Rabu, 23 Maret 2011

RESOLUSI 1860: BUKTI NYATA PENGECUTNYAPARA PENGUASA NEGERI ISLAM


بسم الله الرحمن الرحيم

RESOLUSI 1860: BUKTI NYATA PENGECUTNYA PARA PENGUASA NEGERI ISLAM

Mereka Tidak Hanya Menghinakan Gaza dengan Tentara Mereka, Justru Gaza Mereka Serahkan kepada Yahudi Melalui Resolusi PBB

[Al-Islam 438] Pagi hari ini, Resolusi DK PBB No. 1860 tentang serangan biadab terhadap Jalur Gaza telah dikeluarkan. Dalam redaksinya telah digunakan kelihaian politik yang busuk, yang sebelumnya telah digunakan dalam Resolusi PBB No. 242, setelah serangan tahun 1967 M. Pada saat itu dinyatakan, “Harus menarik diri dari tanah…,” padahal seharusnya, “Menarik diri dari seluruh tanah.” Tujuannya agar tetap menyisakan ruang bagi negara Yahudi untuk menduduki wilayah yang dikehendakinya!
Begitulah Resolusi ini, yang tidak secara tegas menyatakan, “Harus menarik diri dari Gaza…,” tetapi hanya menyatakan, “Harus menghentikan pertempuran (gencatan senjata),” yang berujung pada penarikan diri. Akan tetapi, kapan dan bagaimana itu bisa terjadi? Bagaimana pula dengan Resolusi yang sengaja masih diliputi kekaburan untuk menghentikan serangan Yahudi, karena Yahudi tetap tidak akan menghentikan serangan meski sudah ada sejumlah resolusi yang jauh lebih keras dan tegas?!
Sesungguhnya sejumlah Resolusi DK PBB tidak pernah bisa menyelesaikan masalah, bahkan sudah sangat banyak resolusi-resolusi seperti ini yang tidak dilaksanakan oleh negara Yahudi…Namun, AS dan sekutunya tetap saja menolak dikeluarkannya resolusi apapun dari DK PBB. Semuanya itu agar bisa memberikan kemudahan yang cukup bagi negara Yahudi untuk menumpahkan darah dalam serangan biadabnya terhadap Gaza hingga negara Yahudi itu bisa mewujudkan tujuannya.
Karena mengikuti dan membebek kepada AS, para penguasa negeri Muslim pun benar-benar patuh pada kemauan AS, dengan senang atau terpaksa, sehingga mereka pun tidak kompak, berselisih satu sama lain, dan tidak ada kata sepakat…
Namun, setelah negara Yahudi menyaksikan perlawanan dahsyat yang harus dihadapi, dan tampak bahwa dengan operasi militernya itu negara Yahudi tidak mampu mewujudkan apa yang ditargetkan—sehingga boleh jadi masalahnya berlarut-larut, sementara pemilihan umum mereka sudah di depan mata dan mereka pun membutuhkan kondisi “kemenangan”, baik melalui peperangan maupun perdamaian, agar pemilihan umum tersebut bisa berlangsung di sela-sela itu—saat itulah AS aktif sekali mewujudkannya untuk mereka melalui DK PBB sehingga Condolezza Rice menjadi magnet yang luar biasa dalam bebagai pertemuan dan meeting. Dia menggerakkan para penguasa yang menjadi kepanjangan tangannya sehingga mereka bergegas pergi untuk menemui DK PBB; siang-malam mereka bekerja keras dengan penuh semangat…Mereka itulah yang sebelumnya memandang perlunya membantu Gaza dengan tentara-tentara mereka dengan pandangan bak orang pingsan dari kematian. Padahal andai saja saat itu ada satu atau setengah front pertempuran di sana yang dibuka oleh para penguasa itu, pasti entitas Yahudi itu akan rontok, atau bahkan lenyap tak berbekas…
Melalui Resolusi ini, sebenarnya para penguasa (goodfather) itulah yang mewujudkan kepentingan Yahudi yang justru tidak bisa diwujudkan melalui serangan biadab mereka. Resolusi itu akan tetap melanggengkan tentara Israel di Gaza dan memastikan blokade terhadap Jalur Gaza tetap berlangsung dari sejumlah faktor yang bisa menguatkan dan mempersenjatai mereka. Jangan tertipu dengan penjelasan yang dibungkus dengan indah, tentang dibukanya blokade makanan dari mereka.
Untuk mensosialisasikan resolusi ini, AS sengaja abstain, agar tampak bahwa AS seolah-olah tidak berada di belakang resolusi tersebut, sehingga para penguasa itu pun bisa menunjukkan kemenangan gemilang yang jauh dari pengaruh AS. Mereka sesungguhnya bohong. Setiap orang yang berakal dan mempunyai kesadaran politik pasti tahu, bahwa andai saja AS tidak berada di belakangnya, pasti AS sudah memveto resolusi tersebut.

Wahai Seluruh Kaum Muslim:

Sungguh tepat sekali apa yang disabdakan oleh manusia jujur dan terpercaya, Nabi saw.:
«إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ»
Jika Anda sudah tidak mempunyai rasa malu, lakukanlah apa saja yang kalian inginkan.” (H.r. Bukhari, Ibn Majah dan Ahmad).
Para penguasa itu melihat Gaza memang harus diluluhlantakkan, dan darah-darah orang tak bersalah berhak ditumpahkan. Mereka pun tidak menggerakkan tentaranya untuk membantu Gaza; tidak juga melepaskan satu roket pun dari peluncurnya. Bahkan, lebih dari itu, justru mereka menghalang-halangi relawan untuk membantu Gaza…Ironisnya, mereka justru bergegas dan berlomba-lomba untuk mengeluarkan sebuah resolusi yang menghalangi Gaza dari akses senjata dan faktor-faktor yang bisa menopang kekuatannya…Semoga mereka dilaknat oleh Allah; bagaimana mereka sampai bisa berpaling seperti itu?
Siapa pun yang melihat entitas Yahudi, perampas Palestina, dan dia tinggal berdekatan dengan para penguasa itu, pasti tahu persis keberlangsungan eksistensi Yahudi ini benar-benar digadaikan pada keberlangsungan para penguasa itu. Merekalah yang melindunginya, jauh lebih baik daripada melindungi diri mereka sendiri. Bahkan AS dan negara-negara Barat yang lain, yang mendukung entitas ini, tidak akan mempunyai pengaruh apapun, seandainya ada satu saja dari para penguasa itu yang waras…

Wahai Kaum Muslim:

Kami telah mengingatkan berkali-kali. Kami mengulanginya lagi dan kami menambahkan, bahwa siapa saja yang ingin menghancurkan entitas Yahudi dan mengembalikan Palestina secara utuh ke pangkuan negeri Islam, maka dia harus berjuang untuk mewujudkan seorang penguasa yang ikhlas, negara yang benar, yaitu Khilafah Râsyidah. Sebab, seorang imam (khalifah/pemimpin) itu bagaikan perisai; orang-orang akan berperang di belakangnya, dan kepadanya mereka berlindung, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi saw. Pada saat itulah, negara Yahudi itu tidak akan pernah lagi ada, bahkan negara-negara kafir penjajah yang jauh lebih kuat dan digdaya ketimbang entitas Yahudi pun akan dihinadinakan.
Allah SWT berfirman:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَن كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikannya (Q.s. Qaf [50]: 37).
13 Muharram 1430 H
9 Januari 2009 M
Hizbut Tahrir
Box:
Sejarah Pengkhianatan Para Penguasa Arab/Muslim
  1. Rezim penguasa negeri-negeri Teluk membiarkan tentara Amerika memasuki wilayah mereka dengan membangun pangkalan militer di Hijaz.
  2. Alih-alih membela sikap rakyat Palestina yang menentang keberadaan Negara Israel, Raja Yordania Abdullah malah menyerukan agar Pemerintah Persatuan Palestina yang baru harus mengakui Israel dan meninggalkan tindakan kekerasan bila ingin diakui.
  3. Saudi Arabia mengeluarkan fatwa tentang bolehnya berdamai dengan Israel yang secara tidak langsung merupakan pengakuan terhadap Negara Israel.
  4. Beberapa negara Arab dan negeri-negeri Islam lainnya secara terbuka atau diam-diam berhubungan dengan Israel.
  5. Dari sejarah diketahui Raja Abdullah (Transjordan), Raja Farauk (Mesir), memiliki hubungan yang erat dengan Inggris dan Amerika Serikat.
  6. Ayah Raja Abdullah, Sharif Husein, sebelumnya telah bersekutu dengan Inggris untuk memerangi Khilafah Usmaniah. Kakaknya, Faisal, sebelumnya memiliki hubungan dengan pemimpin Zionis Chaim Weisman. Pembentukan Negara Saudi Arabia tidak lepas dari campur tangan negara-negara Barat, dalam hal ini Inggris. Kerjasama ini telah dilakukan oleh Dinasti Saud (rezim keluarga Saudi Arabia) dengan Inggris sekitar tahun 1782-1810. Pada saat itu, Inggris membantu Dinasti Saud untuk memerangi Daulah Khilafah Islam. Dengan bantuan Inggris, Dinasti Saud berhasil menguasai beberapa wilayah Damaskus. Kerjasama Dinasti Saud dengan Inggris ini semakin jelas saat keduanya melakukan perjanjian umum Inggris-Arab Saudi yang ditandatangani di Jeddah (20 Mei 1927). Dalam pernjanjian itu Inggris, yang diwakili oleh Clayton, mempertegas pengakuan Inggris atas kemerdekaan lengkap dan mutlak Ibnu Saud, hubungan non agresi dan bersahabat, pengakuan Ibnu Saud atas kedudukan Inggris di Bahrain dan di keemiran Teluk (George Lenczowsky, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, hlm 351).
  7. Pola-pola yang hampir mirip terjadi pada negara-negara Arab yang lain.
  8. Pembentukan Negara Kuwait tidak lepas dari pernjanjian Mubarak al-Sabah dengan Inggris pada tahun 1899. Dalam perjanjian itu ditetapkan Kuwait sebagai negara yang merdeka di bawah lindungan Inggris. Negara-negara Arab lainnya juga menjadi rebutan pengaruh negara-negara Besar yang sangat mempengaruhi independensi penguasa negara-negara tersebut.
  9. Negara Mesir dibentuk setelah terjadinya kudeta militer terhadap Raja Farauk (yang dekat dengan Inggris) oleh Gamel Abdul Nasser (yang kemudian banyak dipengaruhi oleh AS).
  10. Tak jauh beda dengan Libya. Libya dibentuk oleh Itali sebagai daerah koloninya pada tahun 1943. Setelah itu Libya menjadi rebutan negara-negara Barat. Terakhir, Raja Idris yang dekat dengan AS dikudeta oleh Khadafi (yang menamatkan pendidikannya di Inggris).
  11. Pengkhianatan negara-negara Arab juga telah menjadi penyebab dirampasnya dengan mudah tanah-tanah Palestina maupun negeri Arab lainnya oleh Israel tanpa ada perlawanan yang berarti. Direkayasa pula berbagai perang dengan Israel dengan berbagai tujuan antara lain untuk menunjukkan kehiraun rezim Arab tersebut terhadap Palestina. Padahal, kenyataan yang sebenarnya adalah pengkhianatan mereka terhadap Islam dan kaum Muslim. Sebenarnya tidak pernah terjadi perang yang habis-habisan. Empat perang yang pernah terjadi—1948, 1956, 1967, 1975—semuanya berakhir cepat dan dihentikan dengan intervensi Internasional. Wilayah kaum Muslim pun diserahkan kepada Israel dengan alasan kalah perang. Dalam perang tahun 1967, Raja Husein dari Yordania menyerahkan Tepi Barat Yordan kepada Israel tanpa berperang; Gamel Abdul Nasser menyerahkan Gurun Sinai dan Jalur Gaza; Hafedz Assad dari Suriah menyerahkan Dataran Tinggi Golan. Dari kekalahan perang yang direkayasa ini pun dibuat mitos bahwa Israel tidak akan pernah terkalahkan. Hal ini kemudian dijadikan legalisasi rezim-rezim Arab untuk tidak berperang terhadap Israel. Oleh sebab itu, seakan-akan perdamaian dengan Israel adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak. Padahal nyata-nyata tujuan dari berbagai perdamaian itu justru untuk mengokohkan keberadaan Negara Israel. []
Komentar:
Iran Seru Dunia Muslim Akhiri Genosida di Jalur Gaza (Republika.co.id, 12/1/09).
Jihad (perang)! Itulah kata kunci untuk akhiri genosida di Gaza.

Hanya Khilafah Yang Bisa Menghentikan Kekejian Israel


[al-Islam 437]
 Sepekan lebih sudah kita menyaksikan kebiadaban bangsa Yahudi-Israel atas kaum Muslim di Gaza, Palestina. Sekitar 600 orang telah tewas dan 4000 lebih mengalami luka-luka serius. Angka ini terus bergerak naik dari hari-ke hari seiring dengan tindakan agresor biadab Israel di Gaza. Lebih dari seribu misil meluluhlantahkan rumah, masjid, rumah sakit dan fasilitas umum lainya. Reruntuhan puing bangunan yang hangus bercampur asap dan ceceran darah kaum Muslim seolah menjadi pemandangan biasa di Gaza. Israel dengan pasukan penuh bergerak masuk ke jantung Gaza dan memisahkan Gaza dalam dua teritorial. Akibatnya, kaum Muslim di Gaza makin sulit untuk bertahan hidup sekalipun hanya sekadar untuk bernafas. Dada terasa sesak. Rasanya mereka setiap menit perlu berpamitan mengucapkan salam perpisahan kepada sanak familinya yang masih hidup, karena tidak ada jaminan bahwa menit-menit berikutnya atau di hari esoknya mereka masih punya kesempatan hidup.
Blokade dua tahun telah melahirkan derita yang memilukan. Hanya untuk bertahan hidup sejumlah keluarga Muslim Palestina (di Jalur Gaza) harus makan rumput. Agresi Israel kali ini tentu semakin memperparah keadaan mereka. Pada saat yang sama, tidak ada pintu perbatasan yang dibuka. Akibatnya, mereka seolah hidup dalam penjara besar, dan setiap saat siap bergelimang darah.

Para Penguasa Muslim Bersekongkol

Setelah institusi Khilafah Islam dihapus, Israel telah melakukan kebiadaban di luar batas kemanusiaan terhadap umat Islam sejak puluhan tahun lalu. Pekan-pekan ini adalah pengulangan yang ke sekian kalinya. Sejak tahun 1947 tercatat 23 kali peristiwa pembantaian umat Islam yang dilakukan tangan-tangan najis bangsa kera tersebut. Sejak tahun 1967, 18.147 rumah warga Palestina dihancurkan. Sejak tahun 1992, lebih dari 65 resolusi DK PBB dikeluarkan untuk menghentikan tindakan brutal Israel. Namun, tak satu pun yang dilaksanakan PBB. Sejak tahun 2000, lebih dari 33.034 warga Palestina cedera, 4.876 tewas, termasuk 1050 anak-anak.
Melanggar aturan seolah menjadi watak dasar bangsa Israel ini, sebagaimana mereka terbiasa melanggar perintah-perintah Tuhan mereka. Serangan di akhir tahun 2008 ini dimulai pada hari Sabat yang disucikan orang-orang Yahudi. Pada hari itu, mereka seharusnya berdiam di rumah. Namun, yang terjadi mereka justru melanggarnya. Mereka bahkan menumpahkan darah-darah orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Mahabenar Allah Yang berfirman:
Sesungguhnya kalian pasti akan mendapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik (QS al-Maidah [5]: 82).
Kecaman dunia tinggal kecaman. Cacian tinggal cacian. Faktanya, semua itu tidak menjadikan Israel jeda menyerang, bahkan makin membabi buta dan brutal. Ironisnya, para penguasa negeri-negeri Islam hanya diam, tidak melakukan apa-apa, selain melontarkan kecaman tanpa arti. Selebihnya, mereka sekadar ‘berbasa-basi’ dengan menggelar pertemuan tingkat tinggi yang tak berguna, seakan itu perbuatan yang pantas dan cukup sebagai seorang pemimpin. Padahal setiap detik, setiap nyawa manusia siap melayang di tangan Israel.
Inilah kebangkrutan besar umat Islam saat ini. Mereka hidup di bawah asuhan para pemimpin yang ‘impoten’. Lebih dari itu, yang terjadi sesungguhnya, para penguasa negeri-negeri Islam itu telah berkhianat kepada Allah SWT, Rasul-Nya dan kaum Muslim. Diamnya mereka tanpa memberikan pertolongan kepada kaum Muslim Palestina adalah bentuk persengkokolan jahat mereka dengan bangsa-bangsa kafir. Mereka persis seperti orang-orang munafik yang sejak awal kelahiran Islam di bumi Yasrib (Madinah al-Munawarah) bersekongkol dengan orang-orang Yahudi untuk mengeliminasi Rasul saw. dan kaum Mukmin.
Hari ini kita menyaksikan wajah-wajah ‘munafik’ para penguasa Muslim itu. Faktanya, para penguasa negeri-negeri Islam saat ini makin menarik diri dari perannya atas nasib kaum Muslim di Palestina. Mereka lebih membela kepentingan mereka sendiri serta kepentingan pasukan perang salib modern. Mereka melatih para tentara dan pasukan keamanan hanya untuk memberangus umat Islam dan bukan untuk membela kepentingan umat Islam. Yang lebih menjijikkan, para pemimpin Dunia Islam itu malah sering mencurigai umat Islam. Di sejumlah negara Muslim yang diktator, setiap menit penguasa sibuk menangkapi aktifis Islam, bahkan memberangus para mujâhidîn fillâh. Dengan tipudayanya, mereka mentoleransi warga negaranya untuk berteriak menumpahkan kekesalannya melalui berbagai aksi. Namun, pada saat yang sama mereka mengebiri aksi-aksi itu dengan berbagai alasan yang sangat tidak masuk akal. Akibatnya, solidaritas kaum Muslim di berbagai negeri di luar Palestina hanya menjadi opini yang tidak berefek pada lahirnya solusi praktis. Mereka seperti yang dilukiskan dalam firman Allah SWT:
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian mereka dengan sebagian yang lain adalah sama. Mereka menyuruh kemungkaran, melarang kemakrufan dan menggenggam tangan mereka. Mereka telah melupakan Allah. Allah pun melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah kaum yang fasik (QS at-Taubah [9]: 67).
Ironi memang, bagaimana mungkin ‘panggung sandiwara’ PBB dengan sutradaranya AS dkk (dengan hak vetonya) dijadikan tempat bergantung oleh para penguasa Muslim. Mereka seolah lupa bahwa sebenarnya ‘sang sutradara’-lah yang menjadikan Israel saat ini ada dan eksis. Setiap hari Amerika membantu Israel $6,8 juta, yang dibelanjakan untuk alat-alat perang dan kepentingan pertahanan Israel. Bom-bom yang ditumpahkan di penduduk Gaza sepekan ini adalah bom-bom yang baru pertengahan Desember 2008 dibeli dan dipasok oleh AS. Sementara itu, rancangan resolusi DK PBB diveto AS dan Inggris dengan alasan tidak seimbang jika tidak menekan Hamas agar menghentikan serangan.
Di sisi lain, ‘kerajaan besar’ yang bernama PBB terbukti telah menjadi media efektif bagi AS dan sekutunya untuk menguasai nasib negeri-negeri Islam, sementara para penguasa Muslim menjadi umalâ’ (antek-antek)-nya. PBB terbukti terlibat dalam berbagai upaya pembantaian massal, seperti di Srebenica. PBB gagal dalam ‘misi perdamaian’-nya di Kongo dengan korban hampir 5 juta orang pada akhir tahun 2000. Akibat mandulnya PBB, pada tahun 1994 pembantaian massal di Rwanda menelan korban hampir 1 juta jiwa. PBB pun hanya menjadi alat legalisasi bagi kepentingan-kepentingan AS, sebagaimana ditunjukkan dalam tragedi Gaza-Palestina saat ini.

Solusi Islam

Islam dengan tuntunannya adalah solusi dari setiap problem umat. Andai saja para penguasa negeri Islam berpegang teguh pada al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw., seharusnya mereka melakukan hal-hal berikut:
Pertama, menyerukan jihad (perang) dan membuka pintu-pintu perbatasannya dengan Palestina, seraya menggerakkan semaksimal kekuatan tentara yang mereka miliki. Inilah yang wajib mereka lakukan dalam rangka memenuhi seruan Allah SWT:
Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam urusan agama, maka kalian wajib menolong mereka. (QS al-Anfal [8]: 72).
Penguasa Muslim seharusnya mengubur rasa takut dan kecemasan atas kekuatan semu Israel dan bangsa-bangsa pendukungnya. Fakta membuktikan, Israel bisa dikalahkan oleh Hizbullah, yang notabene bukan negara. AS mengalami kebangkrutan besar dalam perang di Afganistan dan Irak karena tidak mampu mematahkan perlawanan para mujahidin. Sesungguhnya orang-orang kafir sangat takut terhadap kekuatan umat Islam(Lihat: QS al-Hasyr [59]: 13).
Ironisnya, saat umat Islam berpikir untuk melakukan jihad di Palestina, yang pertama kali menghalangi umat Islam untuk berjihad justru para penguasa di negeri-negeri Islam itu sendiri. Padahal Rasulullah saw.—sebagai kepala negara Daulah Islam di Madinah saat itu—telah memberikan uswah (teladan) dengan bertindak cepat dan tegas dengan cara membersihkan entitas Yahudi ketika mereka mencoba melecehkan seorang Muslimah. Demikian juga sikap para Khalifah pada masa-masa Kekhilafahan setelah Beliau.
Kedua, negara Israel harus dihapus sebagaimana Rasulullah saw. mengusir orang-orang Yahudi dari semenanjung Arab. Sebab, akar persoalannya adalah berdirinya negara Israel di tanah kaum Muslim. Tanah Palestina adalah hak dan milik umat Islam yang diperoleh dengan tetesan darah dan airmata serta mengorbankan banyak nyawa. Statusnya sebagai tanah Kharajiyah itu tidak akan pernah berubah hingga Hari Kiamat. Karena itu, langkah damai hanyalah manipulasi sekaligus merupakan pengakuan tak langsung terhadap penjajahan bangsa Yahudi atas tanah kaum Muslim. Padahal para penguasa Muslim saat ini seharusnya meniru para Khalifah dulu yang tidak pernah membiarkan sejengkal pun tanah Palestina dikangkangi orang-orang Yahudi kafir.
Ketiga, para penguasa negeri Islam seharusnya meninggalkan sistem jahiliah saat ini dengan cara menerapkan syariah Islam secara total dalam institusi Khilafah. Atau umat yang akan memaksa untuk mengganti mereka, cepat atau lambat, hingga kesatuan dan persatuan umat Islam seutuhnya kembali mewujud di bawah satu kepemimpinan seorang khalifah, lalu umat akan berperang di belakang khalifah—yang berfungsi sebagai perisai—untuk menghancurkan eksistensi Yahudi dan menghentikan penjajahan Amerika dan sekutunya.
Keempat, para penguasa Muslim dan umat Islam harus keluar dari penjara besar sistem kapitalis-imperialis pimpinan AS dan sekutunya, baik dari PBB maupun lembaga-lembaga turunannya yang lain, seperti IMF, World Bank dll.

Wahai kaum Muslim!

Hendaknya kita tidak berhenti sebatas berdoa dan menggalang solidaritas dalam bentuk bantuan uang dan obat-obatan bagi saudara kita di Palestina. Yang tidak kalah pentingnya adalah membangun kesadaran umat, bahwa mereka sangat membutuhkan kesatuan di bawah satu kepemimpinan, yakni Khilafah. Sebab, hanya Khilafahlah solusi final yang akan menghentikan kebiadaban Israel sekaligus mengakhiri derita umat Islam di berbagai belahan dunia saat ini. Wallâhu a’lam. []
KOMENTAR:
Australia Tetap Bela Israel (Republika.co.id, 5/1/09)
Negara yang membela teroris adalah juga teroris!

Kerahkan Pasukan Untuk Berperang…


بسم الله الرحمن الرحيم

SETENGAH KATA!

KERAHKAN PASUKAN UNTUK BERPERANG, ITULAH SATU-SATUNYA KEWAJIBAN PARA PENGUASA UNTUK MERSEPON PEMBANTAIAN GAZA. JIKA TIDAK, MEREKA BENAR-BENAR TELAH MENGKHIANATI ALLAH, RASUL-NYA DAN KAUM MUKMIN

[Al-Islam 436] Sejak zuhur, Sabtu, 28 Desember 2008 M, entitas Yahudi membombardir sejumlah kawasan di Jalur Gaza dengan pesawat-pesawat tempurnya secara brutal secara terus-menerus dan kadangkala secara sporadis. Warga Gaza menghadapi serangan itu hanya dengan dada-dada mereka, dengan sikap kepahlawanan yang sulit dicari tandingannya. Mereka ’menyabung nyawa’ mereka dengan senang hati; ada yang menjadi syahid, sementara ratusan lainnya terluka. Pesawat-pesawat musuh memasuki wilayah udara mereka dengan aman dan tenang, tanpa sedikitpun rasa takut akan hadangan rudal-rudal yang akan merontokkannya atau pesawat-pesawat tempur yang menghadangnya. Sebab, para penguasa di negeri-negeri kaum Muslim telah menetapkan ”larangan bergerak” kepada pasukan dan pesawat-pesawat kita. Mereka hanya menjadikan pesawat-pesawat tempur kita sebagai pameran dan hiasan. Begitulah. Akhirnya, pesawat-pesawat Yahudi itu pun merasa tenang dan terbang dengan aman. Pesawat-pesawat itu membombardir manusia dan bebatuan dengan tetap aman dari setiap serangan dan bahaya!
Sesungguhnya para penguasa itu telah melakukan kejahatan sejak mereka mengalihkan masalah Palestina dari agenda Islam menjadi agenda Arab, kemudian menjadi agenda Palestina. Mereka pun memposisikan diri sebagai pengamat yang bersikap netral. Tidak hanya itu, mereka berpihak kepada musuh. Bahkan mereka mempunyai kebiasaan dalam kondisi diserang, sebagaimana yang terjadi dalam tragedi Pembantaian Gaza saat ini. Mereka sibuk mengamati pesawat-pesawat tempur Yahudi yang terbang silih-berganti, lalu menghitung korban yang tewas dan terluka. Setelah itu mereka berlomba-lomba mengeluarkan kecaman dan penolakan keras, baik mereka yang ikut memblokade Jalur Gaza secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Semuanya mengeluarkan kecaman dan penolakan keras. Bahkan penguasa Mesir, dari istananya—saat menjelang serangan Livni mengancam dan berjanji akan melakukan serangan, lalu pada hari berikutnya pengeboman pun mulai dilakukan terhadap jalur Gaza—juga mengeluarkan kecaman dan penolakan keras!
Memang, para penguasa itu sudah tidak punya rasa malu, baik kepada Allah, Rasul-Nya maupun kepada orang Mukmin. Mereka telah memblokade Jalur Gaza sebelum diblokade oleh musuh. Mereka menginginkan warga Gaza menjadi mayat dan tidak menginginkan mereka hidup-hidup. Karena itu, mereka menolak membuka pintu perbatasan mereka ketika denyut kehidupan itu masih ada. Mereka baru mau membukanya setelah darah mengalir di atas kolam. Sekarang mereka menyerukan diadakannya serangkaian pertemuan untuk ”mengkaji” respon yang harus diberikan terhadap Pembantaian Gaza, seolah-olah respon tersebut masih kabur. Sekali waktu mereka menyerukan diadakannya konferensi tingkat tinggi. Kali lain mereka menyerukan pertemuan tingkat menteri luar negeri. Berikutnya mereka menyerukan pertemuan bersama…Itulah kebiasaan yang mereka ikuti. Mereka berkumpul untuk sekadar makan dan minum. Kemudian mereka mengeluarkan pernyataan. Setan membisikkan kepada para pengikutnya bahwa itulah “sebaik-baik” perang! Tidak hanya sampai di situ, mereka pun menyandang kehinaan dan aib mereka dengan pergi ke Dewan Keamanan PBB. Mereka meminta negara-negara yang telah mendirikan entitas Yahudi dan mendukungnya dalam merampas Palestina, tanah yang diberkahi, agar negara-negara itu mengeluarkan resolusi untuk membantu Palestina dan rakyat Palestina:
Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka putuskan itu! (QS an-Nahl [16]: 59).
Sesungguhnya respon terhadap Pembantaian Gaza itu sudah jelas, bukannya tidak jelas; tidak membutuhkan rapat, pertemuan dan evaluasi. Respon itu juga tidak bergantung pada resolusi dari negara-negara yang telah mendirikan dan mendukung entitas Yahudi. Respon itu hanyalah dengan cara mengerahkan tentara untuk berperang dan menghimpun orang-orang yang mampu untuk menjadi tentara. Tidak ada lagi yang lain. Para penguasa itu pun memahami hal itu. Namun, mereka itu ibaratnya hanyalah kayu-kayu yang menjadi alat. Mereka memang sangat mahir dengan hanya bersilat lidah, melakukan kebohongan dan penyesatan.
Semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)? (QS al-Munafiqun [63]: 4).

Wahai Kaum Muslim:

Waspadalah! Jangan sampai para penguasa itu berhasil mengelabui Anda sehingga Anda merasa puas hanya dengan izin yang mereka berikan kepada Anda untuk melakukan longmarch, pawai, demonstrasi atau pengamanan yang mereka berikan. Semuanya itu sekali-kali tidak akan bisa menghalangi kebenaran sedikit pun. Namun, hendaknya Anda mengambil tugas berat Anda menuju istana-istana mereka sehingga Anda bisa memaksa mereka agar mau mengerahkan pasukan untuk berperang.
Lalu Anda, wahai para tentara, apakah Anda tidak merindukan salah satu dari dua kebaikan (yaitu, kemenangan atau mati syahid)? Bagaimana mungkin pembunuhan dilakukan terhadap saudara-saudara Anda, sementara Anda tetap berdiam diri di barak-barak Anda? Apakah para penguasa yang telah menjual agamanya dengan dunia, bahkan dengan dunia pihak lain itukah yang menghalangi Anda untuk menolong dan membela saudara-saudara Anda?
Allah, Allah wahai para tentara! Sesungguhnya Hizbut Tahrir menyeru Anda untuk meraih kemuliaan dunia dan akhirat, pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat, atau surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang telah disiapkan bagi orang-orang yang bertakwa:
Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tangan kalian dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kalian terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang Mukmin (QS at-Taubah [9]: 14).
Begitulah caranya menolong warga Gaza. Begitulah seharusnya respon terhadap Pembantaian Gaza. Begitulah seharusnya menghancurkan blokade dari mereka. Begitulah Allah melegakan hati orang-orang Mukmin:
Sesungguhnya (apa yang disebutkan) dalam (surat) ini, benar-benar menjadi peringatan bagi kaum yang menyembah Allah) (QS al-Anbiya’ [21]: 106).
Ya Allah, kami telah menyampaikan, ya Allah saksikanlah.
01 Muharram 1430 H                                                                             Hizbut Tahrir
28 Desember 2008 M
Komentar al-Islam:
Taliban Menyerukan Muslim Se-Dunia Melawan Israel (Eramuslim.com, 30/12/2008).
Ingat! Hanya dalam Khilafah Muslim se-Dunia bisa dipersatukan untuk melawan Israel.
BOX:
Sebagian Daftar Kekejian Israel
  • Pembantaian Yehida, 1947: 13 tewas.
  • Pembantaian Khisas, 1947: 10 tewas.
  • Pembantaian Qazaza, 1947: 5 anak-anak tewas.
  • Pembantaian di Deir Yassin, 1948: Selama serangan ini, wanita-wanita hamil dicabik perutnya dengan bayonet, anggota tubuhnya dipotong-potong, dan lainnya diperkosa. Sekitar 52 orang anak-anak disayat-sayat tubuhnya di depan mata ibunya, lalu mereka dibunuh secara keji. Lebih dari 280 warga Palestina syahid di tangan zionis.
  • Pembantaian Hotel Semirami, 1948: 19 tewas.
  • Pembantaian Naser al-Din, 1948: Sekelompok teroris Zionis berpakaian tentara Arab menembaki penduduk kota yang meninggalkan rumahnya untuk menyambut mereka. Hanya 40 orang yang lolos dari pembunuhan ini, dan desa tersebut terhapus dari peta.
  • Pembantaian Tantura, 1948: 200 tewas.
  • Pembantaian Mesjid Dahmash, 1948: 100 tewas. Sekitar 60.000 orang Palestina keluar dari negerinya, dan 350 orang lebih tewas dalam perjalanan karena keadaan kesehatan yang parah.
  • Pembantaian Dawayma, 1948: 100 tewas. Sebagian besar yang terbunuh tengah berada di mesjid untuk melakukan shalat Jumat. Wanita-wanita Palestina diperkosa selama serangan ini, sementara rumah-rumahnya diledakkan dengan dinamit, padahal ada orang di dalamnya.
  • Pembantaian Houla, 1948: 85 tewas. Tentara Israel memaksa 85 orang untuk masuk ke dalam sebuah rumah, kemudian rumah itu dibakar. Setelah itu, sebagian besar warga yang merasa takut melarikan diri ke Beirut. Dari 12.000 penduduk asli Houla, hanya 1200 orang yang tersisa.
  • Pembantaian Salha, 1948: 105 tewas. Setelah penduduk suatu desa dipaksa masuk ke mesjid, orang-orang tersebut dibakar hingga tak seorang pun yang tersisa hidup-hidup.
  • Pembantaian Deir Yassin, 9 April, 1948: Selama serangan ini, wanita-wanita hamil dicabik perutnya dengan bayonet, hidup-hidup. Anggota tubuh korban dipotong-potong, lalu anak-anak dihantam dan diperkosa. Selama pembantaian Deir Yassin, 52 orang anak-anak disayat-sayat tubuhnya di depan mata ibunya, lalu mereka dibunuh sedang kepalanya dipenggal. Lebih dari 60 orang wanita terbunuh lalu tubuh-tubuh mereka dipotong-potong.
  • Pembantaian di Qibya, 1953: 96 tewas. Sebagian besar mayat mengalami luka tembak di belakang kepala, dan banyak yang tanpa kepala. Bersama orang-orang yang tewas di bawah reruntuhan rumah mereka, banyak wanita-wanita dan anak-anak tak berdosa yang juga dibunuh secara brutal.
  • Pembantaian Kafr Qasem, 1956: 49 tewas. Pembantaian Khan Yunis, 1956: 275 tewas.
  • Pembantaian di Kota Gaza, 1956: 60 tewas:
  • Pembantaian Fakhani, 1981: 150 tewas.
  • Pembantaian Sabra dan Shatila, Lebanon, 1982: Merenggut nyawa lebih dari 3.000 warga Palestina. Arsitek pembantaian itu adalah Ariel Sharon yang bekerjasama dengan kelompok Phalangis Kristen, Lebanon. (Catatan: Setelah Perang 1967, Sharon menyebabkan 160.000 orang Palestina meninggalkan Yerusalem Timur dan menjadi pengungsi. Ketika Sharon menjadi penanggung jawab keamanan di Jalur Gaza, 16.000 orang diusir untuk kedua kalinya).
  • Pembantaian di Masjid Aqsa, 1990: 11 syahid dan 800 terluka.
  • Pembantaian di Mesjid Ibrahimi, 1994: Lebih dari 50 orang Islam tewas dan 300 orang luka-luka.
  • Pembantaian Qana, 1996: 109 tewas. Pemandangan mengerikan karena pembantaian ini, termasuk anak-anak yang dipenggal kepalanya, tidak akan pernah terlupakan.
Contoh-contoh yang disebutkan di atas hanyalah pembantaian ketika banyak orang-orang Palestina kehilangan jiwanya dalam satu hari saja. Di luar ini, puluhan orang dibantai setiap harinya selama puluhan tahun, bahkan hingga detik ini. Ironisnya, selama itu pula para penguasa Arab dan Muslim hanya diam, bahkan sebagiannya bersekongkol dengan Israel dan AS.
Jelas, rakyat Palestina, juga kaum Muslim sedunia, tidak bisa berharap kepada para penguasa Arab dan Muslim saat ini. Mereka hanya bisa berharap pada Khilafah yang sudah terbukti dalam sejarahnya selama berabad-abad menjadi pelindung sejati umat Islam. Karena itu, sudah saatnya umat bergerak untuk segera menegakkan kembali Khilafah Islamiyah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah! []

UU Minerba dan UU BHP: ‘Kado Pahit’ Untuk Rakyat


[Al-Islam 435] Lagi, DPR—yang katanya wakil rakyat—menunjukkan ‘wajah asli’-nya: mengkhianati rakyat! Di akhir tahun ini, DPR ‘menghadiahi’ rakyat dengan dua ‘kado pahit’. Pertama: UU Minerba (Undang-undang Mineral dan Batubara) yang disahkan pada 16 Desember 2008 (Detikfinance.com, 16/12/08). Kedua, UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) yang disahkan pada 17 Desember 2008 (Pikiran Rakyat, 17/12/08). Artinya, pengesahan kedua UU ini hanya berselang sehari.
Pengesahan kedua UU ini menjadi bukti pengkhianatan DPR—juga Pemerintah—terhadap rakyat yang diwakilinya untuk kesekian kalinya. Sebab, kedua UU ini lagi-lagi berpotensi mencampakkan kepentingan rakyat.
UU Minerba—yang akan menggantikan UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Pertambangan—semakin menyempurnakan lepasnya peran Pemerintah dari segala hal yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam milik rakyat dan menyerahkannya kepada para pemilik modal (swasta/asing). UU ini sekadar melengkapi UU sejenis yang sudah disahkan sebelumnya, yaitu: UU Migas, UU SDA dan UU Penanaman Modal. Semua UU ini pada hakikatnya bertujuan satu: memberikan peluang seluas-luasnya kepada pihak swasta, terutama pihak asing—karena asinglah yang selama ini memiliki modal paling kuat—untuk mengeruk kekayaan alam negeri ini sebebas-bebasnya. Padahal sebelum disahkannya UU Minerba ini saja, hingga saat ini kekayaan tambang dalam negeri, 90 persennya sudah dikuasai asing. (Sinarharapan.co.id, 13/6/08).
Adapun UU BHP semakin menyempurnakan lepasnya tanggung jawab Pemerintah dalam pengurusan pendidikan warga negaranya. UU ini melengkapi UU Sisdiknas yang juga sudah disahkan sebelumnya. Kedua UU ini pada hakikatnya juga satu tujuan: melepaskan tanggung jawab Pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam penyelenggaraan pendidikan warga negaranya, sekaligus membebankan sebagian atau keseluruhannya kepada masyarakat. Padahal pendidikan jelas merupakan hak rakyat yang wajib dipenuhi Pemerintah secara cuma-cuma.

Liberalisasi di Balik UU Minerba dan UU BHP

1.    UU Minerba.
Mengapa Indonesia memerlukan UU Minerba? “Demi menjamin kepastian hukum bagi kalangan investor.” Lagi-lagi begitulah alasan ‘logis’ Pemerintah. Alasan yang sama juga pernah dilontarkan Pemerintah saat UU Migas, UU SDA maupun UU Penanaman Modal disahkan. Hanya demi kepastian hukum bagi kalangan pengusaha, Pemerintah tega mengabaikan kepentingan rakyat. Dalam UU Minerba, misalnya, jelas-jelas sejumlah kontrak di bidang pertambangan yang selama ini amat merugikan rakyat—yang telah berjalan lebih dari 40 tahun sejak Orde Baru—tidak akan diotak-atik. Padahal sebagian besar dari kontrak-kontrak itu baru akan berakhir tahun 2021 dan 2041. Memang, dengan berpegang pada pasal 169b UU Minerba ini, Pemerintah bisa mendesak dilakukannya penyesuaian pada kontrak-kontrak yang ada sekarang ini. Namun, UU Minerba ini tetap mengakomodasi pasal 169a yang melindungi keberadaan kontrak-kontrak lama itu. Itulah yang menjadi alasan mengapa Pemerintah tidak akan ’semena-mena’ mencabut kontrak pertambangan yang sudah ada. “Tujuh fraksi di DPR kan juga sudah mengatakan kontrak yang sudah ada perlu dipertahankan siapapun menteri dan presidennya. Itu adalah kontrak negara dengan mereka. Jadi itu yang harus dihormati,” ujar Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro (Kontan.co.id, 18/12/08).
Di sisi lain, hingga 2006 saja, Pemerintah telah menerbitkan sedikitnya 2.559 ijin pertambangan dan batubara. Itu belum termasuk ijin tambang galian C, ijin tambang migas dan Kuasa Pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah pada masa otonomi daerah. Di Kalimantan Selatan saja, lebih dari 400 ijin tambang dikeluarkan. Di Kalimantan Timur ada 509 ijin. Di Sulawesi Tenggara ada 127 ijin tambang. Di kabupaten baru, Morowali, Sulawesi Tengah, bahkan sudah dikeluarkan 190 perijinan. Jumlah ini akan terus bertambah dan luas lahan untuk dikeruk akan makin meluas. Tidak ada batasan kapan dan berapa jumlah ijin yang patut dikeluarkan tiap daerah (Jatam.org, 28/11/08). Yang pasti, ribuan ijin tersebut, selama belum berakhir, tidak akan pernah bisa diotak-atik berdasarkan UU Minerba yang baru itu.
2.    UU BHP.
Terkait UU BHP, banyak kalangan menilai bahwa UU ini lebih untuk melegalisasi ‘aksi lepas tanggung jawab’ Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. Memang, anggapan ini dibantah oleh Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno. Ia menyatakan, UU BHP ini justru bisa memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk tidak lagi dipungut biaya pendidikan yang tinggi. Selain itu, Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, menambahkan, ”Di UU BHP ini justru diatur, biaya yang ditanggung mahasiswa paling banyak sepertiga biaya operasional,” ujar Fasli. Selain itu, menurutnya, BHP wajib menjaring dan menerima siswa berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi, sekurangnya 20 persen peserta didik baru (Dikti.org, 18/12/08).
Namun, yang perlu dipertanyakan: Pertama, bukankah UU BHP ini masih mewajibkan masyarakat untuk membayar pendidikan? Padahal Pemerintah seharusnya memberikan pendidikan cuma-cuma alias gratis kepada rakyatnya—karena memang itu hak mereka—dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Kedua, jatah 20 persen kursi untuk siswa/mahasiswa miskin tentu tidak memadai dan tidak adil. Sebab, di negeri ini rakyat miskin yang tidak bisa sekolah, apalagi sampai ke perguruan tinggi, jumlahnya puluhan juta. Menurut data Susenas 2004 saja, dari penduduk usia sekolah 7–24 tahun yang berjumlah 76,0 juta orang, yang tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai 41,5 juta orang atau sebesar 55 persen. Lalu menurut data Balitbang Depdiknas 2004, yang putus sekolah di tingkat SD/MI tercatat sebanyak 685.967 anak; yang putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054 orang. Dengan terjadinya krisis ekonomi yang parah saat ini, pasti anak-anak putus sekolah semakin berlipat jumlahnya. Artinya, UU BHP ini tetap tidak menjamin seluruh rakyat bisa menikmati pendidikan.

Tolak Liberalisasi, Terapkan Syariah!

Dari sekilas paparan di atas, jelas bahwa liberalisasi atas negeri ini semakin hari semakin dalam dan semakin merambah semua bidang kehidupan. Celakanya, semua itu dilegalkan oleh Pemerintah dan DPR—yang diklaim sebagai pemangku amanah rakyat—melalui sejumlah UU. Di bidang minyak dan gas ada UU Migas. Di bidang pertambangan dan mineral ada UU Minerba. Di bidang sumberdaya air ada UU SDA. Di bidang usaha/bisnis ada UU Penanaman Modal. Di bidang pendidikan ada UU Sisdiknas dan UU BHP. Di bidang politik tentu saja ada UU Pemilu dan UU Otonomi Daerah. Di bidang sosial ada UU KDRT dan UU Pornografi. Demikian seterusnya.
Sementara itu, puluhan UU lain masih berupa rancangan. Yang masuk dalam Prolegnas selama 2006-2009 saja ada sekitar 173 RUU yang siap diundangkan (Legalitas.org, di-download pada 23/12/08). Melihat ‘track-racord’ DPR yang jelas-jelas buruk dalam melegislasi/mengesahkan sejumlah UU, sebagaimana dicontohkan di atas, kita tentu semakin khawatir bahwa sejumlah RUU yang sudah masuk dalam Prolegnas itu pun akan tetap mengadopsi nilai-nilai ‘liberal’. Ujung-ujungnya, rakyatlah yang rugi, dan yang untung hanya segelintir kalangan, termasuk asing. Pasalnya, tidak dipungkiri, ‘aroma uang’—atau paling tidak, ‘aroma kepentingan’ elit partai—hampir selalu mewarnai setiap pembahasan RUU di DPR. Beberapa produk UU seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, misalnya, diduga kuat didanai oleh sejumlah lembaga asing seperti World Bank, ADB dan USAID.
Dalam pandangan Islam, negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas pendidikan gratis bagi seluruh rakyat. Untuk itu, negara tentu harus mempunyai cukup dana. Hal ini bisa diwujudkan jika kekayaan alam seperti tambang minyak, mineral, batubara, dll dikelola oleh negara secara amanah dan profesional, yang hasilnya sepenuhnya digunakan untuk memenuhi kepentingan rakyat.
Karena itu, sudah saatnya umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini menolak segala bentuk liberalisasi yang dipaksakan atas negeri ini. Liberalisasi adalah buah dari demokrasi. Demokrasi akarnya adalah sekularisme. Inti sekularisme adalah penolakan terhadap segala bentuk campur-tangan Allah SWT dalam mengatur urusan kehidupan manusia. Wujudnya adalah penolakan terhadap penerapan syariah Islam oleh negara dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Padahal Allah SWT telah berfirman:
Apakah sistem hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Kenyataan yang ada membenarkan firman Allah SWT di atas. Akibat hukum Allah SWT ditolak dan malah hukum manusia yang diterapkan, negeri ini tidak pernah bisa mengatur dirinya sendiri. UU dan peraturan dibuat bukan untuk kemaslahatan umat dan kepentingan rakyat banyak, tetapi sekadar untuk memuaskan hawa nafsu dan memuluskan jalan pihak asing untuk menjajah negeri ini. Akibatnya, krisis multidimensi tetap melilit bangsa ini. Mahabenar Allah Yang berfirman:
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), baginya penghidupan yang sempit, dan di akhirat kelak ia akan dibangkitkan dalam keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).
Pertanyaannya: Mengapa kita masih terus saja menerapkan sistem hukum produk manusia yang terbukti banyak menimbulkan kemadaratan? Mengapa kita masih percaya pada sistem demokrasi yang menjadi ‘pintu masuk’ liberalisasi yang terbukti mengancam kepentingan rakyat? Mengapa kita masih meyakini sekularisme sebagai dasar untuk mengatur negara dan bangsa ini? Mengapa kita masih percaya kepada elit penguasa dan wakil rakyat yang nyata-nyata hanya mementingkan diri sendiri, kelompok/partainya, bahkan pihak asing atas nama demokrasi?
Setiap Muslim tentu menyadari, bahwa hanya syariah Islamlah yang pasti akan menyelesaikan seluruh persoalan kehidupan manusia, khususnya di negeri ini. Setiap Muslim juga tentu meyakini, bahwa hanya hukum-hukum Allahlah yang layak untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Karena itu, sudah saatnya umat Islam tidak hanya setuju terhadap penerapan syariah Islam, tetapi juga bersama-sama bergerak dan berjuang untuk segera mewujudkannya. Ingatlah, penerapan syariah Islam adalah wujud keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Ingat pula, keimanan dan ketakwaan adalah sebab bagi turunnya keberkahan dari-Nya.
Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan membukakan bagi mereka pintu keberkahan dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96).[]
Komentar:
Penyidikan 13 Kasus Pembalakan Liar Dihentikan (Republika, 23/12/08).
Masihkah kita percaya pada keadilan hukum manusia?!

Fatwakanlah Wajibnya Menerapkan Syariah Islam!


[Al-Islam 434] 
Golput haram? Itulah salah satu isu yang mengemuka baru-baru ini. Awalnya adalah Hidayat Nur Wahid (HNW) yang menggagas agar MUI mengeluarkan fatwa ‘haram’ bagi siapa saja yang atidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2009. HNW, yang mantan Presiden PKS dan kini Ketua MPR-RI, tentu punya alasan. Dalam sebuah acara dialog di sebuah televisi swasta tadi malam (TVOne, 15/12/08), HNW mengulang kembali alasan mengapa dirinya mendorong MUI untuk mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Ia menyatakan, berdasarkan UU yang ada, memilih memang hak. Namun, dalam konteks mewujudkan kemaslahatan, menurutnya Pemilu harus terwujud, dan itu tidak mungkin terjadi jika masyarakat ramai-ramai golput. Demikian kira-kira alasan ‘rasional’ HNW.
Namun, langkah ini kemudian memicu pro-kontra. Sebagian partai peserta Pemilu mendukungnya. Bahkan ada ormas Islam dan sejumlah kyai yang sudah mengeluarkan fatwa tentang haramnya golput. Sebagian yang lain menganggap tindakan demikian ‘tidak cerdas’. Bahkan mereka menilai fatwa ‘golput haram’ menyesatkan serta melanggar hak warga negara dan hak asasi pemilih. “Harusnya politisi menunjukkan mereka ini layak untuk dipilih dan dipercaya. Jadi, jangan lewat fatwa, tetapi lewat karya yang konkret.” Demikian komentar pengamat politik Arya Bima (13/12/2008).

Kerisauan Penikmat Demokrasi

Terlepas dari pro-kontra yang segera muncul pasca gagasan HNW ini, boleh jadi, hal itu didorong oleh kerisauan HNW terhadap maraknya golput dalam sejumlah Pilkada di berbagai daerah. Dalam Pilkada yang tiga hari sekali diselenggarakan di seluruh Indonesia, rata-rata jumlah golput di berbagai provinsi mencapai 38-40 persen. Sejumlah Pilkada pada tahun 2008 bahkan ”dimenangi” oleh golput. Golput di Pilkada Jawa Barat, misalnya, mencapai 33%; Jawa Tengah 44%; Sumatera Utara 43%; Jatim (putaran I) 39,2% dan (putaran II) 46%. Angka Golput pada sejumlah Pilkada kabupaten/kota pun banyak yang mencapai 30%–40%, bahkan lebih. Gejala ini diperkirakan terus berlangsung hingga Pemilu 2009 nanti. Bahkan dalam Pilpres 2009, golput diperkirakan meningkat menjadi sekitar 40 persen, lebih tinggi daripada saat Pilpres 2004 yang ‘hanya’ mencapai 20 persen.
Tentu maraknya golput ini sangat merisaukan sebagian pihak yang berkepentingan dengan Pesta Demokrasi 2009. Pasalnya, Pemilu dianggap kurang sukses jika berjalan lancar tetapi minim partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebab, jika golput menjadi ‘pemenang’, penguasa atau wakil rakyat yang terpilih tentu dianggap kurang legitimated.
Wajarlah jika kemudian sebagian politikus menggunakan berbagai cara demi mewujudkan ambisi politiknya pada Pemilu 2009. Kampanye dan iklan politik pun kemudian dilakukan dengan jor-joran. Tujuannya jelas untuk mendulang suara pemilih sebanyak-banyaknya. Namun, sekali lagi, itu tidak akan terjadi jika masyarakat banyak yang golput. Karena itulah, ada yang kemudian ‘tergoda’ untuk menggunakan ‘bahasa agama’, yakni ‘fatwa’ untuk kepentingan politiknya dan partainya dalam Pemilu 2009. Seolah-olah, ‘perang terhadap golput’ harus dilancarkan, di antaranya melalui fatwa MUI. Fatwa diharapkan menjadi ‘jurus ampuh’ yang bisa mencairkan kebekuan dan kejumudan sikap masyarakat terhadap demokrasi. Jadinya, ‘fatwa’ sekadar dijadikan alat untuk kepentingan politik pragmatis individu maupun parpol peserta Pemilu, bukan untuk kemaslahatan umat, apalagi untuk alasan-alasan yang bersifat syar’i; seperti untuk tegaknya syariah Islam di Indonesia.

Alasan di Balik Golput

Maraknya golput tentu bukan sekadar gejala kebetulan. Sebab, saat ini masyarakat tampaknya mulai ‘melek politik’. Masyarakat mulai sadar, bahwa demokrasi tidak menjanjikan apa-apa; tidak kemakmuran, kesejahteraan apalagi keadilan. Demokrasi hanya menjanjikan kemiskinan dan penderitaan. Demokrasi yang katanya menempatkan kedaulatan rakyat di atas segala-galanya justru sering ‘mempecundangi’ rakyat. Suara—bahkan jeritan hati—rakyat sering dikalahkan oleh suara para wakilnya di DPR. Misal: saat semua rakyat sepakat menolak kenaikan harga BBM, para wakilnya di DPR justru menyetujuinya. Yang menyakitkan, kebijakan menaikkan harga BBM ini, di samping diberlakukan pada saat kehidupan masyarakat yang serba sulit, juga disinyalir demi memenuhi desakan para pengusaha minyak asing di dalam negeri. Saat rakyat menolak privatisasi dan penjualan BUMN kepada pihak asing, para wakil rakyat di DPR justru semangat mendukungnya. Para wakil rakyatlah yang juga ‘berjasa’ dalam mengesahkan sejumlah UU yang justru berpotensi merugikan rakyat seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, UU Listrik (meski kemudian dibatalkan oleh MK), dll.
Di sisi lain, penguasa yang dipilih langsung oleh rakyat juga sering lebih berpihak kepada para pemilik modal ketimbang kepada rakyat. Contoh kecil, lihatlah rakyat korban Lumpur Lapindo, yang sudah lebih dari dua tahun diabaikan begitu saja dan dibiarkan menderita. Anehnya, saat sejumlah perusahaan, termasuk Kelompok Bakrie—induk perusahaan PT Lapindo Brantas—kelimpungan diterjang krisis, Pemerintah sigap membantu meski harus mengeluarkan dana triliunan.
Singkatnya, rakyat mulai menyadari bahwa keberadaan penguasa dan wakilnya di parlemen seolah antara ada dan tidaknya sama. Karena itu, dalam pandangan mereka, memilih atau tidak memilih adalah sama saja; tidak berpengaruh terhadap nasib mereka yang semakin tragis. Itulah alasan sebenarnya di balik maraknya golput selama ini, yang diperkirakan semakin meningkat pada Pemilu 2009 nanti.

Sebuah ‘Warning’

Di samping beberapa alasan di atas, maraknya golput setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama: Maraknya golput merupakan ‘warning’ (peringatan) bagi parpol peserta Pemilu. Beberapa survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei nasional menunjukkan bahwa parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Masyarakat sudah mulai memahami bahwa keberadaan parpol lebih dijadikan sebagai ‘kuda tunggangan’ yang super komersial, siap ‘direntalkan’ kepada siapa saja yang ingin berkuasa—tentu yang memiliki modal (baca: uang) melimpah—dan bukan unuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Kedua: alasan orang untuk golput memang beragam. Ada yang karena alasan ideologis, misalnya karena para calon/parpol peserta Pemilu tidak ada yang secara jelas dan serius memperjuangkan syariah Islam. Ada juga yang hanya karena alasan teknis, misalnya tidak terdaftar atau saat pencoblosan sedang pergi bekerja sehingga tidak memberikan suaranya. Namun, alasan teknis sekalipun sudah cukup menunjukkan bahwa masyarakat menganggap Pilkada/Pemilu bukanlah hal yang penting bagi mereka. Andaikata hal itu dinilai penting, apalagi bisa memberikan harapan untuk perbaikan, tentu masyarakat akan berduyun-duyun menuju TPS.
Lebih dari itu, Pemilu/Pilkada dalam sistem demokrasi saat ini pada faktanya telah melahirkan dampak negatif: masyarakat terkotak-kotak dan hubungan sosial menjadi renggang. Yang lebih parah, Pemilu/Pilkada bahkan sering melahirkan konflik sosial, yang tidak jarang mengarah pada bentrokan fisik dan tindakan anarkis. Sejumlah konflik berbau kekerasan di berbagai daerah Indonesia tidak jarang dipicu oleh perebutan kekuasaan pada proses Pilkada. Inilah buah nyata demokrasi!

Fatwakanlah Syariah Islam!

Jika sistem demokrasi sudah terbukti kebobrokannya dan banyak madaratnya, maka ini saja sebetulnya sudah cukup menjadi alasan, bahwa umat ini tidak layak terus-menerus berharap pada sistem demokrasi. Apalagi demokrasi sangat mudah dijadikan sebagai ‘pintu masuk’ oleh para pemilik modal dan para penjajah asing untuk menguasai sumber-sumber kekayaan milik rakyat. Bukankah leluasanya pihak asing menguasai BUMN dan sumber-sumber kekayaan alam milik rakyat adalah karena hal itu memang dilegalkan atas nama privatisasi oleh UU—yang notebene dibuat dan disahkan oleh Pemerintah dan DPR—melalui proses demokrasi?
Karena itu, para tokoh, ulama, politikus dan parpol seharusnya cerdas menangkap keinginan masyarakat saat ini, yang notabene mayoritas Muslim, yakni keinginan mereka untuk hidup diatur dengan syariah Islam; bukan justru memperalat agama untuk memuaskan syahwat kekuasaan mereka, dengan alasan demi kemaslahatan umat. Padahal sudah nyata-nyata umat tidak mendapatkan kemaslahatan dari hajatan demokrasi yang hendak difatwakan.
Sementara itu, umat Islam sendiri tampak semakin teguh pilihannya untuk kembali pada syariah agama mereka. Sejumlah survei memperlihatkan bahwa dukungan masyarakat pada penerapan syariah Islam dari hari ke hari makin menguat. Survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 menunjukkan, 57,8% responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariah Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Survey tahun 2002 menunjukkan sebanyak 67% (naik sekitar 10%) berpendapat yang sama (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002). Survey tahun 2003 menunjukkan sebanyak 75% setuju dengan pendapat tersebut.
Sebanyak 80% mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara (Hasil survey aktivis gerakan nasionalis pada 2006 di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya, Kompas, 4/3/’08).
Survey Roy Morgan Research yang dirilis Juni 2008 memperlihatkan, sebanyak 52% orang Indonesia mengatakan, syariah Islam harus diterapkan di wilayah mereka. (The Jakarta Post, 24/6/’08). Survey terbaru yang dilakukan oleh SEM Institute juga menunjukkan sekitar 72% masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariah Islam.
Kenyataan inilah yang seharusnya ditangkap oleh para tokoh, ulama, politikus, ormas, dan terutama parpol peserta Pemilu.
Lebih dari sekadar keinginan mayoritas umat Islam di atas, penegakkan syariah Islam adalah kewajiban dari Allah, Pencipta alam raya ini, yang dibebankan kepada setiap Muslim.
Dengan syariah buatan Allahlah, Zat Yang Mahatahu, seharusnya negara dan bangsa ini diatur; bukan dengan aturan-aturan produk manusia yang serba lemah dan sarat kepentingan, sebagaimana selama ini terjadi. Dengan syariah Islamlah seharusnya kekayaan negeri-negeri Muslim yang luar biasa melimpah, termasuk di negeri ini, dikelola melalui tangan-tangan para pemimpin yang bertakwa dan amanah. Hanya dengan cara inilah umat Islam di negeri ini akan mampu mengakhiri kesengsaraannya.
Inilah penjelasan yang (sejelas-jelasnya) bagi manusia supaya mereka mendapatkan peringatan dengannya. (QS Ibrahim [14]: 52). []
Komentar:
PPP Incar Pemimpin Baru (Kompas, 16/12/2008)
Incarlah pemimpin Muslim yang mau menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam negara.