Senin, 21 Maret 2011

Budayakan Muraqabah, Segera Tegakkan Syariah!


BULETIN AL-ISLAM EDISI 357
Diakui atau tidak, berbagai penyimpangan dan kemaksiatan makin banyak dilakukan oleh kaum Muslim saat ini, baik di kalangan masyarakat umum maupun pejabat pemerintah/penguasa. Semua itu mereka lalukan seolah-olah Allah SWT tidak melihatnya.
Di tengah-tengah masyarakat, hidup bebas tanpa aturan sudah menjadi gejala umum. Sikap individualis, hedonis (sekadar mencari kesenangan) dan permissif (bebas) kian melekat dalam perilaku keseharian. Standar halal dan haram makin tergerus dalam berbagai aspek kehidupan. Di bidang ekonomi, misalnya, orang hanya berpikir bagaimana meraih untung, tidak peduli dengan cara apa. Pemalsuan produk, pembalakan hutan, pengoplosan BBM sampai penggunaan bahan-bahan campuran yang haram akhirnya dilakukan demi meraup untung. Semua itu mereka lakukan seolah-olah Allah tak melihatnya.
Dunia pendidikan juga dipenuhi segudang masalah. Di antaranya: akhlak peserta didik yang kian menipis dan tak sedikit pula anak sekolah/remaja yang terjerembab dalam kehidupan seks bebas. RCTI (25/5/2007) mewartakan, seks bebas di kota-kota besar sudah melampau batas. Seks bebas di kalangan remaja Makasar di SMP sudah mencapai 40–50 persen, di kalangan SMA 60–90 persen, dan di tingkat mahasiswa sudah mencapai angka 90 pesen. Sementara itu, lebih dari 2 juta remaja kita telah terperosok ke dunia hitam narkoba.
Adapun di tingkat elit pejabat/penguasa, termasuk wakil rakyat, gejala tak peduli terhadap aturan-aturan Allah dan abai terhadap batasan halal-haram semakin terang-terangan. Birokrasi di negeri ini sudah biasa dipenuhi dengan budaya sogok-menyogok. Tanpa “uang pelicin” perkara mudah menjadi sulit dan rumit. Korupsi pun dilakukan secara ‘berjamaah’. Setiap instansi seolah punya “kerajaan” dan “kekuasaan” tersendiri sehingga legal untuk melakukan berbagai pungutan. Tidak kurang dari 1.366 Perda tentang pajak dan retribusi (pungutan) tidak dilaporkan ke Depkeu, yang akhirnya menyebabkan ekonomi biaya tinggi (Kompas, 22/5/07).
Kebijakan-kebijakan politik penguasa dan wakil rakyat pun semakin tidak berpihak kepada rakyat. Pemerintah dan DPR, yang sejatinya menjadi wakil rakyat, rela meloloskan berbagai undang-undang yang justru menyengsarakan rakyat. UU SDA, UU Energi dan terakhir UU Penanaman Modal hanyalah di antara sekian UU yang diduga hanya akan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pihak asing untuk menguasai berbagai sumber kekayaan milik rakyat. Bahkan kerjasama pertahanan antaraPemerintah RI dan Singapura pun diduga hanya merugikan kedaulatanIndonesia dan menjadi ancaman bagi keutuhan negeri ini. Singkatnya, para pengkhianat dan komprador asing dari kalangan elit ini semakin tak terkendali.
Sementara itu, peran partai politik tidak banyak diharapkan. Kepentingan kelompok dan golongan masih mendominasi. Perebutan jabatan dan kursi masih menjadi arus utama perjuangan partai dan para aktivisnya. Saat mereka dirundung persoalan, seperti tuduhan menerima dana kampanye, mereka segera berkelit dan dengan keras membantahnya. Lalu perseteruan tokoh politik dan penguasa di seputar dana DKP dan dana asing dalam Pemilu 2004 pun, yang sempat mencuat akhir-akhir ini, berakhir dengan sebuah antiklimaks; seolah-olah selesai hanya dengan kompromi kedua belah pihak. Pendekatan politik dipisahkan dari pendekatan hukum dalam mengatasi perseteruan tersebut. Ini semakin menunjukkan bahwa politik seolah-olah melulu berkaitan dengan bagaimana meraih dan mempertahankan kekuasaan dan pengaruh; bukan ditujukan untuk melayani kepentingan rakyat. Akibatnya, ketika kompromi politik di kalangan elit terjadi, masalah seolah dianggap selesai; padahal masalah yang dihadapi rakyat (seperti kemiskinan, pengangguran, kebodohan, ketidakadilan dll) tidak pernah tersentuh, apalagi terpecahkan.
Kalaulah nanti pendekatan hukum yang dipakai, ini pun tidak terlalu bisa diharapkan. Sudah bukan rahasia umum bahwa hukum dan peradilan sekular di negeri ini selalu gagal dalam mengadili kasus-kasus yang melibatkan para pejabat atau penguasa. Karena itu, pengusutan kasus dana dari DKP dan pihak asing kepada para capres dan cawapres pada Pemilu 2004 akan sulit dilakukan, sebagaimana sulitnya memberantas kasus-kasus korupsi para pejabat/penguasa selama ini. Di samping karena sistem hukum dan peradilannya bobrok, moralitas para aparat penegak hukumnya pun runtuh. Jaksa Agung Hendarman Supandji hari Jumat (25/5) di Jakarta mengungkapkan, “Jaksa-jaksa di DKI paling tinggi melakukan pelanggaran.” Ada 166 jumlah laporan jaksa nakal se-Indonesia hanya dalam jangka waktu Januari-Maret saja (Republika, 26/05/07). Sekali lagi, semua itu mereka lakukan seolah-olah Allah SWT tidak melihatnya.
Budayakan Sikap Murâqabah
Jelas, ada suatu yang salah dari keberislaman umat di negeri ini. Dalam hal ini, sikap murâqabah (selalu merasa dekat dan diawasi Allah), sebagai konsekuensi keimanan seorang Muslim, seolah tidak tampak dalam kehidupan kaum Muslim saat ini.
Mungkin dari kita hari ini sudah lupa tentang ihsân yang telah berabad-abad diajarkan Baginda Rasul saw. Diriwayatkan, ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasul—yang ternyata adalah Malaikat Jibril—tentangihsân. Laki-laki itu bertanya kepada Rasul, “Ceritakanlah kepadaku tentangihsân.” Rasulullah saw. menjawab, “Hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kita juga mungkin lalai bahwa segala gerak lahiriah dan batiniah kita akan dimintai tanggung jawabnya oleh Allah SWT di akhirat kelak. Allah SWT berfirman:
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلئَِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban. (QS al-Isra’ [17]: 36).
Sabda Nabi saw. dan firman Allah SWT di atas seharusnya menjadikan setiap Muslim, rakyat biasa ataupun pejabat/penguasa, di mana pun dan kapan pun berada, harus memiliki kesadaran bahwa dia selalu diawasi oleh Allah SWT. Allah tidak pernah lengah terhadap segala apa yang kita perbuat. Singkatnya, sikap murâqabah harus membudaya.
Sikap dan budaya murâqabah ini tidak akan muncul jika tidak didorong oleh keyakinan dan keimanan yang kuat dan produktif. Keimanan semacam ini didapat melalui proses berpikir yang mendalam, bukan karena faktor pewarisan. Terdapat ratusan ayat bertemakan keimanan yang senantiasa dikaitkan dengan proses berpikir. Banyak ayat al-Quran sering mengambil tema tentang lingkungan, kehidupan, alam semesta, dan apa saja yang ada pada diri manusia untuk menuntun dan mengajak manusia berpikir, yang mengarahkan pada keimanan yang hakiki. Imam Syafii pernah menyatakan, “Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk makrifat kepada Allah…Hal ini merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin.”
Dengan proses berpikir yang mendalam inilah akan muncul sebuah keimanan yang kokoh dan produktif. Keimanan yang demikian akan menjadi landasan bagi ketundukan dan kepatuhan hawa nafsu seorang Muslim terhadap syariah Allah SWT. Dengan begitu, seorang Muslim, dengan penuh kesadaran, sekuat tenaga selalu berusaha menyelaraskan segala aktivitasnya dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Lebih dari itu, Islam tidak pernah membiarkan seseorang yang mengaku beriman tanpa ada kejelasan tolok ukur dalam perbuatannya. Baginda Nabi saw. menjuluki orang yang tidak bisa mencegah kemungkaran dengan kekuatan fisik dan lisan sebagai orang yang lemah iman (adh‘af al-imân). Lalu bagaimana kadar keimanan orang yang jelas-jelas menganjurkan kemungkaran dengan menerapkan hukum-hukum asing di negeri ini? Bagaimana tingkat keimanan seorang yang mencabik-cabik hati dan perasaan kaum Muslim dengan menyetujui Resolusi PBB No 1747 yang menghukum Iran? Adakah masih tersisa keimanan seorang Muslim yang menjual harta dan kekayaan umat kepada asing melalui berbagai UU yang mereka sahkan?
Budaya Murâqabah Harus Disertai dengan Penerapan Syariah
Mewujudkan sikap dan budaya murâqabah (selalu merasa diawasi Allah SWT) dalam kehidupan bukanlah perkara mudah. Peran bersama individu, kontrol masyarakat dan penegakkan hukum Islam oleh negara mutlak diperlukan.
Secara individual, agar kesadaran individu terwujud diperlukan adanya upaya pendidikan dan pembinaan serius yang berkesinambungan dengan berbagai cara dengan wasilah yang beragam. Pembinaan yang dilakukan harusnya memiliki karakter mendasar dengan proses berpikir yang jernih. Dengan begitu, keimanan yang mendalam bisa ditanamkan. Dengan itu pula seorang Muslim akan selalu terdorong untuk terikat dengan seluruh aturan Allah SWT.
Namun demikian, karena karakter manusia yang mudah berubah, hawa nafsunya pun sering cenderung memerintahkan kejahatan, maka jelas diperlukan kontrol dari sesama Muslim atau masyarakat. (Lihat: QS Ali Imran [3]: 104).
Yang lebih penting dari sekadar peran individu dan kontrol masyakat, tentu saja adalah penegakan hukum oleh negara (pemerintah/penguasa). Hukum yang dimaksud tentu adalah hukum Allah, bukan hukum sekular buatan manusia yang terbukti lemah dan tidak bisa diharapkan dalam mengadili manusia sekaligus mengatasi berbagai persoalan mereka. Di sinilah penting dan wajibnya negara menerapkan syariah Islam. Hanya syariah Islamlah, yang notabene merupakan hukum Allah, yang bisa menyelesaikan seluruh persoalan manusia, karena memang bersumber dari Pencipta manusia.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya dibandingkan dengan Allah bagi kaum yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Murâqabah tanpa kontrol masyarakat dan penegakkan syariah oleh negara hanya akan seperti upaya tambal-sulam; tentu tidak akan bisa diharapkan dapat mengatasi segala penyimpangan dan pelanggaran terhadap syariah-Nya.
Karena itu, masihkan kita berpangku tangan dan belum tergerak untuk segera menerapkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan?!
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ[
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya jika dia menyeru kalian pada sesuatu yang bakal memberikan kehidupan bagi kalian (QS al-Anfal [8]: 24). []
Komentar Al-Islam:
Presiden SBY: Umat Islam terlihat lemah karena dianggap lemah (Republika, 29/5/07).
Umat Islam lemah karena pemimpinnya juga lemah, mudah tunduk pada kekuatan asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar