Rabu, 23 Maret 2011

Ramadhan Merekatkan Ukhuwah


[BULETIN AL-ISLAM EDISI 375]
Di antara ‘hikmah’ datangnya bulan suci Ramadhan adalah semakin tampaknya syiar persatuan, kebersamaan dan jalinan persaudaraan (ukhuwah) di antara sesama Muslim. Saat makan sahur tiba, misalnya, kaum Muslim serentak melakukannya dalam waktu yang sama. Siang harinya mereka pun menunaikan shaum bersama-sama. Begitu pula saat waktu magrib menghampiri. Puasa di siang hari segera mereka akhiri. Mereka segera berbuka. Bahkan di banyak masjid, khususnya masjid-masjid besar, nuansa persatuan, kebersamaan dan jalinan persaudaraan makin terasa saat mereka menyantap makanan berbuka secara bersama-sama; tak jarang dalam satu nampan. Saat itu tak ada prasangka, curiga dan sikap saling mencela; sepi dari sikap saling iri dan dengki; jauh dari sikap saling tuduh; dan sunyi dari segala persepsi negatif. Begitu seterusnya.
Alangkah indah dan menyejukkan seandainya nuansa persatuan, kebersamaan dan jalinan persaudaraan (ukhuwah) ini tidak hanya kita temukan dalam tataran ritual ibadah seperti di atas, tetapi juga kita rasakan dalam tataran kehidupan keseharian kita. Tak ada prasangka, curiga apalagi sikap saling mencela hanya karena mazhab yang berbeda. Sepi dari sikap saling iri dan dengki meski beda visi dan organisasi. Jauh dari sikap saling tuduh, apalagi memperlakukan sesama Muslim layaknya musuh. Sunyi dari segala persepsi negatif meski beda pendapat dan prinsip.
Demikianlah seharusnya umat Islam. Gambaran di atas bisa menjadi bukti hakiki bahwa mereka sama-sama berpegang teguh pada firman Allah SWT:
إِنَّمَا الْمًؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ
Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara. (QS al-Hujurat [49]: 10).
Ayat di atas menegaskan bahwa siapapun, asalkan Mukmin, adalah bersaudara, karena dasar persaudaraan (ukhuwah) adalah kesamaan akidah. Ayat ini menghendaki persaudaraan kaum Mukmin harus benar-benar kuat, bahkan lebih kuat daripada persaudaraan karena nasab. (Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, VIII/3).
Gambaran di atas juga bisa menjadi bukti bahwa kaum Muslim mengamalkan firman Allah SWT berikut:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
Berpeganglah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai. (QS Ali Imran [3]: 103).
Menurut, Imam Ibnu Katsir Ibn Katsir (Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, I/477. ayat tersebut merupakan perintah Allah SWT kepada umat Islam untuk selalu berpegang pada al-jamâ‘ah dan melarang mereka dari tafarruq (bercerai-berai).
Keadaan umat Islam seperti digambarkan di atas juga merupakan perwujudan hakiki dari sabda Rasulullah saw.:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan satu bangunan; sebagian menguatkan sebagian lainnya. (HR Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).
Selain itu, banyak hadis yang menyebut bentuk-bentuk praktis dari manifestasi ukhuwah islamiyah di antara sesama Muslim secara individual. Di antaranya adalah: larangan saling meng-ghîbah, memfitnah, memata-matai (tajassus) apalagi saling membuka aib; juga larangan saling menghina, mencela, melanggar kehormatan apalagi sampai saling membunuh. Sebaliknya, banyak hadis yang justru mendorong seorang Muslim bersikap lemah-lembut terhadap sesama Muslim, bersahabat, berkasih sayang, saling mengucapkan salam dan berjabatan tangan, saling mendoakan, saling mengunjungi, saling memberikan hadiah, bahkan selalu bersama dalam suka dan duka.
Dalam tataran yang lebih luas secara sosial, banyak hadis yang melarang kaum Muslim untuk menyerukan perpecahan atas dasar ‘ashabiyah; termasuk di dalamnya fanatisme kelompok, mazhab, organisasi, partai dsb. Nabi saw., antara lain, bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
Tidak termasuk golongan kami orang yang menyerukan ‘ashabiyah, tidak termasuk golong kami orang yang berperang atas dasar ‘ashabiyah, dan tidak termasuk golongan kami orang yang mati di atas dasar ‘ashabiyah. (HR Abu Dawud).

Merekatkan Ukhuwah, Menjauhkan Fitnah
Umat Islam harus menyadari bahwa dalam Islam memelihara ukhuwah islamiyah adalah kewajiban setiap Muslim. Karena itu, lalai atau bahkan merusak jalinan ukhuwah islamiyah adalah dosa, sebagaimana meninggalkan bentuk kewajiban-kewajiban yang lain. Kewajiban memelihara ukhuwah islamiyah ini didasarkan pada sejumlah nash al-Quran maupun as-Sunnah, sebagaimana terpapar di atas.
Karena itu, betapa indahnya jika sikap prasangka, mudah curiga dan saling mencela segera dicampakkan; betapa sucinya jika sikap iri dan dengki dihindari; betapa sejuknya jika sikap saling tuduh segera dibuang jauh-jauh; dan betapa agungnya jika persepsi negatif segera disingkirkan. Dengan begitu, tak akan ada lagi orang Muslim yang begitu gampang mencap pihak lain sesat hanya karena beda pendapat dalam masalah furû‘(cabang); tak ada lagi yang memfitnah para pejuang syariah sebagai ancaman; dan tak ada lagi yang mencurigai para pengusung wacana Khilafah sebagai pihak yang pantas diwaspadai.
Dengan itu pula, tak akan ada lagi orang Muslim yang dengan mudah menuduh pihak yang berbeda mazhab atau organisasi dengannya sebagai pihak yang menyerobot masjidnya, karena toh masjid adalah rumah Allah, milik bersama umat Islam. Terlebih jika fitnah itu tidak pernah terbukti. Bukankah al-Quran sendiri menyebut masâjidallâh (masjid-masjid Allah), bukan yang lain? (lihat: QS at-Taubah [9]: 18).
Yang dicela oleh Allah untuk memakmurkan masjid-masjid-Nya hanyalah orang-orang musyrik/kafir (Lihat: QS at-Taubah [9]: 17).
Setiap Muslim dan setiap komponen umat Islam sudah sepantasnya melakukan ta’âruf (saling mengenal), ta’âluf (saling merekatkan), tafâhum(saling memahami), tafâqud (saling respek/peduli) dan ta’âwun (saling menolong)Semua itu akan menjadi kunci pembuka hati persaudaraan, menambah kedekatan, menciptakan kesepahaman dan sikap toleran sekaligus menghilangkan sikap iri dan dengki.
Karena itulah, siapapun yang selama ini berusaha menimpakan keburukan kepada sesama Muslim, hendaknya segera mengingat dan merenungkan kembali firman Allah SWT berikut:
إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ
Sesungguhnya orang-orang yang menimpakan fitnah (keburukan) kepada kaum Mukmin laki-laki maupun perempuan, kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka azab Jahanam; bagi mereka pun azab (neraka) yang membakar. (QS al-Buruj [85]: 10).

Ukhuwah dan Agenda Bersama
Di samping merekatkan ukhuwah, sudah saatnya seluruh komponen umat Islam—tanpa memperhatikan lagi aliran pemikiran, mazhab, organisasi, partai, atau harakah dakwah masing-masing—merumuskan agenda bersama dalam merespon setiap permasalahan yang melanda umat Islam, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Agenda bersama ini sejatinya tidak terlepas dari:
Membangun kesadaran ideologis Islam di tengah-tengah umat. Dengan itu, umat akan menyadari bahwa ukhuwah tidak hanya sebatas dalam tataran ritual, tetapi juga dalam kehidupan sosial, politik dst.
Membangun kesadaran politik umat. Kesadaran politik akan menjadikan umat menyadari bahaya perpecahan di antara mereka. Umat juga akan bisa melihat betapa perpecahan sering dilakukan sebagai bentuk rekayasa pihak asing untuk menguasai dan melakukan penjajahan halus untuk meraih tujuan politik dan ekonomi mereka.
Harus ada sistem yang dapat menyatukan umat. Tidak ada sistem yang dapat menyatukan keragaman selain sistem Islam. Itulah Khilafah Islam yang telah terbukti mampu mengayomi semua kelompok dalam masyarakat, bukan hanya umat Islam, tetapi juga umat lain, selama berabad-abad.
Karena itu, secara sadar harus ditanamkan pada diri umat Islam, bahwa mereka adalah umat yang satu; akidah mereka satu; sistem mereka juga satu; dan negera mereka satu –meski mereka berbeda organisasi, kelompok masyarakat, dan sebagainya.

Ukhuwah dan Aksi Bersama
Secara real, ukhuwah islamiyah seharusnya tidak terbatas dalam tataran teori, tetapi juga aksi bersama. Aksi bersama yang dimaksud adalah sebagaimana yang selama ini pernah dilakukan. Contohnya adalah Aksi Sejuta Umat—yang melibatkan seluruh komponen umat Islam yang dimotori MUI—beberapa waktu lalu dalam menentang pornografi-pornoaksi sekaligus mendukung pengesahan RUU APP menjadi UU. Contoh lainnya adalah Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-4 tahun 2005 yang secara bulat berhasil merumuskan, bahwa syariah Islam harus dijadikan solusi bagi seluruh problem yang dihadapi bangsa saat ini. Contoh lainnya lagi adalah Konferensi Khilafah Internasional, 12 Agustus 2007 yang lalu.
Itulah di antara yang bisa dilakukan umat Islam untuk semakin merekatkan ukhuwah islamiyah.

Khatimah
Rasulullah saw. bersabda (yang artinya):
Aku memohon kepada Tuhanku untuk umatku agar umatku itu tidak binasa akibat kelaparan yang luar biasa dan agar mereka tidak dapat dihancurkan oleh musuh dari luar mereka. Tuhanku berfirman, “Wahai Muhammad, sesungguhnya jika Aku menetapkan suatu ketetapan maka hal tersebut tidak akan dapat ditolak. Aku memberi umatmu agar mereka tidak binasa akibat kelaparan yang mewabah serta musuh dari luar mereka tidak dapat menguasai mereka sekalipun mereka berkumpul dari berbagai penjuru hingga sebagian umatmu itu menghancurkan sebagian yang lain dan sebagian mencaci sebagian yang lain.” (HR Muslim).
Penting disadari oleh kalangan umat Islam, baik tokoh maupun rakyat biasa, bahwa sesama Muslim itu bukan musuh; mereka itu bersaudara. Justru musuh bersama saat ini adalah sekularisme yang mendasari ideologi Kapitalisme di bawah pimpinan negara kafir penjajah.
Hendaknya kaum Muslim juga sadar bahwa bangsa-bangsa kafir senantiasa akan berusaha memecah-belah kesatuan negeri kaum Muslim untuk menguasai kaum Muslim. Mereka tak mungkin menguasai kaum Muslim kecuali setelah berhasil memecah-belah kaum Muslim.
Walhasil, marilah kita jadikan bulan Ramadhan ini sebagai momentum bagi kita untuk kembali pada pangkuan Islam, serta menjadikan akidah Islam dan hukum-hukumnya sebagai tali pengikat sesama Muslim.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.

KOMENTAR:
Tirani Bisa Menyusup di Prosedur Demokrasi (Kompas, 2/10/07)
Jangan aneh, karena minoritas para pemilik modallah yang berkuasa dalam sistem demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar