimpin yang baru, baik yang duduk di pemerintahan (eksekutif) maupun di DPR (legislatif).
Dalam pandangan syariah, memilih pemimpin bagi kaum Muslim termasuk ke dalam kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Dalilnya antara lain adalah firman Allah SWT:
]أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ[
Taatilah oleh kalian Allah dan Rasul-Nya serta pemimpin di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 59).
Ayat ini secara tegas memerintahkan kaum Muslim untuk menaati Allah SWT, Rasul-Nya dan pemimpin mereka. Perintah ini sekaligus berarti perintah untuk ‘mengadakan’ sosok orangnya.
Sejumlah hadis juga mengisyarakatkan bahwa kaum Muslim wajib membaiat (memilih dan mengangkat) seorang khalifah, yakni pemimpin bagi kaum Muslim secara umum. Rasul saw., misalnya bersabda:
«وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
Siapa saja yang mati, sementara di pundaknya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka dia mati dalam keadaan Jahiliah (HR Muslim).
Hadis ini pun meniscayakan keharusan adanya sosok orang yang harus dibaiat sebagai pemimpin/khalifah.
Ijmak Sahabat semakin menegaskan kewajiban memilih dan mengangkat pemimpin ini. Hal ini dibuktikan oleh sikap para Sahabat yang menunda penguburan jenazah Rasulullah saw. saat wafatnya selama dua malam tiga hari, kemudian mereka lebih mendahulukan upaya memilih dan membaiat khalifah (pengganti) beliau dalam urusan pemerintahan, bukan dalam urusan kerasulan.
Namun demikian, berbicara tentang kepemimpinan seharusnya tidak hanya terbatas pada sosok orangnya, tetapi juga sistem pemerintahan. Semua nash al-Quran dan al-Hadis yang berbicara tentang kepemimpinan senantiasa menyinggung kedua aspek ini, baik secara tersurat maupun tersirat. Baginda Rasulullah saw., misalnya, selain sebagai pengemban risalah, adalah juga seorang kepala Negara Islam (Daulah Islamiyah). Sistem pemerintahan yang beliau jalankan tidak lain adalah sistem pemerintahan Islam yang berdasarkan syariah Islam.
Ijmak Sahabat tentang wajibnya mengangkat sekaligus membaiat khalifah pun tidak terlepas dari kedua aspek ini: sosok pemimpin dan sistem pemerintahan yang dijalankannya. Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelah mereka adalah sosok para pemimpin Kekhilafahan Islam. Khilafah Islam tidak lain adalah sistem pemerintahan yang didasarkan pada syariah Islam, yang dicirikan dengan penerapan syariah Islam itu secara total dalam segala aspek kehidupan masyarakat dan bernegara.
Jika memang demikian model kepemimpinan Baginda Nabi Muhammad saw., maka sudah seharusnya umat Islam saat ini pun mencontohnya, sebagai upaya untuk ‘menyempurnakan’ upaya takrim[an] wa ta’zhim[an] terhadap beliau. Upaya ini sekaligus akan menjadi bukti cinta kita yang sebenar-benarnya kepada Allah SWT, sekaligus bukti bahwa kita benar-benar meneladani Baginda Nabi Muhammad saw.:
]قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ[
Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku.” (QS Ali Imran [3]: 31).
Lalu mengapa saat ini para penguasa Muslim enggan menerapkan syariah Islam dalam negara sebagai bukti bahwa mereka benar-benar meneladani Rasulullah saw.? Mengapa mereka tidak mau mengatur urusan ekonomi, politik, pemerintahan, sosial, budaya, pendidikan, peradilan dll dengan hukum-hukum Islam? Bukankah semua itu justru pernah dipraktikan oleh Rasulullah saw. selama bertahun-tahun di Madinah dalam kedudukannya sebagai kepala Negara Islam? Mengapa mereka malah tetap menerapkan hukum-hukum kufur produk dari ideologi Kapitalisme dan menentang syariah Islam? Ataukah mereka hendak ‘meneladani’ sikap Abu Lahab yang bergembira menyambut kelahiran Muhammad saw., tetapi pada akhirnya menjadi musuh yang paling sengit terhadap beliau saat beliau menjadi rasul yang berjuang mendakwahkan risalah Allah dan menegakkan syariah-Nya?! Wal ‘Iyâdzu billâh! []
KOMENTAR AL-ISLAM:
Demokrasi Tumbuh Tidak Ideal (Kompas, 10/3/2009)
Tentu, karena demokrasi cacat sejak lahir.

Demokrasi Tinggalkan, Khilafah Tegakkan!


[Al-Islam 445] 
Pemilu 2009 tinggal sebulan lagi. Masyarakat cukup dikagetkan dengan berjibunnya orang yang berminat untuk menjadi “caleg” (calon legislator) dari sebanyak 44 partai, ditambah 6 partai lokal. Semua orang bisa melihat gambar, iklan di media cetak/elektronik serta foto-foto pada selebaran, spanduk dan baliho yang bertebaran dengan berbagai pose dan gaya bak foto model. Semua itu lalu dibumbui dengan pujian terhadap diri sendiri/partainya. Tidak ketinggalan, janji-janji manis menjadi bumbu penyedap untuk memikat rakyat.
Semua ini tentu ganjil sekaligus memprihatinkan. Pasalnya, “Sistem rekrutmen partai itu sama seperti rekrutmen Depnaker. Sepertinya begitu mudah jadi caleg. Ada partai yang malah bikin iklan, rekrutmen terbuka, siapa yang mau jadi caleg boleh mendaftar. Ini kan sama saja kayak rekrutmen TKW yang mau dikirim ke Timur Tengah,” demikian komentar Budayawan Betawi, Ridwan Saidi, dalam diskusi bertema, “Kualitas Caleg”, di Jakarta, Sabtu (28/2).

Layakkah Mereka?

Sulit menjawabnya. Pasalnya, banyak partai saat ini lebih condong menjadi “broker politik”, terutama bagi para caleg. Apalagi sistem demokrasi memberikan lahan luas bagi berdirinya partai politik apapun warnanya selama prinsip dasarnya adalah menyokong tegaknya sistem tersebut. Kenyataannya, kebanyakan partai berdiri di atas ideologi yang kabur; tujuannya tidak jelas, ide-ide dan konsep-konsepnya samar; metode perjuangannya pun sering pragmatis.
Dari sisi ideologi, kebanyakan partai saat ini berideologi sekular. Artinya, sejak awal partai-partai ini telah membuang agama (baca: Islam) yang seharusnya dijadikan dasar perjuangannya. Partai-partai ini, berikut para calegnya, jika meraih kemenangan dalam Pemilu dan berhasil menduduki kekuasaan, tentu tidak akan pernah menerapkan syariah Islam/hukum-hukum Allah. Mereka hanya akan menerapkan dan memperkokoh berlakunya hukum-hukum sekular yang jauh dari nilai-nilai islami. Padahal harus diakui, justru sekularisme inilah yang selama puluhan tahun menjadi sumber masalah/krisis yang melanda bangsa dan negeri ini, hingga hari ini.
Di sisi lain, memang ada sejumlah partai Islam. Namun, akhir-akhir ini, terutama setelah bergulirnya reformasi yang ditandai dengan semakin liberal (bebas)-nya kehidupan berbangsa dan bernegara, kebanyakan partai Islam mulai luntur basis ideologinya. Partai-partai Islam semakin pragmatis dan tidak setia lagi pada ideologi yang sejak semula menjadi dasar perjuangannya. Singkatnya, kebanyakan partai Islam saat ini sudah terperangkap dalam pusaran arus liberalisasi, terutama liberalisasi ideologi dan politik. Akibatnya, kebanyakan partai Islam pun sudah tidak memandang penting lagi menyuarakan perlunya penerapan syariah Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang ada dalam benak mereka hanyalah bagaimana meraih suara sebanyak-banyaknya dalam Pemilu, tidak peduli meski harus dengan mengorbankan prinsip-prinsip perjuangan Islam. Bahkan bagi sebagian mereka, berkoalisi dengan partai sekular atau partai Kristen sekalipun tidak masalah selama hal itu bisa mengantarkan mereka menduduki kursi kekuasaan.
Di sisi lain, selama ini baik partai-partai sekular maupun partai-partai Islam tidak memiliki ide-ide dan konsep-konsep yang jelas untuk menyelesaikan seluruh persoalan yang sedang dialami bangsa ini, misalnya dalam mengatasi krisis ekonomi. Sampai hari ini, tidak ada satu partai pun yang secara rinci dan jelas memiliki konsep untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran, pendidikan yang semakin mahal, perampokan kekayaan alam oleh pihak asing dll. Yang ada baru sebatas slogan, sementara konsep dan langkah nyatanya seperti apa tidak jelas.
Lebih dari itu, kebanyakan partai, termasuk partai Islam, hanya bertumpu pada figur/ketokohan bahkan pada individu-individu yang hanya bermodalkan semangat akan perubahan, bahkan mungkin cuma bermodalkan uang dan popularitas.
Dengan kondisi seperti itu, haruskah rakyat berharap banyak kepada partai-partai yang ada dan para calegnya, sementara mereka pasti tidak akan mampu menyelesaikan persoalan besar yang melilit bangsa ini? Faktanya, sudah 9 kali Pemilu digelar, persoalan bangsa semakin rumit, dan rakyat hanya dijadikan obyek eksploitasi elit-elit politik.

Kedaulatan Rakyat?

Dalam demokrasi dikenal slogan, “Vox populi vox dei (Suara rakyat adalah suara tuhan).” Karena itulah, inti demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Artinya, dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan. Dalam bahasa Abraham Lincoln, demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Namun demikian, semua klaim di atas hanyalah omong-kosong. Faktanya, di Indonesia sendiri, yang selama ini berdaulat (berkuasa penuh) bukanlah rakyat, tetapi para elit (sekelompok kecil) wakil rakyat, termasuk elit (sekelompok kecil) penguasa dan pengusaha. Mengapa bisa begitu?
Pasalnya, Pemilu dalam demokrasi menjadikan suara terbanyak sebagai ukuran, sementara banyaknya perolehan suara bergantung pada tingkat popularitas partai dan para calegnya. Dalam sistem semacam ini, tentu ketergantungan partai maupun para caleg terhadap kebutuhan modal (uang) sangatlah besar, yaitu untuk mendongkrak popularitas partai maupun para calegnya. Karena itu, tidak aneh jika partai dan para calegnya membutuhkan dana ratusan juta hingga ratusan miliar rupiah hanya untuk menjaring suara sebanyak-banyaknya dalam Pemilu. Dari mana dananya, sementara kebanyakan partai dan para caleg tidak memiliki dana dalam jumlah besar. Dari sinilah keberadaan pengusaha/para pemilik modal menjadi sangat penting bagi partai/para caleg.
Di sisi lain, para pengusaha/pemilik modal pun memiliki kepentingan untuk mengamankan bisnisnya. Dalam kondisi demikian, gayung bersambut. Partai dan para caleg akhirnya bekerjasama sekaligus membuat semacam ‘kontrak politik’ yang saling menguntungkan dengan para pengusaha/pemilik modal. Celakanya, sering terjadi, dana dalam jumlah besar itu justru hanya dimiliki oleh pihak asing. Lalu mengucurlah dana dari mereka kepada partai-partai/para caleg yang diperkirakan bakal meraih suara cukup banyak. Akibatnya, keterlibatan asing dalam ‘money politic’ untuk menyokong partai atau para caleg tertentu sering terjadi, tentu tidak secara terbuka dan terang-terangan. Kenyataan ini—meski sulit dibuktikan—sering terjadi setiap menjelang Pemilu dan sudah banyak diungkap oleh sejumlah kalangan.
Akhirnya, bisa diduga, saat partai/para caleg yang disokong para pengusaha/pemilik modal—khususnya pihak asing—itu berhasil duduk di DPR atau menduduki kursi kekuasaan, politik ‘balas budi’ pun terjadi. Bahkan para penguasa/pemilik modal dan pihak asing kemudian bisa mendikte penguasa dan DPR. Pada akhirnya, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para pengusaha/para pemilik modal dan pihak asing tersebut. Karena itulah, wajar jika kemudian penguasa/DPR akan membuat kebijakan dan UU yang selaras dengan kepentingan mereka, bukan demi kepentingan rakyat yang telah memilihnya. Lahirnya UU SDA, UU Migas, UU Penanaman Modal, UU BHP, UU Minerba dll jelas harus dibaca dari sisi ini. Pasalnya, semua UU tersebut jelas-jelas ditujukan hanya demi melayani kepentingan pengusaha/pemilik modal, termasuk pihak asing, bukan untuk melayani kepentingan rakyat. Rakyat pada akhirnya hanya menjadi obyek pesakitan seraya terus memendam impian perubahan, yang entah kapan bisa terwujud.

Suara Mayoritas?

Dalam demokrasi, suara mayoritas selalu menjadi ukuran. Pasalnya, masyarakat tidak mungkin semuanya duduk di pemerintahan. Karena itu, wajar jika muncul konsep perwakilan rakyat. Dalam demokrasi, wajar pula jika kemudian konsep suara mayoritas diterapkan untuk mewujudkan keterwakilan rakyat di DPR/pemerintahan. Namun masalahnya, betulkah suara mayoritas wakil rakyat di DPR/di pemerintahan benar-benar mencerminkan suara mayoritas rakyat? Tentu tidak! Sebab, pada kenyataannya suara rakyat telah beralih menjadi suara mereka sendiri secara individual. Bukankah para ”wakil rakyat” tersebut tidak pernah meminta pendapat rakyat yang diwakilinya? Lebih dari itu, pada kenyataannya banyak suara wakil rakyat tersebut sudah ‘terbeli’ oleh kekuatan modal para pengusaha dan pihak asing, sebagaimana telah dijelaskan di awal.
Yang lebih penting untuk dipersoalkan, apakah ‘suara mayoritas’ itu pasti benar? Tentu tidak! Di dalam banyak ayat-Nya, Allah Yang Mahatahu justru menyatakan sebaliknya dan bahkan mencelanya. Allah SWT, misalnya secara tegas berfirman:
]وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ[
Jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah (QS al-An’am [6]: 116).
Ungkapan senada juga bisa kita temukan di dalam banyak ayat-Nya yang lain (Lihat: QS 2: 100; 6: 37, 111; 7: 17, 102, 131; 8: 32; 10: 36, 55, 60; 12: 106; 16: 75, 101; 21: 24; 25: 44; 26: 8, 67; dll).
Walhasil, suara mayoritas bukanlah penentu kebenaran. Sebuah kebenaran hanya ditentukan oleh kesesuaiannya dengan hukum-hukum Allah, yang berdasarkan dalil syariah yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah.

Tinggalkan Demokrasi!

Sesungguhnya demokrasi bukanlah solusi. Ia justru menjadi sumber masalah. Sebab, sejak awal demokrasi telah memposisikan kedaulatan Allah SWT di bawah kedaulatan rakyat (manusia). Itulah pangkal masalahnya.
Selain itu, demokrasi sesungguhnya tidak menjanjikan apapun; tidak kemakmuran, kesejahteraan ataupun keadilan. Demokrasi hanya menjanjikan harapan semu yang selamanya tidak pernah mewujud menjadi kenyataan. Buktinya, sudah sekian puluh tahun demokrasi diterapkan di negeri ini, dan sudah sekian kali pemilu dalam sistem ini digelar, namun hasilnya hanyalah keburukan demi keburukan.
Dalam hal ini, seorang Muslim yang cerdas sejatinya tidak terjerembab ke dalam lubang yang sama dua kali, apalagi berkali-kali. Rasulullah saw. bersabda:
«لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ»
Seorang Mukmin tidak seharusnya terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, janganlah kita sampai terjerembab ke dalam ‘lubang demokrasi’ untuk ke sekian kalinya. Marilah kita berlepas diri dari sistem demokrasi. Marilah kita bersegera untuk menegakkan sistem pemerintahan Islam, yakni sistem Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah, yang akan menerapkan syariah Allah SWT secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan itulah kita semua akan dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat, sekaligus mendapatkan keridhaan dari Allah SWT. Wallâh a’lam. []
Komentar:
Forum Ekonomi Dunia Islam ke-5 di Indonesia akan menawarkan konsep ekonomi Islam (Hidayatullah.com, 3/3/2009).
Ekonomi Islam secara total hanya mungkin diterapkan dalam sistem Khilafah Islam.

Privatisasi: Penguasa Mengkhianati Rakyat


[Al-Islam 444] 
Setelah secara ugal-ugalan gagal memprivatisasi (menjual) 44 BUMN (Badan Usaha Milik Negara) pada tahun lalu akibat kriris keuangan global, Pemerintah kembali menggulirkan program privatisasi BUMN tahun ini. Jumlah BUMN yang diprivatisasi Kementerian Negara BUMN kali ini mencapai 20 BUMN.
Sebagaimana privatisasi BUMN tahun lalu, tahun ini privatisasi dilakukan melalui dua cara, yaitu initial public offering (IPO) atau penjualan saham perdana di pasar modal dan strategic sales (penjualan strategis).

Privatisasi Sejak Orde Baru

Privatisasi (penjualan) BUMN di Indonesia telah dilakukan sejak rezim Orde Baru. Pemerintah menjual 35% saham PT Semen Gresik (1991), 35% saham PT Indosat (1994), 35% saham PT Tambang Timah (1995) dan 23% saham PT Telkom (1995), 25% saham BNI (1996) dan 35% saham PT Aneka Tambang (1997) (www.bumn-ri.com).
Kebijakan privatisasi pada masa Orde Baru ini dilakukan untuk menutupi pembayaran hutang luar negeri (HLN) Indonesia yang jumlahnya terus membengkak. HLN Pemerintah yang berjumlah US$ 25,321 miliar pada tahun 1985 bertambah menjadi US$ 59,588 miliar pada tahun 1995. Sementara pemasukan dari hasil privatisasi BUMN tahun 1995-1997 hanya dapat menurunkan HLN Pemerintah menjadi US$ 53,865 miliar pada tahun 1997 (Hidayatullah, 2002).
Sejak ekonomi Indonesia berada dalam pengawasan IMF, Indonesia ditekan untuk melakukan reformasi ekonomi —program penyesuaian struktural— yang didasarkan pada Kapitalisme-Neoliberal. Reformasi tersebut meliputi: (1) campur-tangan Pemerintah harus dihilangkan; (2) penyerahan perekonomian Indonesia kepada swasta (swastanisasi) seluas-luasnya; (3) liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dengan menghilangkan segala bentuk proteksi dan subsidi; (4) memperbesar dan memperlancar arus masuk modal asing dengan fasilitas yang lebih besar (Sritua Arief, 2001).
Di bawah kontrol IMF, Indonesia dipaksa mengetatkan anggaran dengan pengurangan dan penghapusan subsidi, menaikkan harga barang-barang pokok dan pelayanan publik, meningkatkan penerimaan sektor pajak dan penjualan aset-aset negara dengan cara memprivatisasi BUMN.
Pada tahun 1998 Pemerintah kembali menjual 14% saham PT Semen Gresik kepada perusahaan asing, Cemex; 9,62% saham PT Telkom; 51% saham PT Pelindo II kepada investor Hongkong; dan 49% saham PT Pelindo III kepada investor Australia. Tahun 2001 Pemerintah lagi-lagi menjual 9,2% saham Kimia Farma, 19,8% saham Indofarma, 30% saham Socufindo dan 11,9% saham PT Telkom.

Kebohongan dan Ketidakmampuan Pemerintah

Privatisasi hakikatnya adalah pemindahan kepemilikan aset-aset milik negara kepada swasta dan asing (Mansour, 2003). Namun Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN mengkaburkan makna privatisasi dengan menambahkan alasan, yaitu dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham masyarakat.
Dalam program privatisasi tahun ini, Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil beralasan, “Privatisasi BUMN dilakukan tidak untuk menjual BUMN, melainkan untuk memberdayakan BUMN itu sendiri, sehingga akan menjadikan BUMN lebih transparan dan dinamis.” (Kominfo Newsroom, 21/1/2008).
Kenyataannya, privatisasi tidak seperti yang digambarkan Pemerintah, yakni bertujuan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham BUMN. Pasalnya, yang dimaksud masyarakat bukanlah masyarakat secara keseluruhan, tetapi tentu saja hanya ’kelompok masyarakat khusus’, yakni mereka yang punya uang (investor).
Privatisasi tidak lain merupakan upaya pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Hal ini terjadi karena Pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengelola negara. Tidak aneh, setiap tahun Pemerintah hanya bisa menjual aset/kekayaan negara dengan cara ugal-ugalan. Akibatnya, kekayaan negara—yang hakikatnya milik rakyat—terus menyusut, sedangkan hutang negara terus bertambah.
Pada tahun 2007, Wapres Jusuf Kalla mengemukakan bahwa dari 135 BUMN yang dimiliki Pemerintah, jumlahnya akan diciutkan menjadi 69 di tahun 2009, dan 25 BUMN pada tahun 2015 (Antara, 19/2/2007). Artinya, sebagian besar BUMN itu bakal dijual ke pihak swata/asing.

Intervensi Asing

Kebijakan privatisasi di Indonesia telah diatur sedemikian rupa seperti yang tertuang dalam dokumen milik Bank Dunia yang berjudul, Legal Guidelines for Privatization Programs. Dalam dokumen ini terdapat panduan bagaimana Pemerintah melakukan kebijakan privatisasi dengan menghilangkan persoalan hukum. Pertama: memastikan tujuan-tujuan Pemerintah dan komitmennya terhadap privatisasi. Kedua: mengubah undang-undang atau peraturan yang menghalangi privatisasi. Ketiga; menciptakan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menerapkan kebijakan privatisasi. Keempat: menghindari kekosongan kewenangan kebijakan privatisasi yang dapat menyebabkan kebijakan privatisasi tidak dapat dijalankan.
Dalam dokumen USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008 disebutkan bahwa lembaga bantuan Amerika Serikat ini bersama Bank Dunia aktif dalam proyek privatisasi di Indonesia. Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam News Release yang berjudul, Project Information: State-Owned Enterprise Governance and Privatization Program, tanggal 4 Desember 2001, memberikan pinjaman US$ 400 juta untuk program privatisasi BUMN di Indonesia. ADB menginginkan peningkatan partisipasi sektor swasta dalam BUMN yang mereka sebut bergerak di sektor komersial.
Dampak krisis global mendorong Indonesia mencari pinjaman luar negeri langsung kepada lembaga keuangan dan dunia internasional untuk menutup defisit APBN. Langkah ini semakin memberikan peluang menguatnya campur tangan dan tekanan asing di Indonesia.

Agenda Politik 2009

Privatisasi BUMN saat ini juga diduga kuat tidak bisa dilepaskan dari agenda politik 2009. Peneliti Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar mengemukakan, partai politik menjadikan privatisasi sebagai sarana untuk mengeruk dana besar dari BUMN. Parpol melakukannya melalui kader-kader mereka yang duduk di birokrat (Media Indonesia, 9/8/2008).
Direktur Eksekutif Charta Politica, Bima Arya Sugiarto memandang kursi pimpinan BUMN sangat dekat dengan parpol dan kekuasaan. Tanpa peranan keduanya sangat sulit bagi seseorang menjadi pimpinan BUMN. Ini menjadikan BUMN sangat dipengaruhi kepentingan politik (Kompas, 20/2/2009).
Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menilai privatisasi BUMN di tengah pasar global yang sedang jatuh sangat tidak wajar. Ia juga menilai agenda privatisasi tahun ini sarat dengan kepentingan politis untuk Pemilu 2009 (Republika, 17/2/2009).
Indonesia Corruption Wacth (ICW) dalam Corruption Outlook 2008 membeberkan, bahwa privatisasi BUMN menjelang Pemilu sangat terkait dengan penggalian dana parpol. Hal ini selaras dengan semakin tingginya temuan transaksi mencurigakan oleh Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan. Berdasarkan laporan PPATK per 31 Januari 2009, transaksi keuangan yang mencurigakan hingga saat ini jumlahnya meningkat drastis menjadi 24.392 kasus dari sebelumnya 17.331 kasus pada pertengahan tahun lalu.
Bukti bahwa privatisasi adalah untuk kepentingan pembiayaan Pemilu 2009 semakin kuat dengan tidak disetorkannya dana hasil privatisasi 2009 ke kas negara (APBN). Menurut Deputi Menteri Negara BUMN Bidang Privatisasi dan Restrukturisasi, M. Yasin, dana hasil privatisasi 2009 tidak diserahkan untuk memperkuat APBN melainkan untuk kepentingan restrukturisasi BUMN (Republika, 30/12/2008). Hal ini memberikan peluang besar bagi parpol, khususnya yang memegang Kementerian BUMN, untuk menggunakan dana hasil privatisasi.

Menghilangkan Peran Negara

Privatisasi merupakan salah satu agenda globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang diusung oleh IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), AS dan negara-negara Kapitalis lainnya, serta para investor global. Tujuannya tidak lain adalah penjajahan. Selain itu, syariah Islam telah mengharamkan dilakukannya privatisasi, yang hakikatnya memindahkan kepemilikan umum kepada pribadi (swasta), baik asing maupun domestik. Program ini jelas sangat berbahaya, bukan saja bagi negara, tetapi bagi rakyat. Nabi Muhammad saw. bersabda:
«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِراَرَ»
Tidak boleh ada bahaya dan (saling) membahayakan (HR Ahmad dan Ibn Majah).
Privatisasi juga merupakan hukum Kufur yang tegak di atas prinsip pasar bebas yang —menjadi salah satu pilar sistem ekonomi kapitalis— sangat bertentangan dengan Islam. Penerapan hukum ini menjadikan Pemerintah meninggalkan tanggung jawabnya sebagai pelayan dan pengatur urusan masyarakat. Pemerintah kemudian menyerahkan perannya kepada pemilik modal.
Privatisasi juga menyebabkan tergilasnya hak-hak masyarakat, sementara para pemilik modal terus meningkatkan labanya, sebagaimana yang dikatakan tokoh ekonomi neoliberal.
Syariah Islam menegaskan, bahwa Pemerintah harus mampu mengatur dan melayani urusan masyarakat (ri’âyah as-su’ûn al-ummah), sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad saw.:
«اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat; dia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Untuk itu, Pemerintah harus memiliki alat dan sarana. Salah satunya dengan mendirikan badan-badan yang bertugas menggali sekaligus mengolah barang tambang serta memproduksi barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah juga harus memiliki badan yang dapat menjamin terdistribusikannya semua itu di tengah-tengah masyarakat.
Privatisasi terhadap BUMN yang terkategori sebagai milik umum dan sektor/industri strategis diharamkan oleh syariah Islam. Nabi Muhammad saw. bersabda:
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكََلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
Kaum Muslim bersekutu (sama-sama memiliki hak) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Harta milik umum itu meliputi fasilitas umum, barang tambang yang jumlahnya sangat besar dan sumberdaya alam yang sifat pembentukannya menghalangi penguasaan oleh individu. Adapun industri strategis adalah adalah industri yang menghasilkan produk vital yang tanpanya kegiatan pemerintahan dan masyarakat menjadi terhambat.
Privatisasi bukanlah solusi, tetapi merupakan program pemakzulan peran negara dalam melayani rakyatnya. Privatisasi merupakan ancaman yang harus dicegah dengan menerapkan hukum Islam yang terkait dengan kepemilikan umum, juga dengan menegakkan Islam sebagai haluan negara, sehingga fungsi negara sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyat benar-benar tegak. Tanpanya, mustahil negara akan menjalankan fungsinya sebagai negara. Karena itu, kita memang membutuhkan syariah Islam dan Khilafah untuk merealisasikannya. []
KOMENTAR:
Umar bin Abdul Aziz: Pemimpin yang Kita Rindukan (Republika.co.id, 23/2/2009)
Tentu saja sistemnya juga kita rindukan, yakni sistem Khilafah.

Mewaspadai Kunjungan Menlu AS di Indonesia


[Al-Islam 443] 
Sebagaimana telah banyak diberitakan, dalam rangkaian kunjungan pertamanya sebagai menteri luar negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton akan berkunjung ke Jepang, Indonesia, Korea Selatan dan China. Kunjungan ke Indonesia akan dilakukan pada tanggal 18-19 Febuari 2009 ini. Menurut Juru Bicara Deplu AS Robert Wood di Washington, “Indonesia adalah negara yang penting bagi AS sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia. Menlu merasa penting untuk merangkul Indonesia lebih awal.” (Kompas.com, 7/2/09).
Tentang agenda kunjungan ke Indonesia, Dubes AS untuk Indonesia Cameron Hume mengungkapkan, Menlu Hillary bersama para pejabat negara tuan rumah akan membicarakan pendekatan-pendekatan bersama dalam menghadapi tantangan yang melanda masyarakat internasional. Selain terkait dengan krisis pasar keuangan dan isu-isu kemanusiaan, Hume mengungkapkan, “Beliau (Hilarry, red.) akan bertukar pandangan mengenai hubungan AS-Indonesia yang terus berkembang, termasuk kerjasama di berbagai bidang seperti pendidikan, keamanan regional, lingkungan hidup, perdagangan dan kesehatan.”
Rencana kunjungan itu mendapat sambutan besar dari kalangan pejabat di Indonesia. Pasalnya, kunjungan Menlu AS yang baru biasanya dilakukan ke Eropa atau Timur Tengah, dan baru sekarang ke wilayah Asia, khususnya Indonesia. Rencana kunjungan itu membuat Pemerintah Indonesia merasa senang dan bangga. “Kita melihat Indonesia sudah masuk dalam radar negara besar sebagai emerging country (negara yang sangat penting. red.) yang patut diperhitungkan dalam kontribusinya di dunia ini,” ujar Mensesneg Hatta Rajasa di Jakarta, Kamis kemarin (MIOL, 5/2/09).

Makna di Balik Kunjungan

Jika dicermati lebih jauh, kunjungan Menlu AS ke Indonesia sebagai negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia mengandung sejumlah tujuan. Sayangnya, tujuan tersebut seluruhnya semata-mata demi memenuhi ambisi politik dan ekonomi AS. Di antara tujuan di balik kunjungan Menlu AS itu adalah:
Pertama, memulihkan citra AS secara internasional, khususnya di Dunia Islam, yang terlanjur semakin terpuruk selama kepemimpinan Bush. Terpuruknya citra AS tentu saja terutama karena pendudukan sekaligus tindakan brutal AS di Irak dan Afganistan; juga dukungan AS yang membabi-buta dan terus-menerus terhadap Israel, khususnya dalam kasus Pembantaian Gaza oleh Israel baru-baru ini. Citra itulah yang hendak “diperbaiki” oleh AS. Karena itulah, Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar diharapkan bisa menjembatani hubungan Dunia Islam dengan Barat, khususnya AS, supaya citra AS di mata Dunia Islam bisa diperbaiki. Ini tentu sejalan dengan strategi baru Obama dalam politik luar negerinya, yakni penggunaan “smart power” (kekuatan pintar). Inilah juga yang bisa kita simak dari pernyataan Hillary, dalam dengar pendapat di depan Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS (13/1/2009), bahwa dirinya akan bekerja “memperbarui kepemimpinan Amerika melalui diplomasi yang akan meningkatkan keamanan kita, mengedepankan kepentingan kita, dan mencerminkan nilai-nilai kita.”
Jadi, tujuan utama dari berbagai kunjungan Menlu AS tersebut tidak lain adalah untuk memperbarui kepemimpinan—termasuk citra—AS di dunia.
Kedua, dalam konteks masalah Palestina, AS berharap bahwa Indonesia bisa memainkan peran di dalamnya, terutama karena Indonesia memiliki hubungan yang semakin dekat dengan Hamas dan rakyat Palestina secara umum. Bahkan menurut Wapres Jusuf Kalla, Wapres AS Joe Biden secara khusus telah meminta proposal ke Indonesia tentang penyelesaian konflik Palestina (MIOL, 8/2/09).
Persoalannya, Presiden Barack Obama telah menandaskan bahwa kesepakatan dengan rakyat Palestina harus tetap menjaga identitas Israel sebagai negara Yahudi yang memiliki perbatasan aman dan diakui. Israel harus dibela dan al-Quds harus menjadi ibukota Israel dan sebagai kota bersatu. Ia menyebut pertemanan AS dengan Israel tidak mungkin dipisahkan (Inilah.com, 6/2/09).
Artinya, penyelesaian masalah Palestina harus sesuai dengan garis yang telah ditandaskan oleh Obama/AS. Karena itu, Pemerintah Indonesia tidak boleh terjebak dengan skenario itu. Jika Indonesia mengikuti keinginan AS itu, berarti Indonesia telah menjadi perantara bagi terwujudnya pengakuan legal terhadap keberadaan Yahudi-Israel sang penjajah, yang telah mencaplok tanah Palestina.
Ketiga, dalam konteks keamanan regional, AS ingin memastikan kerjasama yang lebih erat dengan Indonesia, khususnya terkait dengan isu terorisme dan keamanan di Selat Malaka. Dalam hal ini, Deputi Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Robert Wood mengatakan, ”Amerika mungkin membuka kembali program Korps Perdamian AS di Indonesia setelah dihentikan sebelumnya pada pertengahan 1960-an.” (Antara, 9/2/09).
Dengan kata lain, lewat kunjungan ini, AS ingin memastikan bahwa Indonesia akan tetap melanjutkan program perang melawan terorisme, meski dengan cara yang sedikit berubah sesuai dengan gaya AS yang berubah di bawah Obama. Adapun terkait dengan Selat Malaka, sebagaimana diketahui, selama ini terus diopinikan bahwa Selat Malaka menjadi salah satu jalur pelayaran yang rawan perompakan. Padahal Selat Malaka langsung berkaitan erat dengan keamanan regional, bahkan dunia, selain berkaitan erat dengan keamanan pasokan minyak dan bahan baku lainnya. Karena itu, kunjungan ini akan digunakan Hillary untuk membuka pintu lebih lebar bagi kerjasama AS-RI yang lebih dalam untuk mengontrol keamanan Selat Malaka ini.
Keempat: AS mulai menyadari pesatnya perkembangan Islam dan kesadaran umat Islam di Indonesia untuk kembali pada syariah agama mereka, sebagaimana yang ditunjukkan oleh berbagai hasil survey. Hal ini dipandang bisa menjadi ancaman potensial bagi penjajahan AS di kawasan ini. Di mata AS, meningkatnya kesadaran umat Islam itu akan mengancam nilai-nilai mereka seperti Demokrasi, HAM, Pluralisme, Kebebasan dan Kesetaraan Gender, yang pada akhirnya akan menggulung tradisi penjajahan mereka di negeri ini.
Karena itu, AS ingin Indonesia memelopori dan mendorong Dunia Islam menjadi menganut Islam moderat dan menjunjung demokrasi. Untuk itu, Indonesia harus lebih dulu menunjukkan diri menjadi negara moderat dan demokratis. Negara moderat dan demokratis tentu saja maksudnya adalah negara yang bersahabat dengan AS dan tidak anti AS serta mempertahankan sistem dan nilai-nilai sekular. Dubes AS untuk Indonesia Cameron Hume mengisyaratkan hal ini. Ia menyatakan, Menlu Hillary menantikan untuk melihat langsung bagaimana Indonesia berubah menjadi negara demokrasi yang stabil, moderat dalam wilayah penting ASEAN. Harapan ini kemudian diamini Menlu RI Hassan Wirajuda. ”Sepanjang RI-AS menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, demokrasi, dan pluralisme, ada cukup alasan untuk mengeratkan hubungan bilateral.” (Kompas, 7/2/09).
Kelima: Di depan Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS (13/1/2009), Hillary menyebut Indonesia memiliki peran penting dalam memecahkan masalah krisis ekonomi global (Detiknews.com, 14/01/09). Tentu bukan karena Indonesia dianggap mampu mengatasi krisis global. Pernyataan Hilarry tersebut harus dimaknai bahwa dalam pandangan AS, Indonesia bukan saja telah dan akan menjadi pasar potensial bagi produk AS, tetapi juga menjadi sumber bahan-bahan baku dan suplay energi bagi industri AS. Apalagi banyak perusahaan AS yang telah lama beroperasi di Indonesia sekaligus menguasai akses terhadap sumber-sumber kekayaan tersebut. PT Freeport dan ExxonMobil adalah di antaranya. Inilah kepentingan AS yang ingin terus dipertahankan di Indonesia.
Keenam: Kunjungan ini dilakukan menjelang Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009. Dalam agenda kunjungannya, Menlu AS itu juga direncanakan akan bertemu dengan sejumlah tokoh dan politisi di negeri ini, termasuk para calon capres dan cawapres. Kunjungan ini secara kasatmata bisa dibaca sebagai upaya AS untuk memastikan dukungannya kepada—sekaligus terpilihnya—tokoh dan politisi yang bisa menjamin kepentingannya di negeri ini. Apalagi dalam rentang sejarah kepemimpinan di negeri ini sejak awal kemerdekaan hingga era reformasi, secara langsung ataupun tidak, AS turut ‘menentukan’ naik-turunnya para pemimpin di negeri ini.

Catatan Kritis

Memperhatikan penjelasan di atas, jelas bahwa kunjungan Hillary pada 18-19 Februari ini akan lebih menguntungkan AS. Apalagi menurut Menlu Hassan Wirajuda, Pemerintah Indonesia sendiri sampai awal Februari belum menentukan agenda khusus yang akan dibicarakan dengan Menlu AS Hillary. Hal itu menunjukkan kekurangsiapan Indonesia dalam melakukan pembicaraan dan negoisasi dengan AS. Inilah ironi dari potret negara yang di klaim negara besar, padahal arah kebijakan politik luar negerinya ternyata tidak jelas.
Lebih dari itu, kunjungan Hillary ke Indonesia pada tanggal 18-19 Februari ini tidak lain adalah untuk lebih menguatkan pengaruh AS di kawasan regional, khususnya di Indonesia.
Karena itu, sudah seharusnya Pemerintah tidak terjebak dengan skenario dan keinginan AS. Pasalnya, AS adalah negara penjajah pengemban utama ideologi Kapitalisme, yang menjadikan penjajahan sebagai metode baku dalam menjalankan politik luar negerinya. Metode penjajahan ini tidak pernah berubah selamanya. Yang berubah hanyalah strategi dan caranya saja; dari sebelumnya “hard power” menjadi “smart power”, sebagaimana diistilahkan Presiden AS Obama. Jika kedua cara tersebut mendapatkan tempat atau diberi kesempatan oleh para penguasa negeri Islam, khususnya Indonesia, maka hal itu jelas bertentangan dengan firman Allah SWT:
]وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً[
Allah sekali-kali tidak akan pernah memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin (QS an-Nisa’ [4]: 141).
Lebih dari itu, membantu kepentingan negara-negara kafir harbi seperti AS, apalagi tunduk pada kemauannya, dengan mengorbankan kepentingan dan kamaslahatan kaum Muslim, merupakan bentuk nyata pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum Muslim. Padahal tindakan demikian nyata-nyata telah diharamkan oleh Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya; jangan pula kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian, sedangkan kalian mengetahui (QS al-Anfal [8]: 27).
KOMENTAR AL-ISLAM:
Polisi Siapkan 2800 Personel untuk Amankan Hilarry (Koran Tempo, 17/2/09).
Ingat! Hilarry adalah pendukung utama pembantaian rakyat Palestina oleh Israel dan pendudukan Irak oleh AS.