Rabu, 23 Maret 2011

Menyongsong Konferensi Khilafah Internasional 2007


BULETIN AL-ISLAM EDISI 367
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Khilafah berfungsi untuk menegakkan syariah Islam dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia. Dalam sejarahnya yang membentang lebih dari 1300 tahun, Khilafah secara praktis telah berhasil menaungi Dunia Islam. Khilafah mampu menyatukan umat Islam di seluruh dunia. Khilafah juga menerapkan syariah Islam secara kâffah sedemikian rupa sehingga kerahmatan yang dijanjikan bagi seluruh alam benar-benar dapat diwujudkan. Karena itu, syariah dan Khilafah tak ubahnya dua sisi mata uang. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Tepat sekali ketika Imam al-Ghazali (w. 555 H) dalam kitab Al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd menggambarkan eratnya hubungan antara syariah dan Khilafah dengan menyatakan, “Ad-Dîn uss[un] wa ash-shulthân hâris[un] (Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaganya)”; “Wa mâ la ussa lahu fa mahdûm[un] wa mâ la hârisa lahu fa dha’i (Apa saja yang tidak ada pondasinya pasti akan roboh dan apa saja yang tidak ada penjaganya pasti akan hilang).”
Sayang, payung Dunia Islam itu kini telah tiada. Setelah melalui berbagai upaya yang dilakukan berpuluh tahun lamanya, pada tanggal 28 Rajab, 86 tahun lalu, Kemal Pasha, politisi keturunan Yahudi dengan dukungan Inggris, secara resmi berhasil meng-abolish (menghapuskan) Kekhilafahan Islam yang waktu itu berpusat di Turki (Khilafah Utsmani). Dengan hancurnya payung Dunia Islam itu, berbagai persoalan—seperti penindasan, penistaan, penjajahan, kemiskinan dan ketertinggalan di segala bidang—terus mendera umat Islam hingga saat ini. Karena itu, tidak berlebihan jika para ulama menyebut hancurnya Khilafah sebagai umm ul-jarâ’im (biang dari segala kejahatan). Pasalnya, memang sejak runtuhnya Khilafah, Dunia Islam terus didera oleh berbagai krisis.
Menyadari arti pentingnya Khilafah dan betapa vitalnya Khilafah bagi ‘izzul Islâm wal muslimîn, umat Islam tidak pernah tinggal diam untuk mengembalikan Khilafah. Sejak keruntuhan Khilafah, umat Islam tidak pernah berhenti berjuang untuk menegakkan kembali Khilafah Islam hingga sekarang.
Tanggal 28 Rajab, bertepatan dengan tanggal 12 Agustus nanti, Hizbut Tahrir Indonesia akan menyelenggarakan Konferensi Khilafah Internasional di Gelora Bung Karno, Jakarta, yang insya Allah akan diikuti oleh sekitar 100 ribu peserta dari dalam dan luar negeri. Para pembicaranya juga datang dari dalam dan luar negeri. Hingga saat tulisan ini dibuat sudah konfirmasi peserta dari Australia, Singapura, Malaysia, Inggris, Denmark, Jepang, Palestina dan Sudan; di samping tentu saja peserta dari berbagai wilayah di dalam negeri. Seluruh pembicara utama juga sudah konfirmasi akan hadir. Mereka adalah Syaikh Isham Ameera dari Palestina, Imran Waheed dan Inggris, Syaikh Ismail Wah Wah dari Australia, Syaikh Usman Abu Khalil dari Sudan dan Hassan Ko Nakata dari Jepang. Dari dalam negeri, pembicara yang insya Allah akan hadir adalah Prof. Dr. Amien Rais, Prof. Dr. Din Syamsuddin, Aa Gym, Dr. Adhyaksa Dault, Habib Rizieq Shihab, Zainuddin MZ serta Ketua DPP HTI, Hafidz Abdurrahman.
Untuk apa konferensi besar yang tentunya memakan banyak energi ini diadakan? Perlu ditegaskan di sini, perhelatan besar itu tidaklah dimaksudkan untuk meratapi atau memperpanjang kesedihan, karena keruntuhan Khilafah memang tidak layak untuk terus diratapi. Konferensi ini juga bukan dimaksudkan untuk unjuk kekuatan atau kebesaran HTI, karena tidak ada daya dan kekuatan kecuali milik Allah, dan sesungguhnya Zat Yang Mahabesar hanyalah Allah. Acara besar ini bukan pula ditujukan untuk mendeklarasikan partai, apalagi mendeklarasi tegaknya Khilafah. Konferensi Khilafah Internasional ini diselenggarakan semata-mata sebagai medium bagi umat Islam Indonesia untuk mengokohkan komitmen terhadap syariah dan ukhuwah, sekaligus memompa kesadaran dan semangat umat untuk terus berjuang menegakkan kembali payung Dunia Islam yang sangat vital ini.
Mengapa komitmen terhadap syariah dan ukhuwah penting untuk terus digelorakan? Diakui atau tidak, Dunia Islam saat ini dalam keadaan yang sangat terpuruk. Memang, umat Islam disebut Allah SWT dalam al-Quran sebagai khayru ummah (umat terbaik) yang diturunkan di tengah manusia. Namun, secara faktual, umat Islam saat ini bukanlah umat terbaik; baik secara politik, ekonomi, pendidikan, sosial maupun budaya. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kemunduran itu. Salah satunya yang paling menonjol adalah karena perpecahan. Penyebab utama dari perpecahan ini tidak lain adalah karena di tengah-tengah umat tidak ada lagi figur dan institusi pemersatu, yakni Khalifah dengan institusi Khilafahnya. Jika diibaratkan, umat Islam sekarang ini bagaikan anak ayam kehilangan induknya, tidak punya rumah pula. Karena itu, umat Islam bukan saja tidak mampu menegakkan kembali ‘izzul Islâm wal muslimîn,tetapi juga tidak mampu menahan setiap gempuran jahat dari luar. Perbedaan mazhab dan kelompok/organisasi gampang sekali memecah umat. Berbagai intervensi dari luar, baik fisik maupun pemikiran, juga dengan amat mudah masuk ke dalam tubuh umat. Ibarat penyakit, paham Sekularisme, Kapitalisme, Liberalisme, Sinkretisme, Materialisme bahkan Nasionalisme juga dengan mudah pula merasuk ke dalam tubuh umat. Tak pelak lagi, 1,4 miliar umat Islam yang hidup terpecah di 57 negara bangsa(nation-state) saat ini bagaikan buih; tidak memiliki kekuatan dan identitas. Mereka menjadi makanan empuk yang diperebutkan oleh orang-orang lapar dari berbagai arah; persis seperti yang disebut oleh Rasulullah 14 abad silam. Karena itu, jika keruntuhan Khilafah sering disebut sebagaiumm al-jarâ’im atau pangkal dari segala kejahatan, tentu tegaknya kembali Khilafah merupakan pangkal dari segala perbaikan dan kemaslahatan.
Dalam konteks Indonesia, berbagai masalah yang menimpa bangsa dan negara ini—yang sebenarnya juga dialami oleh bangsa dan negara lain di Dunia Islam—dipicu oleh buruknya sistem yang ada, yakni sistem sekular yang telah terbukti gagal membawa negeri ini ke arah yang lebih baik, dan terpecah-belahnya umat Islam. Diyakini, umat Islam akan bisa kembali meraih kemuliaannya jika syariah Islam diterapkan kepada mereka, dan mereka bersatu kembali di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Inilah dua substansi penting dari ide Khilafah, yakni untuk tegaknya syariah dan terwujudnya ukhuwah. Karena itu, ide Khilafah sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan multidimensi yang nyata-nyata sekarang tengah mencengkeram negeri ini dalam berbagai aspeknya. Hanya melalui kekuatan global saja, penjajahan global bisa dihadapi secara sepadan. Karena itu pula, konferensi ini bisa dibaca sebagai bentuk kepedulian yang amat nyata dari Hizbut Tahrir Indonesia terhadap keadaan negeri ini. Hizbut Tahrir sangat ingin membawa negeri ini betul-betul mampu mencapai kemerdekaan hakiki dan terbebas dari berbagai bentuk penjajahan yang ada.

Moment of Awakening
Sebagai khayru ummah, kita tentu tidak boleh terus-menerus dalam keadaan terpuruk seperti itu. Salah satu ciri umat terbaik adalah cepat menyadari kesalahan dan segera bangkit memperbaiki diri. Karena itu, tepat sekali jika Konferensi Khilafah Internasional nanti kita jadikan sebagai moment of awakening (momen kebangkitan). Kehadiran puluhan ribu peserta dari berbagai daerah, bahkan dari berbagai negara, juga dengan pembicara dari berbagai organisasi/kelompok umat, selain dari HT sendiri, sebagaimana telah diungkap di atas, boleh disebut sebagai simbol kebangkitan dan persatuan umat; bahwa beban berat perjuangan penegakan kembali syariah dan Khilafah tentu akan menjadi ringan dan akan terasa semakin ringan jika dilakukan secara bersama-sama.
Keberadaan beragam kelompok di tengah-tengah umat telah menjadi kenyataan yang tidak bisa diabaikan. Tidak mengapa, karena memang demikianlah tabiat ajaran Islam yang memungkinkan terjadinya perbedaan, asal keragaman itu tidak menjadi pangkal perpecahan dan disorientasi dari perjuangan umat. Karena itu, penting sekali untuk mewujudkan kesamaan visi dan misi dari beragam kelompok itu. Apa visi dan misi yang mestinya sama? Tentu tegaknya kembali syariah dan Khilafah. Ada yang mengatakan, bahwa kalau syariah sih okey, tapi kalau Khilafah, tunggu dulu. Baiklah, jika itu yang dimaui, mari kita perjuangkan syariah dengan sungguh-sungguh hingga bisa benar-benar tegak. Cepat atau lambat, pasti kita akan sampai juga pada kewajiban syariah untuk bersatu dan taat kepada ulil amri. Nah, bagaimana kita bisa benar-benar bersatu dan taat kepada ulil amri jika tanpa Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah? Artinya, dari manapun rute perjuangan kita, yakinlah bahwa pada akhirnya sampai juga kita pada gagasan Khilafah, karena syariah dan Khilafah memang is the only solution (satu-satunya solusi) untuk tercapainya kembali ‘izzul Islâm wal Muslimîn (kemuliaan Islam dan kaum Muslim).
وَِللهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لاَ يَعْلَمُونَ
Sesungguhnya kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin. Akan tetapi, orang-orang munafik itu tidak mengetahuinya. (QS al-Munafiqun [63]: 8).[]

Komentar al-Islam:
80 Ribu Umat Islam Akan Hadiri Konferensi Khilafah Internasional (Eramuslim, 7/8/07).
Semoga lancar, aman dan tetap dalam naungan ridha Allah SWT. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar