Rabu, 23 Maret 2011

Menjadikan Indonesia Mandiri dan Berpengaruh


[BULETIN AL-ISLAM EDISI 380]
Tanggal 19-22 November 2007 yang lalu diadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-13 para pemimpin negara anggota Perhimpunan Bangsa Bangsa se-Asia Tenggara (ASEAN) yang berlangsung di Singapura. Ada hal yang menarik untuk disimak sebelum berlangsungnya KTT tersebut.
Beberapa hari sebelum acara pembukaan KTT dimulai, Singapura melalui Perdana Menterinya Lee Hsien Long mengajak agar negara anggota ASEAN bekerjasama meningkatkan integrasi ekonomi guna merespon kemajuan yang dicapai RRC dan India. Pernyataan ini menimbulkan ‘protes’ dari beberapa politisi dan pengamat politik di Indonesia. Mereka merasaIndonesia ‘seolah-olah’ diremehkan oleh Singapura. Mereka pun ‘menggugat’, seharusnya Indonesia mengambil langkah lebih strategis guna memanfaatkan konstelasi global sehingga Indonesia menjadi pusat dari percaturan politik, bukan hanya di ASEAN, namun juga di dunia. Intinya,Indonesia harus kuat dan dominan dalam percaturan politik maupun ekonomi di kawasan regional maupun internasional.
Pengamat politik LIPI Dr. Hermawan Sulistio menyatakan Indonesia harus cerdik dan jangan membiarkan Singapura terlalu dominan. Hermawan juga menyatakan perlunya ditanggapi secara hati-hati beberapa penilaian yang mempertanyakan ajakan ini, apakah dilakukan secara tulus (untuk kepentingan bersama ASEAN) atau merupakan upaya Singapura memperkokoh diri sebagai sentrum (pusat) dan sekaligus pemimpin ekonomi ASEAN.
Hal senada juga diungkapkan oleh Dr. Iwan Gunawan, pengamat politik ekonomi sekaligus salah satu staf ahli pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ia berpendapat bahwa secara ekonomi maupun politik, Singapura akan selalu diuntungkan oleh kemajuan negara-negara ASEAN, khususnyaIndonesia. “Karena ekonomi kita yang besar, maka pergerakannya sangat menguntungkan mereka, sebab Singapura berposisi dan punya peran sebagai `hub` (sentral akses) bermacam-macam kegiatan (keuangan internasional dan pelabuhan internasional).” (AntaraNews, 19/11/07)
Pertanyaannya: Mampukah Indonesia menjadi ‘sentrum’ bagi percaturan politik dan ekonomi kawasan regional (ASEAN) ataupun internasional? Berdasarkan apa agar politik luar negeri (Polugri) Indonesia bisa kuat dan berpengaruh? Bagaimana pula Islam berbicara tentang Polugri?

Bukan dengan Demokrasi
Indonesia sesungguhnya memiliki potensi mendatangkan era baru, yakni sebuah era yang mampu mewujudkan kemakmuran bagi bangsa-bangsa diAsia, bahkan dunia. Hal ini bisa diwujudkan tatkala Indonesia mempunyai daya tawar dan posisi yang kuat dalam politik luar negeri (Polugri)-nya. Dengan Polugri yang kuat, Indonesia bisa memainkan perannya dalam ikut menata percaturan politik dan ekonomi kawasan, bukan justru menjadi ‘pengekor’ kebijakan Polugri negara lain atau atau kepentingan asing.
Kesadaran ini sebenarnya sudah muncul dari sebagian pemimpin negeri ini, namun mereka salah dalam meletakkan dasar-dasarnya. Para pemimpin negeri ini menjadikan demokrasi sebagai ‘pijakan’ dalam menyusun PolugriIndonesia. Tidak aneh jika mereka ‘bersuka cita’ atas pujian dan penghargaan demokrasi yang diberikan oleh Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC). Para pemimpin negeri ini mengamini pernyataan Robert Murdoch, ahli politik dari Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC), yang menyatakan bahwa “Indonesia memiliki potensi itu (mendatangkan era baru) sehubungan negara ini telah mampu menegakkan sistem demokrasi yang patut dicontoh beberapa negara lain di Asia,” Di sela-sela penyelenggaraan Konferensi ke-40 IAPC di Nusa Dua Bali, Murdock juga menegaskan bahwa keberhasilan Indonesia dalam menegakkan demokrasi belakangan ini, akan banyak dibicarakan oleh negara-negara sehingga menjadikan Indonesia akan mempunyai ‘suara’ ke berbagai belahan dunia. (AntaraNews, 12/11/07)
Jelas, ini adalah pujian yang menghanyutkan sekaligus sebagai racun. Sebab, justru dengan demokrasi inilah negeri ini semakin dibawa ke dalam kehancuran dan kelemahan. Laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa sampai September tahun 2006 terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin hingga mencapai 17,5 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 39 juta penduduk. Prosentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2006, sebagian besar (63,41 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan. (www.ypr.or.id)
Kondisi dalam negeri tersebut diperparah dengan lemahnya Pemerintah terhadap intervensi asing. Atas nama demokrasi, PBB semakin sering mengirim pelapor khususnya ke Indonesia. Setelah kedatangan pelapor khusus bidang Eksekusi ekstrayudisial (Philip Alston), kemudian wakil sekjen PBB masalah HAM (Hina Jilani), pada medio November yang lalu datang lagi pelapor khusus PBB untuk kekerasan, Manfred Nowak. (JawaPos, 12/11/07). Anehnya, mereka semua datang ke Indonesia bukan atas inisiatif mereka sendiri tetapi justru atas undangan PemerintahIndonesia. Kondisi ini jelas semakin menunjukkan bahwa Pemerintah saat ini makin tunduk pada kepentingan asing.
Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal mendefinisikan bahwa PolugriIndonesia adalah keseimbangan politik. “Presiden selalu mengatakan ekuilibrium, tapi ada istilah lain yang digunakan presiden, all direction forum policy. Berarti semua orang kita temani dan dari semua orang kita petik manfaat dari kemitraan atau partnership,” tandas Dino.
Dengan berkawan dengan semua pihak, kata Dino, keamanan nasional kita, kesejahteraan nasional, dan kesejahteraan bangsa lebih terjamin. Dari sini dapat dipahami bahwa tidak ada ‘mainstream khusus’ dalam Polugri Indonesia, kecuali dijalankan atas dasar pragmatisme. Padahal pragmatisme dalam Polugri inilah yang membuka peluang bagi intervensi asing.

Islam Sumber Kekuatan Polugri
Kuat-lemahnya Polugri suatu negara bisa dilihat dari pengaruh negara tersebut dalam percaturan politik dan ekonomi internasional. Negara berpengaruh umumnya adalah negara yang berbasis ideologi. Misal: Negara Amerika Serikat yang berbasis ideologi Kapitalisme, atau Uni Sovyet dulu yang berbasiskan ideologi Sosialisme, atau Kekhilafahan Islam pada masa lalu yang berbasiskan ideologi Islam. Negara ideologis ini biasanya tidak akan mudah menerima kerjasama, bantuan ataupun yang lainnya selama tidak sesuai dengan orientasi ideologinya. Karena itu, negara ideologis biasanya merupakan negara yang mandiri, tidak bergantung pada negara lain dan bahkan bisa mempengaruhi negara-negara lain. Amerika Serikat saat ini jelas menunjukkan kenyataan ini.
Sebaliknya, negara-negara yang Polugrinya tidak berbasis ideologi akan mengikuti orientasi negara-negara ideologis. Contohnya adalah Indonesia saat ini, yang Polugrinya lebih cenderung mengekor pada orientasi Polugri Amerika Serikat. Ketundukkan Indonesia untuk mengikuti saja skenario Amerika Serikat dalam Perang Melawan Terorisme, misalnya, menunjukkan bahwa Indonesia memang tidak mandiri.
Pertanyaannya: Bagaimana agar Indonesia menjadi negara yang mandiri sekaligus berpengaruh? Jawabannya, tentu Indonesia harus menjadi negara ideologis. Lalu ideologi mana yang harus dipilih? Apakah Sosialisme yang sudah terbukti gagal, ataukah Kapitalisme yang sedang menuju jurang kehancuran, atau Islam yang pernah terbukti dalam sejarah berhasil menciptakan segala kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia? Akal sehat tentu akan memilih yang terakhir.

Jadikan Islam sebagai Pedoman
Islam memandang bahwa akidah ‘Lâ ilâha illa Allah, Muhammad Rasûlullâh’harus menjadi asas bagi seluruh bentuk hubungan yang dijalankan oleh kaum Muslim, termasuk dalam konteks negara. Islam harus menjadi pandangan hidup sekaligus pedoman negara dalam mengatur kehidupan seluruh warga negara; baik dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, hukum, militer maupun yang lainnya. Konsekuensinya, syariah Islam harus diberlakukan secara formal dalam negara.
Dengan penerapan syariah Islam, segala bentuk intervensi asing akan bisa diblok. Intervensi melalui ideologi tidak bisa jalan karena secara syar‘inegara diharamkan mencari sistem hidup (ideologi) dari luar Islam (QS Ali Imran [3]: 85). Intervensi melalui politik pun ditutup dengan larangan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk mengintervensi dan mengendalikan kaum Muslim (QS an-Nisa’ [4]: 141). Intervensi melalui UU juga tidak akan bisa jalan. Sebab, dalam sistem syariah, wakil rakyat tidak berhak membuat undang-undang dan yang menjadi patokan adalah syariah, yakni hukum yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Legislasi hukum atau UU oleh Khalifah pun tidak boleh menyalahi al-Quran dan as-Sunnah dan harus melalui proses istinbâth hukum yang benar. Karenanya, legislasi hukum (UU) tidak akan bisa dilakukan sesuai dengan kehendak Khalifah atau pihak lain apalagi asing. Walhasil, dengan syariah maka Polugri sebuah negara bersifat mandiri, kuat dan berpengaruh. Hanya dengan itulah kaum Muslim bisa berkuasa atas bangsa-bangsa lain, sebagaimana firman Allah SWT:
وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal salih di antara kalian bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan, menjadi aman sentosa.(QS an-Nur [24]: 55). []
Wallâhu a‘lam bi ash-Shawâb.
KOMENTAR AL-ISLAM:
Aparat Negara Harus Melayani Bukan Dilayani (Republika.co.id, 19/11/07).
Sayangnya, dalam sistem kapitalistik saat ini, pelayanan aparat acapkali tidak gratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar