Rabu, 23 Maret 2011

Jangan Nodai Ramadhan Dengan Propaganda Anti Syariah!


BULETIN AL-ISLAM EDISI 373
Ramadhan adalah bulan sangat istimewa bagi kaum Muslim. Sebab, seperti yang dikhutbahkan oleh Rasulullah saw., pada bulan Ramadhan ini Allah Swt. akan menaungi kaum Muslim dengan segala keagungan-Nya. Pahala amalan sunnah pada bulan ini setara dengan pahala amalan fardhu pada bulan lain. Pahala amalan fardhu sendiri di bulan ini dilipatgandakan. Bahkan di dalamnya terdapat satu malam—yakni Lailatul Qadar—yang lebih baik dari seribu bulan.
Shaum Ramadhan juga merupakan salah satu syiar Islam yang mampu menumbuhkan semangat persatuan seluruh kaum Muslim dari ufuk barat hingga ufuk timur. Kaum Muslim menjadi sadar, bahwa mereka adalah satu umat. Karena itu, pengkotak-kotakan umat dalam bungkus fanatisme golongan/partai/kelompok, kepentingan sesaat, dan penghormatan kepada manusia menjadi pudar oleh semangat Ramadhan yang satu.

Gerakan Menghadang Islam
Karena itu, sejatinya Ramadhan merupakan wadah penyucian diri (tazkiyah an-nafs) bagi kaum Muslim secara serentak di seluruh penjuru dunia. Namun, sayangnya, di bulan yang penuh rahmat ini, ada sekelompok orang yang justru melemparkan wacana yang akan berujung pada upaya pemberangusan Islam. Sebagaimana diberitakan oleh Republika (14/9) tiga fraksi di parlemen—Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, dan Partai Demokrat—berjanji akan terus berjibaku memperjuangkan aturan, bahwa partai politik (parpol) harus berasaskan Pancasila.
Menurut anggota Fraksi PDIP, Ganjar Pranowo, di Jakarta, Kamis (13/9), kalau parpol menggunakan asas Islam, maka ketika menjadi kepala daerah sering lahir peraturan daerah yang bernuansa syariah. Ketua Fraksi Partai Golkar, Priyo Budi Santoso, maupun Wakil Ketua Pansus RUU Parpol, Idrus Marham, ikut menegaskan usulan itu. ”Adanya konflik maupun gerakan separatisme merupakan indikasi pilar-pilar negara rapuh. Jadi, asas parpol adalah Pancasila harus dipertegas,” ungkap Idrus.
Dengan logika mereka, Islam seolah-olah dianggap sebagai pangkal sparatisme. Islam juga mereka tuduh sebagai faktor destruktif yang merusak negeri ini. Padahal, Islam tidak pernah mempunyai kesalahan terhadap negeri ini. Islam tidak pernah memerintah di negeri ini. Lalu, mengapa Islam selalu dituduh dan dicurigai merusak negeri ini?
Mari kita jujur bertanya kepada diri kita, siapakah yang menjual Indosat kepada Singapura? Siapa yang memberikan tambang emas di Irianjaya kepada Freeport? Siapa yang menyerahkan Blok Cepu kepada Exxon Mobil?Siapa yang meloloskan UU Migas, UU SDA dan UU lain yang jelas-jelas menguras kekayaan alam negeri kaya raya ini? Bukankah mereka yang melakukan semuanya itu adalah mereka yang selama ini sok Pancasilais dan Nasionalis? Lalu mengapa ketika semua kesalahan itu mereka perbuat, justru kesalahan urus negeri ini mereka lemparkan kepada Islam, atau pihak lain yang sebenarnya tidak pernah berkuasa?
Karena itu, isu ini sebenarnya merupakan masalah serius bagi kaum Muslim, apalagi disampaikan di bulan Ramadhan, yang seharusnya menjadi momentum bagi semua pihak untuk menghormati Islam dan umat Islam dalam menjalankan syariat agamanya, justru mereka menodainya dengan menuduh Islam seolah-olah menjadi faktor perusak negeri ini. Belum lagi wacana tersebut menjadi tekad tiga fraksi besar di DPR. Dua di antaranya merupakan fraksi pendukung utama Pemerintah, sedangkan yang satunya lagi mendudukkan diri sebagai ’oposisi’. Karenanya, sejumlah hal perlu dicermati:
Pertama: Penyeragaman asas parpol tersebut merupakan kebijakan lama, yang pernah ditempuh oleh Orde Baru, yang intinya ingin menghabisi Islam. Dari pernyataan Ganjar di atas, jelas bahwa gagasan tersebut terkait dengan munculnya beberapa perda yang bernuansa syariah Islam. Ini menunjukkan, bahwa penyeragaman asas parpol akan dijadikan jalan untuk menghadang laju perjuangan penegakan syariah yang kian menggema di berbagai penjuru negeri.
Upaya seperti ini, sebelumnya juga pernah dilakukan oleh anggota Dewan beberapa waktu lalu. Ketika itu, muncul petisi yang ditandatangani oleh 56 anggota DPR untuk menolak perda bernuansa syariah. Petisi itu pun akhirnya kempes, karena terbukti secara konstitusional memang tidak ada permasalahan dengan perda-perda tersebut. Bahkan perda-perda itu terbukti berhasil secara signifikan menurunkan tindak kejahatan dan meningkatkan pendapatan daerah dari pos zakat, infak dan sedekah.
Kelihatannya, mereka sadar, bahwa mereka tidak mampu menghadang penegakan syariah dengan kekuatan intelektual dan politik. Karenanya, mereka berusaha menggunakan tangan besi, dengan membajak negara untuk menyeragamkan asas parpol.
Kedua: Penyeragaman ini juga tidak lepas dari pesanan asing. Setelah umat Islam di Indonesia sukses menyelenggarakan Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta tanggal 12 Agustus 2007, George W. Bush tanggal 28 Agustus 2007 mengeluarkan pernyataan akan memerangi siapa saja yang akan menegakkan syariah dan Khilafah di Timur Tengah. Diikuti dengan pernyataan Bush yang lebih provokatif lagi, pada tanggal 6 September 2007, yang menyerukan kepada seluruh pemimpin Muslim untuk bersama-sama memerangi siapa saja yang hendak menegakkan syariah dan Khilafah. “We should open new chapter in the fight againts enemies of freedom, againts who in the beginning of XXI century call Muslims to restore caliphate and the spread sharia (Kita harus membuka bab baru perang melawan musuh kebebasan, melawan orang-orang yang di permulaan abad ke-21 menyerukan kaum Muslim untuk mengembalikan Khilafah dan menyebarluaskan syariah),” ungkapnya seperti yang dikutip dalam www.demaz.org.
Karena pola yang sama sedang terjadi di Pakistan, Libanon dan negeri-negeri kaum Muslim yang lain, tidak lama setelah Bush mengeluarkan pernyataan tersebut. Dengan kata lain, gagasan penyeragaman ini diwacanakan seolah-olah untuk kepentingan bangsa dan negara, padahal sebenarnya ini merupakan kepentingan asing yang ingin tetap melihat negeri ini carut marut, dan dipimpin oleh para politikus korup yang terus-menerus bisa mereka dekte. Sebab sudah menjadi rahasia umum, banyak UU yang lahir dari DPR ternyata tidak memihak kepada kepentingan rakyat dan negara, tetapi hanya memuaskan kepentingan parpol, bahkan pihak asing. Contoh: rencana renovasi Gedung DPR yang memerlukan biaya sedikitnya Rp 40 miliar yang disinyalir sebagai pemborosan APBN 2008; kandasnya interpelasi dalam kasus luapan lumpur PT Lapindo Brantas di Sidoarjo Jawa Timur; sikap ‘legowo’ para anggota Dewan yang menyerahkan begitu saja pengelolaan kawasan kaya minyak Blok Cepu kepada ExxonMobile; pengesahan sejumlah UU bernuansa liberal seperti UU SDA, UU Migas, UU Penanaman Modal dll yang memberikan keleluasan kepada para kapitalis asing untuk menguras sumberdaya alam negeri ini.
Namun, mereka lupa, bahwa masyarakat, khususnya umat Islam saat ini tidaklah sebodoh yang mereka bayangkan. Lihatlah, hasil Lembaga Survei Indonesia pada Mei 2007 tentang representasi aspirasi, ada sekitar 65% aspirasi pemilih yang dipersepsikan tidak terwakili oleh sikap dan perilaku tujuh partai politik besar. Dalam proporsi yang kurang lebih sama, pemilih merasa bahwa partai politik sejauh ini lebih banyak melakukan tindakan yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu, dan hanya menguntungkan para pemimpin partai, bukan pemilih pada umumnya. Lalu pada survei Juli 2007 ditemukan bahwa di kalangan mereka yang berpendidikan perguruan tinggi, 80,2% mendukung gagasan adanya calon independen. Semua ini menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol, yang sering bersembunyi di balik jargon Nasionalisme dan kepentingan bangsa, padahal sejatinya untuk kepentingan mereka sendiri.

Shaum, Syariah dan Khalifah adalah Benteng
Rasulullah saw. bersabda:
اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ فَمَنْ اَصْبَحَ صَائِمًا فَلاَ يَجْهَلُ يَوْمَئِذٍ
Shaum adalah benteng dari api neraka. Karena itu, siapa saja yang berpuasa, janganlah hari itu berlaku jahil (melakukan perbuatan jahiliyah) (HR an-Nasa’i).
Imam as-Suyuthi di dalam kitab Syarah Sunan an-Nasa’i memaknai hadis tersebut dengan menyatakan, ”Janganlah ia melakukan perbuatan-perbuatan orang jahil.” Di antara sikap orang jahil adalah ketika disuruh mengimani Allah dan syariah-Nya, mereka menolak dan menganggap orang-orang yang menaati-Nya sebagai orang bodoh (sufahâ’). Padahal kata Allah, merekalah yang bodoh itu (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 13). Jadi, jelaslah shaum merupakan benteng bagi kaum Mukmin.
Namun, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tidak cukup hanya shaum yang menjadi benteng. Rasulullah saw. menyatakan bahwa perlu ada benteng lain. Itulah Imam/Khalifah yang menerapkan Islam. Beliau bersabda:
‏إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ ‏ ‏يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
Sesungguhnya Imam/Khalifah itu adalah benteng, tempat umat berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. Jika ia memerintahkan ketakwaam kepada Allah ’Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya pahala. Jika ia memerintahkan selainnya, ia celaka. (HR Muslim).
Jelas, Rasulullah saw. menjelaskan bahwa pemimpin dan pejabat semestinya justru menjalankan syariah Islam, bukan malah anti syariah. Jika tidak, wajar belaka jika umat kehilangan benteng. Muaranya, mereka dijadikan rebutan oleh pihak asing imperialis bersama para koleganya dari putra-putri Islam sendiri.
Karena itu, upaya penegakan syariah secara kâffah dalam naungan Khilafah Islamiyah semestinya menemukan momentumnya pada bulan Ramadhan. Dengan itulah umat mempunyai benteng. Dengan benteng itulah umat secara pribadi terjaga serta secara kolektif maju, makmur dan terbebas dari penjajahan Kapitalisme global. Sebaliknya, sikap anti-syariah dengan berbagai bentuknya merupakan pengingkaran terhadap Allah sekaligus penodaan terhadap kesucian dan kemuliaan bulan Ramadhan.Na‘ûdzu billâh min dzâlik. []
KOMENTAR:
Menag Maftuh Basyuni: Umat Islam tak perlu takut menggunakan label Islam. (Republika, 17/09/07)
Bukan hanya label, tapi juga syariah-Nya. Tunjukkan bahwa kita adalah Muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar