Rabu, 23 Maret 2011

Kezaliman Di Balik Derita Korban Lumpur Lapindo


[BULETIN AL-ISLAM EDISI 394]
Sudah hampir dua tahun kondisi warga yang menjadi korban banjir lumpur Lapindo di Sidoarjo semakin terjepit, sementara kebijakan Pemerintah maupun DPR cenderung berpihak kepada Lapindo Brantas Inc. Sebagaimana dilaporkan Republika (17/2), Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS)-DPR RI sepakat menyatakan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo merupakan bencana alam atau biasa disebut dengan gunung lumpur (mud vulcano), dan bukan akibat kelalaian Lapindo.
Kesimpulan ini bertolak belakang dengan kesimpulan pengadilan dan pakar pertambangan dari perguruan tinggi ternama di Indonesia maupun di luar negeri. Menurut Walhi (www.walhi.or.id, 19/2), Kersam Sumanta, mantan Direktorat Eksplorasi dan Produksi BPPKA-Pertamina yang juga mantan anggota Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo, menyatakan bahwa ada unsur kekeliruan manusia yang menyimpang dari standar operasional teknik pengeboran hingga mengakibatkan terjadinya semburan. Mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Andang Bachtiar, Senin (18/2) di Malang, juga menegaskan bahwa semburan lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, adalah akibat kelalaian Lapindo Brantas Inc. Ia menolak peristiwa itu disebut sebagai bencana alam.
Kesimpulan TP2LS–DPR RI tersebut jelas akan semakin ‘mengamankan’ tanggung jawab Lapindo.

Kezaliman Luar Biasa
Sejak pertama kali meluap, 29 Mei 2006, banjir Lapindo telah menimbulkan kerusakan yang sangat parah. Menurut berbagai sumber data di lapangan, sampai saat ini jumlah bangunan yang terendam meliputi 10.426 tempat tinggal, 33 sekolah, dan 31 pabrik. Lahan sawah yang diperuntukkan tebu yang terendam mencapai 64,02 ha dan sawah untuk tanaman padi yang terendam mencapai 482,65 ha. Banjir lumpur ini telah mengakibatkan ratusan ribu warga kehilangan mata pencahariannya dan ketidakjelasan nasibnya.
Anehnya, penanganan terhadap hal tersebut, baik dari Pemerintah maupun DPR, cenderung mengabaikan kepentingan korban. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kebijakan berikut: Pertama, penanganan Pemerintah terhadap korban lumpur Lapindo diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Perpres ini lebih berpihak kepada Lapindo. Misalnya, Perpres ini telah membatasi kewajiban Lapindo hanya mencakup Peta Terdampak sesuai dengan kondisi pada tahun 2007. Padahal areal yang terendam banjir lumpur tersebut terus meluas hingga saat ini. Akibatnya, berdasarkan Perpres ini, Lapindo hanya bertanggung jawab terhadap sekitar 22.301 jiwa dari 4 desa/kelurahan yang termasuk dalam Peta Terdampak. Adapun lebih dari 40 ribu jiwa yang lahan dan tempat tinggalnya terendam lumpur dianggap di luar tanggung jawab Lapindo karena berada di luar areal Peta Terdampak.
Perpres tersebut juga telah menetapkan pembayaran ganti rugi melalui mekanisme jual-beli kepada korban dilakukan secara bertahap, yaitu sebesar 20% dibayarkan di muka dan sisanya yang 80% akan dibayarkan kurang lebih setelah dua tahun. Sampai saat ini masih belum jelas pembayaran sisanya tersebut. Perpres itu juga telah mengubah kewajiban Lapindo memberikan ganti rugi kepada korban menjadi masalah keperdataan jual-beli tanah dengan harga yang sudah ditentukan oleh Lapindo.
Warga korban pada Januari 2008 telah mengajukan uji material Perpres No. 14 Tahun 2007 tersebut kepada Mahkamah Agung (MA). Intinya, mereka meminta Perpres itu dibatalkan karena pembayaran ganti rugi yang diberikan kepada para korban menggunakan proses jual-beli secara tidak tunai. Cara tersebut dinilai sama sekali tidak mendahulukan kepentingan para korban dan justru menguntungkan Lapindo. NamunMA sejalan dengan Pemerintah dalam menjaga kepentingan Lapindo; MA menolak pengajuan tersebut.
Kedua, pihak DPR yang seharusnya menjadi pembela rakyat yang menjadi korban tersebut juga tidak bisa diharapkan. Sejak awal tahun 2007 DPR telah mengancam akan melakukan hak interpelasi kepada Pemerintah terkait dengan pola penanganan lumpur Lapindo. Namun, hingga saat ini isu interpelasi itu faktanya hanya menjadi ‘jualan’ politik, tidak benar-benar untuk membela kepentingan rakyat. Buktinya, minggu lalu TP2LS-DPR RI menyatakan bahwa semburan lumpur tersebut dianggap sebagai akibat bencana alam, bukan karena kelalaian Lapindo.
Kelihatannya TP2LS yang dibentuk oleh DPR tersebut memang ‘bekerja’ untuk Lapindo, bukan untuk menolong rakyat lemah yang menjadi korban. Buktinya, laporan TP2LS ini sama persis dengan iklan yang diterbitkan oleh Lapindo Brantas Inc. di berbagai media massa. Dalam iklan bertajuk, “Meneropong Bencana Lumpur di Sidoarjo” (Republika, 27/11/2007), Lapindo Brantas Inc. mencoba mencari-cari keterkaitan antara gempaYogyakarta dan awal munculnya semburan lumpur panas. Dengan meminjam pernyataan dari beberapa pakar perguruan tinggi, Lapindo Brantas Inc. menyebut semburan lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo adalah proses dari apa yang dinamakan mud vulcano.
Kesimpulan TP2LS–DPR memang wajar senada dengan iklan Lapindo Brantas Inc. tersebut. Sebab, dalam TP2LS itu DPR mengirim dua orang ahli yang berasal dari pihak Lapindo. Kedua ahli tersebut jelas akan mengatakan bahwa itu merupakan peristiwa alam yang bukan disebabkan karena salah pengeboran. Padahal seorang ilmuwan dari Jepang, Prof. Mori, menunjukkan bahwa posisi lumpur Lapindo di Sidoarjo ternyata berada jauh di luar pusat gempa yang terjadi di Yogyakarta. Intinya, getaran yang sampai ke Sidoarjo tidak cukup kuat untuk dapat menimbulkan aktivitas gunung api lumpur. Anehnya, TP2LS–DPR hanya mengambil pendapat dari sejumlah pakar yang sependapat bahwa semburan lumpur Lapindo adalah bencana alam, dan cenderung mengabaikan pendapat pakar lain yang menyatakan sebaliknya.
Inilah fakta betapa Pemerintah dan DPR sebenarnya memang berpihak kepada Lapindo Brantas Inc. daripada mempedulikan penderitaan massal yang menimpa rakyat yang menjadi korban itu. Tentu ini semakin menguatkan dugaan bahwa politik dan ekonomi yang berjalan saat ini sebenarnya dikendalikan oleh para kapitalis pemilik modal. Adapun pihak Pemerintah, DPR dan bahkan Lembaga Peradilan lebih berfungsi sebagai penguat kepentingan para kapitalis tersebut. Ini jelas sebuah kezaliman yang luar biasa.

Sistem Islam Menghapus Kezaliman
Secara fitrah, setiap manusia mendambakan keadilan dan membenci kezaliman. Karena itu, Islam sangat tegas mengharamkan tindakan zalim, khususnya kezaliman penguasa yang telah mengemban amanat untuk melindungi dan mengayomi rakyatnya. Secara khusus Rasulullah telah berdoa kepada Allah SWT agar membalas para penguasa yang berlaku zalim terhadap rakyatnya:
الَلَّهُمَّ مَنْ وُلِّيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِيْ شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ
“Ya Allah, siapa saja yang telah diangkat untuk mengurus urusan umatku, kemudian dia mempersulitnya, maka persulitlah dia. ” (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim, ketika menjelaskan hadis ini, mengatakan, doa Rasul saw. ini merupakan larangan yang paling hebat atas tindakan menimpakan kesulitan terhadap rakyat. Doa ini sekaligus merupakan dorongan yang paling besar kepada penguasa agar selalu bersikap lembut dan adil kepada mereka. Banyak hadis yang menyatakan hal serupa.
Berbagai kezaliman yang menimpa rakyat dalam aspek ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dan sebagainya saat ini pada dasarnya bukan sekadar karena tindakan individual penguasa, namun lebih karena sistem Kapitalisme-sekular yang memang berkarakter zalim, yang saat ini diterapkan. Artinya, kezaliman yang dirasakan rakyat lebih karena kezaliman sistem, bukan sekadar kezaliman individual penguasa. Karena itu, siapapun yang menjadi penguasa dalam sistem yang zalim seperti ini pasti akan bertindak zalim.
Allah SWT telah mengaitkan kezaliman dengan hukum (sistem) yang dipakai oleh penguasa dalam memerintah rakyatnya. Allah SWT, misalnya, berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Siapa saja yang tidak memutuskan perkara menurut apa (wahyu) yang Allah turunkan, mereka itu adalah orang-orang zalim. (QS al-Maidah [5]: 45).
Pada surah yang sama (al-Maidah) ayat 44 dan 47, Allah SWT juga memvonis kafir dan fasik jika penguasa tidak memutuskan perkara menurut wahyu Allah. Menurut Ikrimah, ayat tersebut mengandung pengertian bahwa siapa saja yang berhukum dengan selain hukum Allah dengan penuh kesadaran adalah kafir. Namun, jika ia tetap mengakui hukum Allah tetapi dalam praktiknya ia tidak melaksanakannya, ia terkategori zalim dan fasik (Lihat: Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, I/210).
Jadi, ketidakadilan yang dirasakan masyarakat saat ini, termasuk para korban banjir Lapindo, sesungguhnya merupakan dampak dari kezalimansistem kapitalis-sekular yang diterapkan di negeri ini; sekaligus akibat ditinggalkannya sistem hukum Islam yang adil yang telah Allah turunkan.
Karena itu, sudah saatnya kita membuang sistem Kapitalisme-sekular dari kancah kehidupan. Agenda umat Islam ke depan adalah membangun tegaknya sistem hukum Islam, yang pasti menjamin keadilan karena datang dari Zat Yang Mahaadil.
Tegaknya sistem Islam merupakan satu-satunya jalan untuk menghapus kezaliman sistem kapitalis-sekular yang terbukti menyengsarakan umat manusia di berbagai belahan bumi. Hanya dengan itulah keadilan dan kemakmuran akan dapat diraih. Allah SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50). []
KOMENTAR AL-ISLAM:
Asing Minta Lindungi Ahmadiyah (Republika, 26/2/2008).
Tidak lain untuk merusak akidah dan memecah-belah umat Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar