Rabu, 23 Maret 2011

Berkorban Demi Tegaknya Syariah dan Khilafah


[BULETIN AL-ISLAM EDISI 383]
Setiap Hari Raya Idul Adha, kita selalu diingatkan dengan kisah tentang ketaatan Nabi Ibrahim as. dan putranya, Nabi Ismail as., dalam menjalankan perintah Allah Swt. Ketika Nabi Ibrahim as. diperintahkan untuk menyembelih putranya, keduanya segera bergegas melaksanakan perintah-Nya. Tak tampak sama sekali keraguan, apalagi keengganan atau penolakan. Keduanya dengan ikhlas menunaikan perintah-Nya, meski harus mengurbankan sesuatu yang paling dicintainya. Ibrahim as. rela kehilangan putranya. Ismail as. pun tak keberatan kehilangan nyawanya. Peristiwa agung ini diabadikan dalam al-Quran agar menjadi teladan bagi manusia sepanjang masa. Allah Swt. berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Karena itu, pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Ayah, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS ash-Shaffat [37]: 102).
Pengorbanan yang luar biasa itu pun membuahkan hasil. Tatkala ketaatan mereka telah terbukti, perintah penyembelihan itu pun dibatalkan. Sebagai gantinya, Allah Swt. menebusnya dengan sembelihan hewan, karena mereka telah lulus dari al-balâ’ al-mubîn (ujian yang nyata). Mereka pun mendapatkan balasan yang besar (QS: Shaffat [37]: 103-107).
Ketundukan, pengorbanan, dan keberhasilan mereka seharusnya menjadi teladan bagi kita. Sebagaimana Nabi Ibrahim as., kita pun menerima berbagai kewajiban dari Allah yang harus dikerjakan. Bagi kita, kewajiban itu juga al-balâ’ al-mubîn (ujian yang nyata). Siapapun yang bersedia tunduk dan patuh menjalankan kewajiban itu, ia selamat dan sukses. Sebaliknya, mereka yang membangkang-Nya akan gagal dan celaka.
Di antara kewajiban itu adalah menerapkan syariah-Nya dalam kehidupan. Allah Swt. berfirman:
وَأَنِ ٱحْكُم بَيْنَهُمْ بِمَآ أَنزَلَ ٱللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ وَٱحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَآ أَنزَلَ ٱللهُ إِلَيْكَ
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian perkara yang telah Allah turunkan kepadamu. (QS al-Maidah [5]: 49).
Seruan yang senada dengan ayat ini juga bertebaran dalam banyak ayat lain, demikian pula dalam al-Hadits. Kewajiban tersebut kian tegas dengan adanya larangan bagi setiap Mukmin untuk mengambil dan menerapkan hukum lain yang tidak berasal dari-Nya. Jika kita tetap bersikukuh menjalankan hukum selain syariah-Nya maka kita bisa terkategori kafir, zalim, atau fasik (QS al-Maidah [5]: 44, 45, dan 47).
Syariah yang diwajibkan atas kita itu bersifat total dan menyeluruh, baik menyangkut interaksi manusia dengan Sang Pencipta (berupa hukum-hukum ibadah); interaksi manusia dengan dirinya sendiri (berupa hukum-hukum makanan, pakaian, dan akhlak); maupun interaksi antar sesama manusia (berupa hukum-hukum muamalah yang meliputi sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pergaulan, strategi pendidikan, politik luar negeri, dan ‘uqûbât yang memberikan ketentuan mengenai sanksi-sanksi terhadap setiap pelaku kriminal).
Keseluruhan syariah itu wajib kita terapkan; tidak boleh ada yang diabaikan, ditelantarkan, apalagi didustakan. Tindakan mengimani sebagian syariah dan mengingkari sebagian lainnya hanya akan mengantarkan pelakunya pada kehinaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat (QS al-Baqarah [2]: 85).
Di antara hukum-hukum itu memang ada yang dibebankan kepada individu seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya. Demikian juga hukum tentang makanan, pakaian, akhlak, dan sebagian hukum muamalah. Namun, ada hukum yang dibebankan kepada negara. Di antaranya adalah hukum yang berkenaan dengan sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pergaulan, strategi pendidikan, dan politik luar negeri; juga hukum tentang sanksi terhadap pelaku kriminal. Semua hukum itu harus dijalankan oleh negara.
Berdasarkan fakta itu, maka keberadaan negara yang menjalankan syariah menjadi wajib. Sebab, tanpa adanya negara (dawlah), niscaya terdapat sebagian besar hukum Allah yang terlantar. Dalam kaidah ushul fikih dinyatakan:
مَا لاَ يَتِمُ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِِِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Suatu perkara yang menyebabkan suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya maka perkara itu wajib ada.
Telah maklum, setelah Khilafah Utsmaniyah runtuh tahun 1924, tidak ada institusi yang bertanggung untuk menerapkan syariah secara total. Akibatnya, sebagian besar syariah itu pun terbengkalai.
Inilah problem besar yang dialami umat Islam saat ini. Lenyapnya Khilafah telah mengakibatkan sebagian besar syariah terlantar. Tidak hanya itu. Tiadanya Khilafah juga membuat umat Islam terpecah-belah menjadi lima puluhan negara. Tidak ada lagi institusi tangguh yang memelihara akidah mereka; menjaga darah, harta, dan kehormatan mereka; serta melindungi wilayah mereka dari serbuan negara-negara kafir penjajah.
Sesungguhnya dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah demikian jelas. Aneka problem akibat tiadanya Khilafah juga terlihat nyata. Namun, masih saja ada di antara umat Islam yang enggan untuk berjuang untuk menegakkan Khilafah. Ada yang pesimis terhadap Khilafah. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai utopia.
Tentu itu adalah sikap yang amat keliru. Tegaknya syariah dan Khilafah sama sekali bukan mustahil. Sebab, syariah dan Khilafah adalah kewajiban yang telah Allah bebankan kepada hamba-Nya. Tidak mungkin Allah mewajibkan suatu perkara kepada hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Namun demikian, memang untuk mewujudkannya diperlukan perjuangan dan pengorbanan. Di sinilah keimanan dan ketaatan kita justru diuji. Apakah kita termasuk orang yang rela berkorban untuk menjalankan perintah-Nya atau orang yang enggan berjuang sambil mencari dalih pembenar.
Sejak dakwah digulirkan Rasulullah saw. hingga berdiri sebuah negara di Madinah, Beliau memerlukan waktu sekitar 13 tahun. Selama itu pula Beliau tak mengenal lelah untuk menyampaikan dakwah. Demikian juga para Sahabat. Dalam berdakwah, mereka juga kerap menerima berbagai ujian, fitnah, dan tekanan, baik fisik maupun mental. Namun, itu tak pernah membuat mereka surut dan gentar. Mereka tetap tegar menyerukan kebenaran Islam.
Abu Dzarr al-Ghifari, misalnya, ketika mendakwahi kaum Quraisy, dipukuli hingga pingsan. Abdullah bin Mas’ud juga dikeroyok beramai-ramai oleh kafir Quraisy ketika membacakan al-Quran di tengah kerumunan massa. Perlakuan yang sama juga diterima oleh para Sahabat yang lain. Bahkan tidak sedikit Sahabat yang gugur dalam berjuang, seperti Yasir dan istrinya.
Dalam berdakwah, Rasulullah saw. tak jarang juga menerima hinaan dan cercaan. Punggung dan tempat sujud Beliau pernah dilempari kotoran unta. Ketika menyampaikan dakwah di Thaif, Beliau dilempari batu hingga berdarah-darah. Namun, semua itu tak pernah membuat Beliau mundur dan berhenti berjuang.
Kegigihan dan pengorbanan Rasul saw. dan para Sahabat dalam berjuang ternyata menuai hasil. Allah Swt. mengganjar mereka dengan pahala, surga, dan ridha-Nya. Mereka pun mendapat anugerah kemenangan di dunia, yakni tegaknya Daulah Islamiyah di Madinah. Dari sanalah kemudian Islam menyebar ke seantero dunia. Kemuliaannya menerangi kehidupan sehingga dalam waktu singkat manusia berbondong-bondong memasuki agama Islam (Lihat: QS an-Nashr [110]: 1-3).
Ketundukan kepada Allah Swt. dan ketaatan menjalankan perintah-Nya memang membutuhkan pengorbanan, baik waktu, tenaga, harta, bahkan jiwa. Akan tetapi, kita tidak perlu khawatir. Pengorbanan itu pasti akan membuahkan hasil. Allah akan memberikan pertolongan-Nya jika kita bersungguh-sungguh menolong agama-Nya (Lihat: QS Muhammad [47]: 7).
Pertolongan sesunguhnya hanya di tangan Allah; tidak akan datang kecuali dari-Nya (QS Ali Imran [3]: 126, al-Mulk [67]: 20, al-Kahfi [18]: 43). Siapa saja yang ditolong Allah, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengalahkannya. Sebaliknya, jika Allah menghinakannya, tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya. (QS Ali Imran [3]: 160).
Khilafah akan segera kembali, insya Allah dalam waktu dekat. Semua upaya yang dikerahkan orang-orang kafir dan antek-anteknya untuk menghalangi tegaknya Khilafah akan gagal dan sia-sia. Sebab, tegaknya Khilafah telah menjadi janji Allah dan Rasul-Nya. Semoga kita termasuk orang-orang yang dipilih Allah untuk mewujudkan janji-Nya. Allah Swt. berfirman:
وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah mejadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka.(QS an-Nur [24]: 55).
Rasulullah saw. juga menegaskan:
ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
Kemudian akan datang Khilafah yang mengikuti manhaj Kenabian (HR Ahmad). []
(Disarikan dari Naskah Khutbah Idul Adha 1428 H yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia).
Komentar:
Karen Armstrong: Islamofobia Sudah Dipupuk Sejak Masa Perang Salib (Eramuslim.com, 11/12/07).
Kebencian kaum kafir (Yahudi dan Nasrani) terhadap Islam sesungguhnya sudah Allah kabarkan sejak lebih dari 14 abad lalu (Lihat: QS 2: 120).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar